Konsep
Usang Emansipasi
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang profesional
di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS, 10 April 2017
Di masa lalu, setiap bulan April menjelang Hari Kartini,
kata kunci emansipasi selalu muncul lebih kuat dari hari-hari biasa. Kartini
adalah lambang perjuangan kaum wanita. Yang diperjuangkan adalah emansipasi.
Emansipasi itu sendiri sebenarnya bukan kata yang secara khusus mewakili
kepentingan perempuan. Emansipasi adalah perjuangan untuk mendapatkan
persamaan hak. Namun, dalam bahasan itu seolah kata tersebut menjadi satu
paket dengan emansipasi perempuan.
Apa wujud emansipasi itu? Biasanya dalam suasana perayaan
itu ditampilkan sosok-sosok perempuan yang sukses dalam berkarier, khususnya
di dunia yang biasanya dimonopoli oleh laki-laki, seperti dunia tentara,
penerbang, atau pelaut. Intinya, emansipasi itu adalah memberi kesempatan
kepada perempuan untuk menjadi apa saja yang biasanya diperankan oleh
laki-laki.
Bagi saya itu agak konyol, karena dalam masyarakat
tradisional kita perempuan sebenarnya sudah biasa mengerjakan hal-hal yang
biasa dikerjakan laki-laki. Mereka biasa bertani, menangkap ikan, berdagang,
dan berbagai pekerjaan lain. Bahkan ada di tempat tertentu di mana perempuan
bekerja mencari nafkah, sedang para lelaki asyik bermabuk-mabukan dan
berjudi.
Dalam konsep emansipasi tadi, peran-peran yang selama ini
sudah dimainkan perempuan dianggap tidak bermakna. Hanya orang-orang yang
berkarier kantoran yang dianggap sudah beremansipasi. Konyolnya lagi, pada
saat yang sama perempuan juga dituntut untuk tidak melupakan kodratnya. Apa
itu kodrat perempuan? Mereka harus (bisa) memasak, mengurus rumah, merawat
anak, dan melayani suami. Maka kita sering saksikan, perempuan bekerja di
luar rumah, sama seperti suaminya, tapi pulang ke rumah ia masih harus
melakukan banyak kewajiban lain, saat suaminya sudah bisa santai.
"Sekedar secangkir kopi pun suami saya tetap minta
dibuatkan, padahal kami sama-sama lelah sepulang kerja, dan saya mesti
mengurus rumah dan anak," keluh seorang teman saya.
Apa yang sebenarnya dibutuhkan dan perlu diperjuangkan
untuk perempuan? Bagi saya yang terpenting adalah hak-hak mereka untuk
memastikan tugas kodrati mereka terlaksana, hak untuk melakukan tugas
reproduksi. Perempuan harus mendapat jaminan untuk memperoleh pelayanan
kesehatan dan gizi yang layak. Ini hak paling dasar. Jangan sampai hak itu
kalah oleh kepentingan yang sangat sepele, seperti jatah uang rokok suami.
Hak selanjutnya adalah pendidikan. Anak-anak perempuan
harus mendapat pendidikan dengan kesempatan yang sama seperti laki-laki.
Tidak boleh ada pembatasan, baik secara institusional maupun kultural. Tidak
boleh lagi ada perempuan muda yang dihalangi untuk kuliah, hanya karena orangtuanya
tidak bisa melepasnya pergi jauh.
Dalam hal pekerjaan, jangan lagi dianggap bahwa perempuan
hanya pendamping suami dalam mencari nafkah. Artinya, kalau ternyata nafkah
suami sudah cukup, maka perempuan dianggap tak perlu lagi bekerja. Bekerja
bukan sekedar soal cari nafkah. Ini adalah soal mengolah potensi menjadi
karya nyata. Dalam sudut pandang ini, perempuan memiliki hak yang sama dengan
laki-laki.
Dalam hal itu, bila perempuan memilih untuk bekerja, maka
ia tidak boleh diperlakukan seperti orang yang meninggalkan pos utamanya. Pos
utama perempuan adalah urusan rumah tangga. Maka ketika ia bekerja, seluruh
urusan pelaksanaan atau pengalihan beban kerja rumah tangga menjadi tanggung
jawabnya. Tidak boleh demikian. Berjalannya semua urusan rumah tangga adalah
tanggung jawab berdua, antara laki-laki dan perempuan. Ketika perempuan juga
bekerja di luar rumah, pelaksanaan urusan rumah tangga harus dibebankan
secara adil kepada suami dan istri.
Ada hal penting lagi. Ada begitu banyak perempuan yang
ditinggal oleh suami, sebagian besar dalam keadaan punya anak. Suaminya
mengelak dari tanggung jawab menafkahi istri dan anak. Perempuan tak bisa
mengelak. Mereka tertimpa beban, harus menafkahi diri sendiri, juga anak. Tak
ada sanksi hukum yang tegas atas kejahatan penelantaran seperti ini. Tak
jarang beban berat itu menyeret perempuan pada prostusi dan perdagangan
manusia. Maka, kejahatan penelantaran ini seharusnya mendapat hukuman berat,
dan ini harus diperjuangkan.
Emansipasi bukanlah mendorong perempuan untuk berkarier
tingi-tinggi. Juga bukan mendorong mereka untuk melakukan hal-hal yang biasa
didominasi laki-laki. Emansipasi adalah perjuangan untuk menempatkan
perempuan sebagai manusia, sebagaimana manusianya laki-laki. Tidak lebih, dan
tidak kurang. Emansipasi adalah membangkitkan kesadaran bahwa perempuan
adalah ibu bagi setiap manusia, sehingga tak ada ruang lagi untuk memandang
mereka tidak setara dengan laki-laki. Bagaimana mungkin laki-laki bisa lebih
tinggi dari sosok yang melahirkannya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar