Kontribusi
Agama dalam Keindonesiaan
Akbar Tandjung ; Ketua Umum PB HMI (1972-1974)
|
KOMPAS, 22 April 2017
Dalam dinamika
kontestasi politik Indonesia belakangan ini, ada kesan seolah sebagian umat
Islam anti-keanekaragaman. Kesan itu kian menguat seiring munculnya gerakan-gerakan
radikal yang membawa nama agama. Hal ini bisa berkonsekuensi pada
generalisasi pendapat bahwa umat Islam di Indonesia telah tergerus
komitmennya pada kebinekaan sehingga dapat dianggap sebagai kelompok yang
intoleran, jauh dari sikap menghormati dan menghargai pihak lain yang
berbeda.
Ditinjau dari
perspektif historis, hal itu jauh dari kenyataan, mengingat umat Islam di
Indonesia memiliki kontribusi besar dalam pembentukan dan perjalanan
kehidupan bangsa. Rekam jejak kontribusi dalam perjuangan mencapai
kemerdekaan Indonesia sangat nyata dan jelas. Demikian pula partisipasinya
dalam merumuskan nilai-nilai dasar Indonesia yang merdeka.
Lahirnya
Pancasila sebagaimana kita kenal selama ini tak lain gagasan dan pandangan
dari The Founding Fathers yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang mewakili
berbagai umat beragama, khususnya Islam.
Mereka
menyusun sila-sila dalam Pancasila dengan penuh kearifan dan semangat
persatuan, termasuk ketika pada akhirnya disepakati sila pertama,
"Ketuhanan Yang Maha Esa", pagi hari menjelang Sidang Pertama
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 18 Agustus 1945, yang agenda
utamanya adalah pengesahan UUD Negara Republik Indonesia dan pemilihan
presiden-wakil presiden pertama, yakni Soekarno-Hatta.
Dengan
demikian, Indonesia merupakan negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Nuansa
keagamaan atau religiositas kebangsaan kita juga ditegaskan dalam alinea
ketiga Pembukaan UUD 1945, "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan
dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang
bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya".
Bahkan, secara
khusus, dalam batang tubuh UUD 1945 Bab IX tentang agama disebutkan dalam
Pasal 29, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa" (Ayat 1),
dan "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu" (Ayat 2).
Hal itu tak
berarti Indonesia negara agama dalam pengertian sistem politik dan ketatanegaraannya
merupakan derivasi formalisasi syariat keagamaan. Indonesia juga bukan negara
sekuler, mengingat nilai-nilai substansial dan universal dari agama-agama
yang ada punya peranan penting membentuk dan memperkuat keindonesiaan.
Islam, kebinekaan, dan keindonesiaan
Karakter Islam
di Indonesia pada hakikatnya menggambarkan Islam yang rahmatan lil
alamin,rahmat bagi semesta alam. Karena itu, apabila ada peristiwa-peristwa
yang bisa dikategorikan sebagai bentuk dari radikalisasi keagamaan, maka itu
pasti bukan mencerminkan sejatinya karakter Islam. Dalam konteks inilah,
cendekiawan Islam, Nurcholish Madjid, menyebutkan, Islam yang rahmatan lil
alamin bercirikan menghormati keberagaman, inklusif, toleran, dialogis,
mengedepankan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, tak ekstrem (ummatan
wasathan), dan sejalan nilai-nilai kemodernan dan demokrasi.
Pemikiran-pemikiran
tersebut sudah melekat dalam sistem perkaderan HMI dengan platform
Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang dikembangkan terutama oleh Nurcholish
Madjid, bahkan disahkan dalam Kongres IX HMI di Malang pada 1969. Demikian
pula, organisasi-organisasi keagamaan Islam arus utama, terutama Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah, menggambarkan wajah Islam Indonesia sebagaimana
ciri-ciri di atas. Mereka mengetengahkan Islam secara substansial dan tak
menghendaki formalisasi agama dalam produk-produk kenegaraan.
Dalam semangat memperkokoh keindonesiaan perlu terus dibangun
komunikasi dan dialog antar-berbagai komunitas keagamaan. Khususnya umat
Islam diharapkan agar tak terpengaruh ide-ide dan gerakan-gerakan radikal
yang kini banyak berkembang di beberapa negara di dunia, khususnya Timur
Tengah. Selain itu, juga sangat dibutuhkan pendidikan tentang pemahaman dan
penghormatan terhadap keberagaman sejak dini bagi anak-anak didik, baik di
lingkungan sekolah maupun keluarga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar