Momentum
Penguatan Keulamaan Perempuan
Fathorrahman Ghufron ; Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga
|
JAWA
POS, 27
April 2017
Penyelenggaraan
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 25–27 April 2017 di Cirebon
merupakan momen bersejarah untuk mendiskusikan dan menyoal berbagai masalah
domestik dan publik yang menimpa perempuan.
Keberadaan
perempuan yang selama beratus tahun dikonstruksi sebagai konco wingking alias
second creation dalam kehidupan masyarakat sehingga perannya terbatas pada
bagaimana memenuhi kebutuhan laki-laki mengakibatkan perempuan selalu berada
pada titik nadir ketidakberdayaan.
Dalam beberapa
penelitian yang dilakukan para pemerhati kajian gender maupun aktivis sosial
keagamaan, sesungguhnya masalah ketidakberdayaan yang dialami perempuan
banyak bermula dari pandangan keagamaan yang dikontribusikan oleh para ulama
yang didominasi kaum laki-laki. Dengan cara pandang keagamaan bercorak
patriarkat, ulama laki-laki merumuskan beragam tafsir dan cara berpikir terhadap
ajaran agama yang tidak lepas dengan kepentingan dirinya.
Implikasinya,
produk hukum yang dihasilkan dari cara pandang keagamaan yang bercorak
patriarkat menimbulkan relasi sosial tidak berimbang, baik di ruang domestik
maupun publik. Bahkan, dalam relasi tersebut, kaum laki-laki yang menggunakan
produk hukum yang ada memosisikan perempuan sebagai pihak minoritas yang
harus diam dengan segala titah dan perintah laki-laki.
Menyoal Keulamaan Patrialkat
Identitas
keulamaan yang selama ini dikonstruksi sebagai arus utama peran laki-laki
dalam banyak konstelasi, terutama perihal habitus keberagamaan, sesungguhnya
menyimpan ’’kecelakaan sejarah’’ yang banyak meminggirkan dan menegasikan
keberadaan perempuan.
Muhammad
Al-Habasy dalam buku Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah memberikan
gambaran miris bagaimana perempuan ditempatkan di ruang terbatas yang tidak
bebas dengan akses sosial. Melalui prinsip sadd al-dzari’ah (upaya preventif
agar tidak terjadi sesuatu yang negatif) yang disampaikan banyak ulama
laki-laki dalam serial fatwa dan alasan keagamaannya, perempuan dipandang
semata-mata sebagai aurat yang harus dipelihara dan fitnah yang dihindari.
Dampaknya,
fatwa yang bias gender tersebut berlangsung berabad-abad dan diamini berbagai
budaya masyarakat yang berciri feodalistis. Setidaknya, sejarah RA Kartini
menjadi saksi bagaimana keberadaan perempuan menjadi korban feodalisme
masyarakat saat itu sehingga keberadaannya hanya dijadikan sosok pingitan.
Padahal, dalam
dunia fikih, ada beragam corak pemikiran yang mencerahkan (tsarwatul
fiqhiyah) sebagai metode istinbath hukum yang memungkinkan perempuan bisa
memainkan perannya sebagai makhluk sosial. Setidaknya, konsep fath
al-dzari’ah (membuka pintu alternatif untuk memperbolehkan sesuatu) merupakan
konsep lanjutan dari sadd al-dzari’ah yang bisa memosisikan perempuan sebagai
makhluk sosial yang bisa setara dengan laki-laki. Tetapi, mengapa sadd
al-dzari’ah selalu dijadikan alasan untuk membatasi ruang gerak perempuan dan
mengapa fath al-dzari’ah tidak dijadikan panduan pula dalam fatwa serta
pandangan keagamaannya.
Dalam kaitan
ini, fath al-dzari’ah merupakan salah satu prinsip kemaslahatan yang
dijadikan sebagai kerangka maqashid untuk memberikan berbagai jalan
alternatif terhadap berbagai ketidakmungkinan bagi seseorang untuk
melakukannya. Misalnya, bagi kaum perempuan yang ingin mengekspresikan
potensinya di ruang publik yang selama ini tidak diperbolehkan lantaran
berbagai aturan lokal yang disepakati oleh pemilik kuasa pengetahuan,
terutama kaum laki-laki, atas dasar pertimbangan hukum agama yang diyakini,
sesungguhnya melalui prinsip fath al- dzari’ah” dapat diberikan jalan keluar
lain yang bisa memfasilitasi peran perempuan dan tidak mengorbankan potensi
perempuan hanya karena tubuh perempuan dipersepsikan sebagai aurat yang harus
dijaga.
Identitas Ulama Perempuan
Dalam kaitan
ini, KUPI yang menghadirkan ratusan pemikir dan pemerhati perempuan dari
dalam dan luar negeri harus dimanfaatkan sebagai penguatan identitas
keulamaan bagi kaum perempuan. Hal ini penting dilakukan agar, keberadaan
perempuan bisa menjadi sebuah rezim gender –meminjam istilah Ruhaini
Dzuhayatin– dalam konstruksi keulamaan yang bisa mengimbangi dominasi kaum
laki-laki dalam menetapkan berbagai pandangan keagamaannya.
Dengan kata
lain, melalui kesadaran rezim gender yang dikonstruksi kaum perempuan dalam
konstelasi penetapan hukum yang bersumber pada pembacaan dan kajian sumber
naqliyah, berbagai ketetapan hukum yang selama ini dihasilkan ulama laki-laki
yang cenderung memperbesar wilayah domain keulamaannya dan membesar-besarkan
pikirannya adalah yang paling benar dengan berlindung di bawah dalil naqli,
bisa difilter dan bahkan di-counter oleh pandangan keagamaan yang dirumuskan
oleh kaum perempuan.
Pada titik
ini, konstruksi hukum agama yang selama ini cenderung menihilkan dan
mendiskreditkan kaum perempuan, sebagai akibat dari adanya dominasi gagasan
yang dirumuskan oleh ulama laki-laki, bisa dinasakhkan oleh ketetapan hukum
baru yang dilakukan oleh perempuan. Sebab, bila mengkaji Alquran secara utuh
dan jernih, tidak ada satu pun ayat yang secara eksplisit menyerukan
penihilan perempuan, baik di sektor domestik maupun publik. Justru yang
diserukan oleh Alquran adalah nalar dan sikap ’’komplementarisasi’’ yang
meniscayakan adanya persambungan dan kesinambungan ide dan laku antara
laki-laki dan perempuan.
Semoga, KUPI menjadi semacam maghza (pergulatan pemikiran)
–meminjam istilah Nasr Abu Zayd– yang bisa menghasilkan berbagai pandangan
keagamaan baru yang bisa memberdayakan perempuan. Dan juga menjadi perhelatan
metodologis dalam mengkritisi berbagai fatwa dan pandangan keagamaan yang
merugikan kaum perempuan. Dengan cara ini, identitas keulamaan perempuan akan
memperoleh tempat setara dengan ulama laki-laki yang selama ini terlalu
mendominasi panggung istinbath hukum agama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar