Angket
Politik DPR
Oce Madril ; Ketua Program Studi Pengkajian
Ketahanan Nasional
Sekolah Strategi dan Global
Pascasarjana UI
|
KOMPAS, 27 April 2017
DPR
menggulirkan hak angket untuk Komisi Pemberantasan Korupsi. Hak angket itu
berkaitan dengan penolakan KPK untuk memberikan rekaman pemeriksaan.
Secara hukum,
hak angket yang dilancarkan DPR ini agak aneh. Sebab, hak angket seharusnya
hanya ditujukan pada kebijakan pemerintah, bukan terhadap sebuah lembaga
negara. Hak angket tidak sama dengan fungsi pengawasan yang secara umum
dimiliki oleh DPR. Ruang lingkup dan mekanisme penggunaan hak ini telah
diatur secara defensif dan lebih ketat.
Ditulis jelas
dalam Pasal 79 Ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (UU MD3) bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan
terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan UU
MD3 tersebut, terdapat tiga unsur penting yang harus dipenuhi untuk
menggunakan hak angket. Pertama, hak itu bertujuan untuk penyelidikan. Kedua,
terhadap kebijakan pemerintah yang penting, strategis, dan berdampak luas.
Ketiga, harus ada dugaan bahwa kebijakan tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Bukan informasi publik
Mencermati
unsur penting dan ruang lingkung hak angket, apa relevansinya dengan tindakan
penegakan hukum yang dilakukan KPK? Jelas tidak ada. Hak angket tidak dapat
digunakan kepada lembaga penegak hukum seperti KPK. Hak itu lebih ditujukan
untuk pemerintah (kekuasaan eksekutif) dan lembaga-lembaga pemerintah
non-kementerian.
Apalagi jika
obyek yang diangkat dalam angket adalah tindakan dan informasi seputar proses
penegakan hukum suatu perkara. Instrumen pengawasan mana pun tidak bisa
digunakan untuk hal ini kecuali mekanisme sistem penegakan hukum pidana itu
sendiri.
Selain itu,
prinsip independensi penegakan hukum harus dijunjung tinggi. Proses penegakan
hukum merupakan kewenangan independen lembaga penegak hukum. Independensi ini
tidak boleh diintervensi oleh lembaga mana pun. Tindakan penegakan hukum
bermuara di pengadilan, bukan di DPR.
Penolakan KPK
untuk membuka dan memberikan data pemeriksaan saksi/tersangka kepada Komisi
III DPR adalah tindakan yang benar. Sebagai lembaga penegak hukum, KPK tidak
boleh membuka data dan dokumen secara sembarangan. Semua ada aturannya. KPK
dapat melakukan itu hanya di persidangan pengadilan khusus tindak korupsi. Di
luar itu, KPK tidak boleh melakukannya. Ada sanksi administratif, etik, dan
pidana yang menunggu jika data itu dibuka tidak pada tempatnya.
Bahkan, UU
Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menggolongkan informasi penegakan hukum
sebagai informasi yang rahasia. Informasi itu dikecualikan dari sistem
keterbukaan informasi publik. Ketentuan Pasal 17 UU No 14/2008 dengan tegas
menyatakan demikian. Sebab, jika dibuka, maka dapat menghambat proses
penegakan hukum, penyelidikan, dan penyidikan suatu tindak pidana. Termasuk
yang tidak boleh dibuka adalah informasi terkait identitas informan, pelapor,
dan saksi yang mengetahui adanya tindak pidana. Informasi-informasi itu dapat
dibuka kepada publik hanya di persidangan pengadilan.
Pihak-pihak
yang tanpa hak mengakses, memperoleh, dan memberikan informasi yang
dikecualikan dalam Pasal 17 itu diancam hukuman pidana sesuai ketentuan Pasal
54 UU KIP, yaitu maksimal dua tahun pidana penjara dan pidana denda maksimal
Rp 10 juta. Selain itu juga terdapat sanksi administratif.
Jika anggota
DPR bersikukuh meminta dan memperoleh informasi terkait perkara yang sedang
diusut KPK, mereka akan berhadapan dengan ancaman UU KIP ini. Hal yang sama
juga berlaku bagi unsur pimpinan dan staf KPK.
Intervensi politik
Penggunaan hak
angket yang salah kaprah ini hanya menunjukkan kuatnya dorongan intervensi
politik terhadap KPK. Aroma intervensi itu begitu kuat di tengah bergulirnya
perkara korupsi KTP elektronik yang menyebut nama-nama politisi kuat di DPR.
Tak menutup kemungkinan nama-nama itu pun diseret ke meja hijau.
Serangan
semacam ini seolah sudah menjadi strategi yang digunakan ketika KPK menangani
kasus-kasus korupsi politik. Banyak pengalaman sebelumnya membuktikan hal
itu.
Kali ini, hak angket digunakan sebagai pintu masuk untuk
mengintervensi kinerja KPK. Boleh jadi hak angket bukanlah tujuan mereka,
melainkan untuk mengganggu kinerja KPK untuk melanjutkan perkara korupsi yang
sedang ditangani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar