Setelah
Pilkada Jakarta Usai
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor Riset LIPI
|
MEDIA
INDONESIA, 20 April 2017
HASIL hitung cepat berbagai lembaga survei terkait dengan
pilkada Jakarta menunjukkan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menang
telak atas pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful
Hidayat. Angkanya pun tak tanggung-tanggung, di atas 15%. Dari pengalaman
pilkada-pilkada sebelumnya, hasil pilkada DKI Jakarta menunjukkan sebuah
anomali politik karena pasangan petahana yang tingkat kepuasan publiknya
70%-76% ternyata dapat dikalahkan pasangan yang tidak memiliki pengalaman di
bidang pemerintahan lokal atau daerah. Pastinya ada beberapa faktor yang
menyebabkan anomali politik itu terjadi. Pertama, seperti tampak pula dari
berbagai survei, agama menjadi faktor utama dari kemenangan Anies-Sandi.
Secara kebetulan, pada September 2016, dalam sebuah acara di Kepulauan
Seribu, Basuki alias Ahok membuat pernyataan yang bisa mengaitkan agama dan
politik. Pernyataan yang mengaitkan politisasi Surah Al Maidah ayat 51 itu
tentu saja menjadi bumerang baginya.
Persoalan itu kemudian menjadi isu agama karena secara
kebetulan Ahok beragama Kristen dan beretnik Tionghoa. Kalau saja Ahok tidak
memiliki dobel minoritas itu, belum tentu isu politisasi agama menjadi isu
besar, bahkan menimbulkan demonstrasi besar-besaran dari yang disebut 411,
212, 212, hingga 311. Berbagai isu, bahwa memilih orang kafir sebagai
gubernur akan masuk neraka, pemilih Ahok tak boleh disalati atau bahkan tak
boleh dibantu pemakamannya, menambah semakin takutnya warga muslim untuk
memilih Ahok-Djarot. Kedua, persoalan penggusuran untuk normalisasi Kali
Ciliwung yang digoreng Anies Baswedan juga menimbulkan kesan seakan-akan Ahok
ialah gubernur yang suka menggusur rakyat kecil. Apalagi hal itu dikaitkan
dengan proyek reklamasi di Teluk Jakarta yang lagi-lagi digoreng seakan-akan
Ahok lebih mengutamakan kepentingan ekonomi para konglomerat dan menyusahkan
para nelayan yang ialah juga bagian dari rakyat kecil.
Meski Ahok sudah berbusa-busa menjelaskan keuntungan yang
akan dinikmati rakyat kecil dan miskin Jakarta dari berbagai proyek yang
dilakukan Pemprov DKI Jakarta, semua itu dianggap tidak menarik ketimbang
berbagai tuduhan negatif Anies terhadap Ahok yang dianggap sebagai suatu
kebenaran. Ketiga, gaya Anies yang pandai memilih kata-kata di dalam kampanye
politiknya, seperti “Rakyat Jakarta menginginkan gubernur baru, saya akan
menutup tempat mesum di Hotel Alexis, saya akan memecat Ahok sebagai
gubernur, saya akan menghentikan proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Lalu,
saya akan menyatukan sistem transportasi di Jakarta dan rakyat hanya membayar
Rp5.000, saya akan memberikan DP 0% untuk rakyat Jakarta yang akan memiliki
rumah, saya akan memberikan kartu Jakarta pintar (KJP) kepada mereka yang tidak
sekolah.” Semua itu menarik rakyat yang memimpikan bisa membeli rumah tanpa
DP, yang ingin juga tetap dapat uang walaupun tidak sekolah atau tidak
bekerja. Keempat, pemilih Jakarta terimbas oleh kebangkitan kembali
konservatisme baru seperti yang terjadi di Inggris terkait dengan hasil
referendum yang menyebabkan Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit) dan
menangnya Donald Trump pada pemilu di AS 2016. Dengan kata lain, cara
berpikir yang konservatif ternyata dapat mengalahkan cara berpikir yang
rasional dan modern.
Pelajaran berharga
Hasil pilkada Jakarta memberikan pelajaran berharga bagi
partai-partai nasionalis dan partai-partai Islam yang mengedepankan Islam
moderat. Pertama, mereka selama ini seakan melupakan atau membiarkan
konstituen Islam mereka di arus bawah sehingga dapat dirasuki pikiran-pikiran
yang sempit dalam keberagamaan mereka. Ketika rakyat akar rumput ketakutan
dengan ungkapan kalau meninggal tidak dimandikan atau disalati, mereka tidak
cepat didekati para ulama yang merupakan bagian dari Islam moderat. Kedua,
pilkada Jakarta sekali lagi membuktikan bahwa jumlah partai pendukung tidak
identik dengan jumlah perolehan suara yang akan didapat di pilkada. Gaya
berkampanye, sosok calon yang dikontraskan dengan petahana, isi kampanye yang
membuai mimpi kaum miskin, dan kalimat-kalimat yang menyatakan bahwa semua
kenikmatan dan kemudahan yang sudah dirasakan rakyat tak akan dihilangkan
ternyata lebih menarik ketimbang hasil yang sudah dicapai petahana dan
dinikmati rakyat miskin.
Ketiga, mobilisasi massa secara masif atas dasar agama
yang bukan saja berasal dari dalam Jakarta, melainkan juga dari luar Jakarta
sulit dibendung ketika jargon-jargon agama, politik, dan demokrasi disatukan
untuk membenarkan mobilisasi massa itu. Atas nama demokrasi, kegiatan politik
yang masif itu tentunya tak mungkin dihentikan karena pemerintah dan aparat
keamanan tidak ingin dikatakan anti-Islam atau bertentangan dengan Islam.
Apakah gaya politik ini bisa dikembangkan pada Pilpres 2019 tampaknya agak
sulit karena pada pilkada kedekatan emosional pemilih dan yang dipilih amat
kuat karena faktor geografis, politis, dan agama. Namun, pada pilpres ada
jarak yang cukup jauh antara pemilih dan yang dipilih. Keempat, melihat hasil
pilkada Jakarta, bukan mustahil pendekatan agama akan semakin digunakan pada
pilkada-pilkada lainnya pada 2018 dan seterusnya. Ini mengalahkan hasil
kerja atau pun kejujuran dari seorang calon gubernur petahana, apalagi jika
sang petahana memiliki perbedaan agama dengan sebagian besar penduduk di
provinsi, kabupaten, atau kota tertentu.
Tantangan gubernur baru
Kita semua harus menerima hasil pilkada DKI Jakarta dengan
lapang dada. Saya juga percaya bahwa para pemilih Ahok-Djarot bukanlah rakyat
yang bodoh, irasional, dan emosional yang tidak mau menerima kekalahan
mereka. Ini berbeda dengan pemilih Prabowo-Hatta yang sempat emosional dan
tidak menerima kekalahan mereka secara lapang data. Mereka juga tidak seperti
pendukung Partai Demokrat dan Hillary Clinton yang ramai melakukan
demonstrasi di berbagai tempat di AS hingga kini dan tidak bisa menerima
kemenangan Donald Trump. Tidaklah mengherankan jika Trump menggunakan gaya
lama kebijakan Partai Republik, yakni menjadikan perang untuk mendapatkan
dukungan dan legitimasi dari rakyat, seperti melalui pengeboman dahsyat
tentara AS di Suriah. Pendukung Ahok-Djarot juga bukan para rasionalis
Inggris yang tidak bisa menerima kekalahan pada referendum yang menyebabkan
Inggris keluar dari Uni Eropa.
Persoalannya kemudian ialah, pertama, dapatkah Anies kembali
ke masa lalunya sebagai orang yang sering bicara mengenai pentingnya kita
merajut kebangsaan di dalam kebinekaan ketimbang seseorang yang mulai lekat
dengan sektarianisme atas dasar sentimen agama? Kedua, Anies tentunya
berutang budi pada tokoh-tokoh Islam garis keras. Akankah dia memenuhi semua
tuntutan tokoh-tokoh agama itu untuk menjadikan Jakarta bersyariah? Ketiga,
bisakah Anies-Sandi adil terhadap penduduk Jakarta tanpa memandang
suku-agama-ras-golongan mereka? Keempat, akankah Anies men-deliver
janji-janji politik mereka soal DP rumah 0%, memberikan uang kepada mereka
yang tidak sekolah dan bekerja, tidak akan menggusur orang, akan menghentikan
reklamasi Teluk Jakarta, dan sebagainya? Kita akan menyaksikan apakah Jakarta
akan berubah ke arah lebih baik dalam lima tahun ke depan. Namun, sebagai
langkah awal, mari kita berikan ucapan selamat kepada Anies-Sandi sebagai
gubernur dan wakil gubernur terpilih. Setelah masa jabatan Ahok-Djarot
berakhir pada Oktober 2017 ini, kita akan melihat apakah janji-janji kampanye
itu tinggal janji, ataukah janji itu akan dilaksanakan secara konsisten. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar