Demokrasi
Kompatibel Dengan Islam
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN
SINDO, 22
April 2017
Begitu
mendarat di Melbourne pada Selasa tanggal 18 April 2017 kemarin saya
mengaktifkan handphone (HP). Pesan-pesan yang tertunda masuk selama saya
dalam penerbangan dari Jakarta ke Australia itu langsung berebutan masuk ke
dalam HP. Ada yang melalui SMS, ada yang berebutan melalui grup-grup
WhatsApp, ada juga yang melalui cuitan-cuitan di Twitter. Tidak sedikit yang
menyatakan khawatir dan menanyakan pendapat saya tentang situasi Jakarta
pasca-pemungutan suara pada pilgub. Apa yang terjadi kalau Anies yang menang?
Bagaimana situasi jika Ahok yang menang? Akan amankah Jakarta?
Demikian ragam
pertanyaan yang berebutan masuk melalui media sosial itu. Contohnya netizen Ray Yoes dengan akun
@RayYoes3 mencuitkan pertanyaan kepada saya dengan nada cemas: ”Pak Mahfud,
apakah Jakarta akan terjadi konflik atau perang, atau mungkin ini sebuah
kegoblokan..., hanya pilkadal kok ribet Pak.” Saya langsung membalas cuitan
Ray itu dengan cuitan juga: ”Jakarta akan aman. Yang penting jangan ada
provokasi dan kita tidak ikut manas-manasi. Selesai pilgub, insyaallah,
selesai suasana panasnya.”
Saya
menyampaikan jawaban itu dengan yakin bahwa semua akan berlangsung dan
berakhir baik-baik saja. Akhirnya terbukti, setelah pemungutan suara
diumumkan melalui exit poll dan disusul dengan quick count secara pelan
tetapi pasti suasana terus mereda. Yang kalah mengucapkan selamat kepada yang
menang, yang menang bersujud syukur tanpa jemawa.
Memang, semula
banyak yang khawatir, demam Pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (Pilgub
DKI) Jakarta akan dipuncaki dengan munculnya situasi buruk semisal konflik
horizontal atau kerusuhan berbau SARA. Tapi sejak awal saya mengatakan,
begitu pemungutan suara selesai dan hasilnya diumumkan, suasana perang urat
syaraf akan mulai reda. Pengalaman kita dalam beberapa dasawarsa belakangan
ini membuktikan itu.
Dalam ingatan
saya, setiap menjelang pemilihan pejabat-pejabat penting kerap kali terjadi
kontroversi dan pembelahan masyarakat ke dalam sikap yang saling berhadapan
dan saling serang, tetapi begitu kontes selesai, ya, selesailah
hiruk-pikuknya.
Kita tentu
masih ingat, situasi sangat panas juga terjadi pada Pemilihan Presiden
(Pilpres) 2014. Parpol-parpol banyak yang terpecah, ormas-ormas juga
terbelah, bahkan keluarga-keluarga pun terbelah ke dalam pertentangan. Yang
satu mendukung Jokowi, yang satunya mendukung Prabowo. Tapi begitu pemilihan
selesai, masyarakat mulai tenang, kontestan memang beperkara ke Mahkamah
Konstitusi, tetapi akhirnya pertentangan itu selesai dengan baik sehingga pemerintahan
baru bisa bekerja sesuai dengan mandat yang diterima secara konstitusional.
Sebelum itu
situasi sangat panas juga terjadi saat Pemilu Legislatif (Pileg) 1999 yang
disusul dengan pemilihan presiden berdasar hasil pemilu legislatif tersebut.
Ketegangan itu semula muncul secara keras antara yang mendukung Megawati
sebagai calon presiden dengan alasan PDI Perjuangan menang pileg dan barisan
yang mendukung BJ Habibie dengan alasan gabungan parpol-parpol pemenang
pemilu selain PDI Perjuangan menguasai lebih banyak kursi di MPR sebagai
lembaga negara yang berhak memilih presiden/wakil presiden. Ketegangan yang
semula massa masing-masing sudah saling ancam untuk melakukan keributan
dengan kekerasan itu akhirnya selesai dengan baik setelah sidang MPR berhasil
memilih presiden.
Rangkaian
fakta historis bahwa rakyat Indonesia bisa berdamai atau menerima hasil
kontes politik yang diatur melalui mekanisme demokrasi itu membuktikan bahwa
demokrasi adalah kompatibel (cocok dan harmonis) untuk dijadikan prinsip,
sistem, dan mekanisme ketatanegaraan di Indonesia.
Bahkan setelah
mengirim tim yang ditugasi memantau pemilu tahun 1999 di Indonesia, Clinton
Center menyebut bahwa (jika menggunakan umat Islam Indonesia sebagai sampel),
demokrasi itu kompatibel dengan Islam. Kita sendiri bisa menyimpulkan dari
lembaga yang didirikan dan dipimpin oleh mantan Presiden Amerika Serikat Bill
Clinton itu bahwa kompatibelnya demokrasi dengan rakyat Indonesia sama dengan
kompatibelnya demokrasi dengan umat Islam.
Mengapa? Karena
rakyat Indonesia yang pemeluk Islamnya mencapai 87% dari sekitar 250 juta
penduduk bisa menerima dan melaksanakan demokrasi dengan baik. Rakyat
Indonesia dengan dukungan kuat umat Islam bisa sportif melaksanakan demokrasi
di dalam situasi pluralitas yang sangat masif. Oleh sebab itu umat Islam
Indonesia tidak perlu mencari ideologi lain yang tidak kompatibel dengan
demokrasi.
Dengan demokrasi umat Islam, bersama umat-umat lain, di
Indonesia bisa memperjuangkan aspirasinya dalam kehidupan bernegara tanpa
merusak akidah. Demokrasi sebagai produk ijtihad para ulama yang kemudian
diterima sebagai kesepakatan luhur (mistsaqon
ghaliedza) atau modus vivendi di Indonesia memberi jaminan seluruh bangsa
untuk beribadah dan menyalurkan aspirasi politik secara bergotong-royong.
Maka itu jangan pernah lelah atau bosan untuk mencintai dan merawat
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar