Di
Balik Kunjungan Mike Pence
Dinna Wisnu ; Senior Advisor Atma Jaya Institute of Public
Policy
|
KOMPAS, 21 April 2017
Wakil Presiden
Amerika Serikat Mike Pence berkunjung ke Indonesia sebagai bagian dari
safarinya ke empat negara di Asia Pasifik selama 10 hari. Kunjungan ini
menimbulkan keinginan untuk mengetahui secara langsung kebijakan politik luar
negeri AS di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump.
Namun, sejauh
yang saya amati, belum ada yang dapat memastikan arah kebijakan politik luar
negeri dan perdagangan AS empat tahun mendatang. Kunjungan Pence masih
pengulangan ucapan Trump selama kampanye.
Kalau begitu,
apa motivasi Pence mengunjungi Indonesia? Apakah sekadar "diplomasi
transit" sebelum ke Australia atau memang didorong keinginan membangun
kerja sama yang saling menguntungkan dengan Indonesia?
Sinyal-sinyal
yang dikirimkan Pence sangat kental menyuarakan kepentingan AS untuk
memperbaiki kondisi defisit perdagangan AS dengan negara-negara dunia.
Misalnya, di satu sisi, Pence mengunjungi Panmunjom, zona demiliterisasi yang
dikelola bersama oleh Korea Selatan dan Korea Utara. Akan tetapi, kepada Xi
Jinping di China, ia menyatakan bahwa meredam Korea Utara adalah tanggung
jawab China jika mau AS melunak soal kecurangan ekonomi yang dilakukan China.
Contoh lain
adalah Jepang. Jepang yang terus mendorong Kemitraan Trans-Pasifik (TPP)
tanpa AS kini menghadapi dilema ketika ditekan untuk bertanggung jawab atas
defisit perdagangan AS terhadap Jepang.
Dalam
kunjungan ke Jepang, AS minta akses pasar dan investasi kepada Jepang. Kita
tahu, saat kampanye, Trump pernah menyampaikan bahwa Jepang, juga NATO dan
negara-negara yang selama ini diuntungkan lewat aliansi militer AS, harus
siap "membayar" biaya perlindungan tersebut, khususnya lewat
reformasi perjanjian perdagangan.
Kepada
Indonesia, Pence juga mengulang pernyataan yang sama. Pence menekan Presiden
Joko Widodo untuk memberikan kemudahan bagi eksportir AS masuk ke pasar
Indonesia. Kalimat win-win solution mengemuka. Padahal, biasanya yang meminta
jaminan seperti itu adalah negara berkembang. Pernyataan arah sistem
penegakan hukum dan aturan main (rule-based system) juga mengarah pada
desakan "memperbaiki" transaksi perdagangan AS dengan Indonesia
agar tidak defisit lagi.
Defisit
perdagangan AS di Asia memang memprihatinkan dalam lima tahun terakhir.
Defisit paling besar adalah dalam berdagang dengan China. Tahun 2016, defisit
perdagangan AS dengan China mencapai 347 miliar dollar AS.
AS juga
defisit dalam perdagangan dengan Jepang dan Korea Selatan. Perdagangan AS
dengan beberapa negara ASEAN, seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, Indonesia,
dan Filipina, juga defisit, kecuali Singapura dan Brunei.
Tampaklah
bahwa kebijakan politik luar negeri AS diarahkan Presiden Trump untuk tidak
segan-segan memakai isu politik keamanan guna memaksa negara lain memenuhi
keinginannya.
Contohnya
adalah perubahan intonasi diplomasi kepada China. Dalam pertemuan dengan Xi
Jinping, Trump mengoreksi tuduhan bahwa China adalah negara yang suka
memanipulasi mata uangnya untuk memuluskan ekspor dan membuat AS defisit.
Meski
terdengar melunak, Trump mengancam bahwa defisit perdagangan dengan China
adalah pengorbanan AS untuk kestabilan di kawasan Semenanjung Korea.
Trump meminta
China bertindak lebih keras terhadap Korea Utara karena Korea Utara
menggantungkan 80 persen transaksi perdagangannya ke China.
Namun,
kunjungan Pence ke Jepang dan Korea Selatan lebih memastikan bahwa AS memilih
mendorong kerja sama bilateral daripada multilateral. Jepang dan AS memang
menandatangani MOU atau kerja sama perdagangan dengan Jepang, tetapi tidak
ada detail tentang bagaimana kerja sama itu akan dijalankan, khususnya di
bidang otomotif.
Demikian pula
dengan Korea Selatan. Pence mengatakan bahwa perjanjian perdagangan dengan
Korea Selatan yang telah berlangsung selama lima tahun harus direformasi.
Masih menjadi
tanda tanya besar apa yang akan dilakukan AS jika kedua negara tidak mau
memperbarui perjanjian perdagangannya.
Saya
berpandangan, AS dapat saja menekan Korea Selatan dan Jepang di kemudian hari
agar mengubah perjanjian perdagangan jadi lebih menguntungkan AS sebagai
ganti dari kenyamanan dan keamanan dari serangan Korea Utara.
Strategi menukarkan kebijakan politik keamanan dengan
perdagangan tampaknya menjadi langkah administrasi Trump di luar tradisi
pemerintahan AS sebelumnya, kubu Republik ataupun Demokrat. Ini kenyataan
baru yang harus kita antisipasi bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar