Stigma
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO
|
INDONESIANA, 20 April 2017
Ahok kalah;
pilkada DKI 2017 sudah menentukan itu. Segera, apa yang terjadi dengan hiruk
pikuk selama ini, akan jadi sejarah.
Banyak yang
lega -- karena Anies menang ataupun karena kita akhirnya melampaui kebencian
yang meracuni udara kampanye, suasana yang meretakkan banyak pertemanan.
Tapi saya
harap satu hal tak dilupakan.
Ahok maju ke
dalam arena dengan belenggu di tubuhnya: belenggu sebagai "penista
agama". Ia bisa bergerak dan bisa bicara, tapi ia tak sepenuhnya bebas.
Prestasinya sebagai kepala daerah, yang diakui sebagian besar warga -- yang
membuat ia sebenarnya tak tertandingi -- nyaris tak tampak dan terdengar
lagi.
Dalam sejarah
politik Indonesia, mungkin apa yang dicapkan pada Ahok merupakan teknik
membuat stigma yang paling berhasil.
Stigma itu
bermula dari fitnah. Ia tak menghina agama Islam, tapi tuduhan itu tiap hari
diulang-ulang; seperti kata ahli propaganda Nazi Jerman, dusta yang terus
menerus diulang akan jadi "kebenaran". Kita mendengarnya di
masjid-masjid, di media sosial, di percakapan sehari-hari, sangkaan itu
menjadi bukan sangkaan, tapi sudah kepastian.
Ahok pun harus
diusut oleh pengadilan, dengan undang-undang "penistaan agama" yang
diproduksi rezim Orde Baru -- sebuah undang-undang yang batas pelanggarannya
tak jelas, dan tak jelas pula siapa yang sah mewakili agama yang dinista itu.
Walhasil, Ahok
diperlakukan tidak adil dalam tiga hal: (1) difitnah, (2) dinyatakan bersalah
sebelum pengadilan, (3) diadili dengan hukum yang meragukan.
Mengakui
adanya ketidak-adilan di dalam kasus ini tapi bertepuk tangan untuk kekalahan
politik Ahok -- yang tak bisa diubah -- adalah sebuah ketidak-jujuran.
Ahok kalah, ia bahkan masih bisa di jatuhi hukuman dalam proses
pengadilan yang di bawah tekanan aksi massa itu. Jangan-jangan kebenaran juga
kalah -- di masa yang merayakan "pasca-kebenaran" kini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar