Mengawal
Program Desmigratif
Riza Multazam Luthfy ; Peneliti Desa;
Mahasiswa Program Doktor Ilmu
Hukum UII Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 27 April 2017
KEMENTERIAN
Ketenagakerjaan tengah mencanangkan Program Desa Migran Produktif
(Desmigratif) pada Juni 2017. Diluncurkannya program ini merupakan bentuk
komitmen pemerintah untuk menekan angka tenaga kerja Indonesia (TKI). Dengan
menyediakan berbagai infrastruktur, pemerintah bermaksud memberikan dukungan
kepada rakyat kecil agar mereka betah berada di desa dan enggan merantau ke
luar negeri. Pada tahun ini, pemerintah memasang target 120 desa migran
produktif. Desa-desa itu akan dibangun di wilayah kabupaten/kota kantong TKI
yang tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Lampung,
Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara
Timur. Program ini merupakan terobosan Kementerian Ketenagakerjaan dalam
rangka memberdayakan serta meningkatkan skill orang-orang desa.
Motivasi merantau
Fenomena
orang-orang desa yang pergi meninggalkan tanah kelahiran antara lain
dilatarbelakangi oleh minimnya peluang kerja. Sektor formal yang terlalu
birokratis cenderung menyingkirkan mereka dari ajang persaingan. Sektor
informal pun tidak lagi menampung jumlah pencari kerja yang setiap hari
semakin membludak. Dari tahun ke tahun, pertambahan penduduk kerap tidak
diimbangi dengan tersedianya lahan pekerjaan. Hal ini membuat orang-orang
desa nekat mencari sumber penghidupan ke kota dan luar negeri. Orang Jawa
mulai meragukan falsafah mangan ora mangan sing penting kumpul (makan tidak
makan yang penting kumpul) yang dianggap terlalu basi dan layak ditinggalkan.
Kini mereka sanggup membedakan prinsip hidup yang dipegang dan nilai-nilai
usang yang mesti dibuang. Kurikulum pendidikan, perkembangan teknologi, dan
perubahan kondisi sosial menyebabkan arus modernitas menelusup ke dalam diri
mereka. Karena itu, dalam berpikir, bersikap, dan bertindak, mereka
mempertimbangkan faktor untung-rugi.
Betapa
rasionalitas selalu membimbing mereka dalam mengambil keputusan. Aktivitas
merantau juga didukung oleh ketidakberdayaan desa memaksimalkan potensi
warganya. Fakta bahwa banyak pemuda (berumur 15 tahun sampai dengan 34 tahun)
belakangan memilih menjadi buruh di daerah perkotaan, pinggiran kota, dan
sentra pengembangan industri menyebabkan desa tidak lagi produktif karena
hanya digarap oleh orang berusia tua. Fenomena itu diperparah dengan asumsi
para remaja bahwa perbaikan status sosial-ekonomi tidak mungkin diraih dengan
menetap di wilayah pedalaman. Dalam taraf tertentu, ekonomi memang bersifat
rasional. Ia senantiasa berpihak pada kawasan yang lebih menjanjikan. Itulah
mengapa, negara-negara industri dan kota-kota besar merupakan kawasan yang
lebih produktif daripada desa, terutama dalam mengelola kegiatan ekonomi
secara profesional dan modern. Dengan demikian, minat para investor pada
kawasan-kawasan penarik tenaga kerja tersebut lebih besar dibanding dengan
wilayah perdesaan. Bagaimanapun berspekulasi menanam investasi di kawasan
terakhir dianggap kurang menguntungkan dan memiliki risiko yang sangat
tinggi.
Disguised unemployment
Lantaran
ingin mengatrol kapasitas desa serta orang-orang yang bermukim di dalamnya,
Program Desmigratif selayaknya didukung oleh semua pihak. Namun demikian,
persiapan pemerintah dalam pembentukan desa migran produktif di sejumlah
daerah harus benar-benar optimal. Demi menuai kesuksesan, upaya pengurangan
angka pengangguran dan pemberantasan kemiskinan patut menjadi prioritas
utama. Menurut T Gilarso (2004: 209), pengangguran di wilayah perdesaan
sering disebut dengan pengangguran tersembunyi atau tak kentara (disguised unemployment). Orang-orang
desa kerap disibukkan dengan pekerjaan meski kurang bernilai ekonomis.
Padahal, jika dibiarkan secara terus-menerus, fenomena ini rentan melahirkan
kasus kerusuhan dan kriminalitas yang tentu mengganggu harmoni desa.
Pemberantasan kemiskinan dengan mengutamakan posisi strategis sektor
pertanian dan perdesaan terkait erat dengan penyediaan lapangan kerja serta
pengurangan disparitas pendapatan dan aliran tenaga kerja dari bidang agraris
ke bidang ekonomi lainnya.
Atas
dasar inilah, upaya pengentasan kemiskinan meniscayakan pemberdayaan lapisan
masyarakat terbawah, pengembangan usaha ekonomi produktif, serta
pengalokasian akses pasar yang cukup memadai. Dibutuhkan beragam strategi
yang bisa diterapkan untuk beberapa lapisan masyarakat sekaligus. Hal ini
dikarenakan, karakter kewirausahaan tidak mungkin tercipta dengan mudah.
Dengan kata lain, perlu pemilahan program yang tegas antara misi sosial
pengentasan kemiskinan dari misi ekonomi produktif dan pemberdayaan skala
komersial menuju pengembangan akses pasar, sistem insentif, serta informasi
harga yang berguna bagi segenap lapisan masyarakat (Bustanul Arifin, 2005:
32). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar