Reputasi
Gerakan Buruh
Rekson Silaban ; Analis Indonesia Labor Institute
|
KOMPAS, 29 April 2017
Dalam empat
dekade terakhir terjadi penurunan anggota serikat buruh di seluruh dunia.
Pengecualian hanya terjadi di beberapa negara; Spanyol, Irlandia, Luksemburg,
Cile, Meksiko, dan China. Di negara ini jumlah anggota serikat buruh
meningkat dibandingkan dengan dekade sebelumnya.
Penurunan
anggota serikat buruh (SB) otomatis menurunkan kekuatan gerakan buruh itu
sendiri, dan bagi negara-negara industri, berujung pada melebarnya
ketimpangan ekonomi. Fenomena penurunan anggota SB (de-unionization) secara
umum memiliki penyebab yang sama walaupun berbeda dalam hal urutan
penyebabnya. Penurunan anggota SB Indonesia menjadi unik karena menurun
sebelum memasuki puncaknya. Penurunan juga bukan akibat relokasi industri
atau akibat lahirnya UU yang membatasi SB, tetapi ditengarai akibat
menurunnya citra SB di mata buruh dan publik.
Di AS,
penyebab utama kemunduran SB adalah relokasi besar-besaran industri sektor
manufaktur ke negara-negara Selatan untuk alasan biaya produksi yang lebih
murah dan peralihan fokus bisnis ke sektor jasa. Penyebab lain, komputerisasi
dan robotisasi yang menggantikan tenaga kerja manusia. Selain itu, lahirnya
UU yang mempersulit SB merekrut anggota baru. Terakhir, menurunnya reputasi
SB di mata publik karena dianggap tidak efisien, terkuaknya skandal pemimpin
buruh, kedekatan politik ke ”Partai Demokrat”.
Sementara itu,
di Eropa Barat, gerakan buruh juga menurun secara bervariasi, tetapi tak
seburuk seperti di AS. Apabila di AS jumlah pekerja yang berserikat hanya 13
persen, di Eropa Barat masih berkisar 20-35 persen. Bahkan, di wilayah negara
Skandinavia masih di atas 65 persen. Di kawasan ini penurunan anggota SB
terutama disebabkan oleh faktor relokasi industri dan komputerisasi.
Di Indonesia
penurunan keanggotaan SB terjadi sebelum memasuki masa puncak kejayaannya.
Pada awal reformasi tingkat partisipasi buruh bergabung ke SB sempat mencapai
delapan juta orang. Sesuai data Kemenaker tahun 2010, keanggotaan SB menurun
menjadi 3,5 juta, dan pada verifikasi keanggotaan SB tahun 2015 menjadi 2,7
juta orang. Sekalipun ada beberapa gugatan SB atas metodologi verifikasi yang
dilakukan Kemenaker, fakta atas menurunnya keanggotaan SB telah mencengangkan
banyak pengamat gerakan buruh. Mengapa di tengah atmosfer demokrasi dan
keterbukaan yang meningkat, anggota SB justru menurun?
Perlunya menjaga reputasi
Apakah gerakan
buruh Indonesia bagian dari masalah atau bagian dari solusi? Inilah
pertanyaan yang perlu direnungkan gerakan buruh Indonesia dalam perayaan Hari
Buruh 1 Mei tahun ini. Sebelum semuanya menjadi terlambat, gerakan buruh
perlu melakukan reposisi. Sebab, sehebat apa pun demo buruh yang pernah
digelar, dan seberapa banyak pejuang buruh martir yang siap berkorban, pada
akhirnya parameter utama mengukur kehebatan sebuah SB adalah berapa banyak
buruh yang bergabung dalam anggota SB.
Penulis tidak
memungkiri dampak UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 terhadap penurunan
keanggotaan SB Indonesia, tetapi saya berkesimpulan, faktor UU itu tak
terlalu kuat. Sebab, pada verifikasi keanggotaan SB tahun 2010, dengan UU
yang sama, jumlah anggota SB jauh lebih besar. Banyaknya penolakan SB atas
rencana revisi UU No 13/2003 juga menandakan bahwa UU tersebut tak menjadi
masalah bagi SB. Mungkin ada yang menjadikan tindakan pemberangusan SB (union
busting) sebagai faktor penghambat gerakan buruh, tapi alasan ini kurang kuat
karena kebebasan berserikat di Indonesia jauh lebih baik jika dibandingkan
dengan kekerasan dan pembunuhan yang dialami pemimpin buruh di Filipina,
Kamboja, Kolombia, Belarus, dan negara lainnya.
Jadi, kalau
bukan karena masalah UU atau karena faktor relokasi industri, apakah faktor
utama yang menurunkan keanggotaan SB Indonesia? Premis awal penulis adalah
gerakan buruh Indonesia sedang mengalami penurunan reputasi di mata buruh dan
masyarakat secara umum. Muncul persepsi negatif publik atas arah gerakan dan
motif aksi gerakan buruh.
Ada sejumlah
alasan atas munculnya persepsi negatif ini. Pertama, SB banyak menghabiskan
energi untuk menyuarakan keberpihakan politik yang tak selalu sinkron dengan
aspirasi buruh. Ditambah lagi adanya perbedaan haluan politik masing-masing
SB, akibat fragmentasi gerakan buruh, membuat buruh dan publik bingung memahami
motif sebenarnya di balik aksi itu. Kedua, banyak pihak menganggap SB menjadi
kurang relevan karena tak efisien. Misalnya, lebih sering menuntut ketimbang
mencari opsi dan solusi untuk kemenangan bersama. Pekerja kelas menengah
umumnya tak nyaman menjadi anggota SB yang sering menggelar demo.
Dulu, taktik
konvensional gerakan buruh di negara maju memang harus kelihatan garang dan
militan. Itu sebabnya SB selalu ditempatkan dalam kelompok ”kiri”. Pola itu
juga sekaligus strategi untuk menarik simpati buruh untuk mendapat anggota
baru. Namun, seiring dengan perkembangan kapitalisme dan menguatnya peran
perusahaan multinasional, strategi perjuangan berubah serius, dengan
diperkenalkannya konsep social-dialogue. Berunding mencari solusi bersama,
meminimalisasi korban, menurunkan biaya demo, mencegah relokasi. Demo tetap
terjadi secara periodik, tetapi umumnya untuk isu nasional, manifestasi
publik. Pelanggaran atas hukum ketenagakerjaan menurun dengan terus
membaiknya dialog sosial di tingkat pabrik.
Beradaptasi secara baru
Gerakan buruh
harus beradaptasi terhadap tempat kerja abad ke-21. Artinya, harus mengganti
taktik perjuangan lama dengan model umum (one-size-fits-all). Perundingan
bersama dengan fokus pada penciptaan nilai tambah bagi pekerja dan pengusaha.
Apabila buruh kehilangan kerja akibat perjuangan militan, kesenjangan
pendapatan memburuk, pengangguran tinggi, pekerjaan langka, serikat buruh
menjadi tidak relevan. Karena seperti apa kata ekonom Joseph Stiglitz: ”SB
yang kuat akan menolong penurunan ketimpangan. SB lemah akan memudahkan
pengusaha membuat aturan yang merugikan buruh.” Jangan pernah berpikir bahwa
korporasi akan tiba-tiba menjadi simpatik ke buruh dan rela mengurangi
keuntungannya kecuali ada tekanan SB.
Selanjutnya,
Stiglitz mengatakan, masalah melemahnya SB sesungguhnya akan menjadi masalah
semuanya. Ketiadaan SB yang kuat akan meningkatkan pemusatan kekayaan ke
beberapa orang, meningkatkan dominasi korporasi terhadap buruh dan
pemerintah. Jadi, SB yang kuat dengan kombinasi dialog sosial bukan hanya
baik untuk kepentingan buruh, melainkan juga ekonomi secara umum. Upah layak
menaikkan daya beli, mendorong konsumsi, menghidupkan bisnis, dan mengurangi
ketimpangan.
Perjuangan SB
tak hanya menaikkan upah dan menaikkan perlindungan sosial, tetapi juga
menjaga anggotanya tetap bekerja. Strategi SB Inggris, Unison, salah satu
contoh bagaimana beroperasi pasar kerja abad ke-21. Unison mengizinkan buruh
mendaftar via online, menciptakan aplikasi internet yang menarik untuk
pekerja muda. Mereka juga memberikan konsultasi hukum gratis ke calon anggota
potensial ketimbang menarik simpati lewat demo. Merekrut anggota menggunakan
tenaga khusus perekrutan, menggunakan iklan media cetak, televisi.
Dengan
menurunnya keanggotaan SB, menurun pula kemampuan finansial SB. Strategi
penting yang harus dimulai perlu beradaptasi dengan pasar kerja modern saat
ini. Apalagi dengan cepatnya pergeseran industri Indonesia ke sektor jasa
(deindustrialisasi), di mana keberadaan SB secara tradisional sangat lemah di
sektor jasa ini. Masa depan keanggotaan SB nantinya akan didominasi pekerja
kontrak, perempuan, pekerja muda, pekerja paruh waktu, pekerja mandiri, yang
kesemuanya memiliki minat lemah bergabung ke SB.
Perlu memulai cara perekrutan anggota baru, misalnya dengan
menawarkan pelatihan kerja dengan bekerja sama dengan pemerintah lokal atau
pengusaha; menyediakan sarana konsultasi untuk korban pemutusan hubungan
kerja (PHK); jejaring info kerja; dan sebagainya. Jadi, penting segera
memperbaiki reputasi karena tidak ada institusi yang bisa bertumbuh tanpa
dukungan lingkungan eksternalnya. Menuju ke arah sana, SB seharusnya fokus
dulu ke buruh. Meminjam istilah Antonio Gramsci, membangun relasi erat dengan
”historic bloc”. Itulah kunci untuk tetap relevan di mata buruh dan publik.
Selamat Hari Buruh! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar