Belajar
Dari Miryam
Herie Purwanto ; Perwira Menengah Bareskrim Polri; Penyidik KPK
|
SUARA
MERDEKA, 8 April 2017
PUBLIK dibuat gemas oleh penampilan saksi Miryam S Haryani
pada persidangan E-KTP beberapa waktu lalu. Dengan berurai air mata di depan
majelis hakim, Miryam menyatakan mencabut semua keterangannya dan
menjustifikasi keterangan tersebut karena ia dalam posisi dipaksa dan ditekan
oleh penyidik KPK saat pemeriksaan. Keadaan keterpaksaan tersebut,
menjadikannya seolah terbebani tekanan psikologis yang akhirnya mau
mengiyakan apa yang dikatakan penyidik.
Apa yang dikatakan Miryam tersebut, sangat berlawanan
dengan fakta pada sidang berikutnya, di mana Jaksa KPK menghadirkan penyidik
yang memeriksa Miryam serta memutar rekaman selama pemeriksaan. Hasilnya?
Bukannya Miryam menerima, malah tetap bersikukuh mencabut keterangan dalam
BAP.
Fakta inilah yang akhirnya menjadikan KPK menetapkan
mantan anggota komisi II DPR itu sebagai tersangka dugaan memberi keterangan
tidak benar atau keterangan palsu.
”KPK menetapkan satu orang tersangka baru, yaitu MSH
(Miryam S Haryani) mantan anggota DPR RI terkait dugaan tindak pidana korupsi
pengadaan E-KTP. Tersangka diduga dengan sengaja tidak memberikan keterangan
atau memberikan keterangan yang tidak benar pada sidang dengan terdakwa Irman
dan Sugiharto,” kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jalan
Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (5/4/2017).
Febri menjelaskan Miryam disangka dengan pasal 22 jo pasal
35 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK menurut Febri terus
menelusuri keterkaitan pihak lain melalui fakta-fakta dalam persidangan. Apa
yang bisa dipetik dari kejadian ini?
Keterangan Palsu
Pasal 22 UU Tipikor yang disangkakan kepada Miryam S
Haryani berbunyi: ””Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal
29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau
memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).”
Unsur perbuatan pasal tersebut yaitu, setiap orang, dengan
sengaja memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, secara
tegas tersurat dalam teks. Sehingga siapapun yang membaca atau diberitahukan
tentang hal ini pada saat ia duduk sebagai saksi dan dibuatkan BAP, maka ia
tidak boleh menganggap pasal ini sebagai pasal gertak sambal. Ancaman pidana
yang diberikan ada batasan minimal, yaitu 3 tahun dan maksimal 12 tahun. Ini
artinya, pembuat Undang-undang, tidak menolerir kesaksian yang bohong.
Ketika didengar keterangan sebagai saksi, seseorang
haruslah mengatakan apa yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sebagaimana
diatur dalam pasal 1 angka 26 KUHAP.
Secara formil, pada akhir setiap pemeriksaan dalam BAP
yang dibuat oleh penyidik pasti akan ditutup dengan pertanyaan, ”apakah dalam
pemeriksaan ini saudara merasa dipaksa, ditekan, dipengaruhi oleh pihak
lain?”
Formalitas pertanyaan ini, mengandung filosofi, bahwa
pemeriksaan benar-benar dilaksanakaan dengan menjunjung nilai-nilai kebenaran
yang keluar dari hati nurani pihak yang diperiksa. Sebab, untuk menguatkan
ini yang diperiksa akan membubuhkan paraf pada setiap halaman dan tanda
tangan di akhir lembar halaman BAP.
Dalam hukum acara kita, setiap orang yang memberikan
keterangan di depan penyidik, dalam status sebagai saksi wajib untuk berkata
benar. Lain dengan tersangka, ia mempunyai hal untuk membela dirinya dengan
hak ingkar, yaitu untuk menutupi apa fakta yang terjadi pada dirinya.
Sehingga, apa yang terjadi pada diri Mirya S Haryani, menjadi sebuah
pelajaran berharga bagi publik, bahwa sejatinya, menjadi saksi harus berkata
jujur, tidak usah mendalihkan bahwa apa yang sudah ia katakana, sebagai
bentuk rekayasa penyidikan. Toh, sekarang ini penyidik sudah membekali
ruangan pemeriksaan dengan CCTV dan rekaman audio, sebagai bukti untuk
mengantisipasi apabila saksi menyangkal apa yang telah tertuang di dalam BAP.
Sebelum kesaksian di dengar di persidangan, dilakukan
sumpah sesuai dengan agama saksi. Sumpah yang nota benenya merupakan komitmen
diri dengan menyebut Tuhan, sejatinya tidak boleh main-main atau dianggap
sebagai formalitas. Sumpah dilaksanakan, sebagai pengingat hati nurani, untuk
mengatakan yang sejujurnya. Sanksi atas ketidakjujurannya, menjadi urusan
dengan Tuhan.
Dalam konsep relegi, konsekuensi terhadap kesaksian yang
mengingkari fakta akan berhadapan dengan hukum positif dan hukum Tuhan. Belum
lagi, cibiran dari masyarakat yang akan menstigma ia sebagai pembohong.
Lengkap sudah, akibat seseorang yang tidak mau mengakui perbuatan korupsi
dengan membuat persepsi publik, seolah-olah ia adalah orang yang bersih,
orang yang tidak bersalah. Bahkan ironisnya, fenomena yang terjadi, para
koruptor di media menyatakan bahwa dirinya telah didholimi oleh KPK, ketika
sesaat ia statusnya ditetapkan sebagai tersangka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar