Kongres
Ulama Perempuan
Lies Marcoes ; Direktur Rumah Kitab; Peserta KUPI
|
KOMPAS, 25 April 2017
Presiden
Afganistan Ashraf Ghani dalam kunjungannya ke Indonesia, awal April lalu,
memuji satu hal yang hampir tak dimiliki umat Islam di mana pun di dunia:
kiprah ulama perempuan Indonesia. Di tempat lain, jikapun ada, pengakuan atas
peran keulamaan mereka masih rendah atau bahkan tak dikenali.
Hari ini
(25/4), lebih dari seribu perempuan ulama dengan definisi longgar atas
ruang-ruang pemaknaan tentang kiprah keulamaannya berkumpul di Cirebon.
Mereka menyelenggarakan kongres dengan tajuk Kongres Ulama Perempuan
Indonesia (KUPI). Ini jelas bukan kongres yang lazim.
Tak akan
memilih ketua, pengurus, atau menawarkan agenda tahunan. Ini juga bukan
kongres politik pasaran yang hendak memberi isyarat untuk mendesakkan agenda
atau melambungkan tokoh perempuan di kancah politik praktis. Pun bukan
barisan ibu-ibu yang sedang tamasya spiritual atau sekumpulan perempuan yang
berafiliasi dengan agenda utopia syariatisasi semesta. Ini adalah kongres
pemikiran keagamaan yang berangkat dari kegelisahan berbasis riset dan
pengalaman mereka sebagai perempuan Indonesia yang berangkat dari
keprihatinan atas situasi perempuan yang sebagian pangkalnya disebabkan
kemandekan pemikiran keagamaan terkait problem kemanusiaan kaum perempuan.
Sebuah agenda politik yang sungguh mendasar signifikan dan subtantif.
Ada tiga tema
khusus yang akan melahirkan fatwa dengan metodologi yang dibangun di atas
kerangka pengalaman dan cara berpikir perempuan: kekerasan terhadap
perempuan, praktik perkawinan anak dengan legitimasi agama, dan dampak
perusakan lingkungan yang menyengsarakan perempuan serta kelompok-kelompok
yang termarjinalkan. Di luar itu, ada sebelas tema aktual yang dibahas dalam
diskusi paralel, termasuk soal perempuan dan kelompok radikal dan isu tenaga
migran serta kiprah dan tantangan ulama perempuan sendiri.
Dilihat dalam
kerangka eksistensialisme, KUPI tidak bisa lain merupakan penegasan atas ciri
khas Islam Indonesia. Inilah Islam Indonesia yang dipandang oleh umat Islam
di negara lain dan dicemburui oleh aktivis feminis Islam di dunia sebagai
oase pemikiran dan gerakan pasca-kolonial yang bersumber dari ajaran agama.
Islam
Indonesia adalah Islam yang dalam kehidupan sosial budayanya membuka diri
pada peranan perempuan untuk beraktivitas di ruang publik sehingga
dimungkinkan menjadi ulama, pemimpin agama, bahkan menjadi hakim agama.
Adanya perempuan dan ulama perempuan yang berperan penting dalam dua
kelembagaan sosial keagamaan arus utama, Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah, atau majelis taklim di komunitas juga membuktikan, Islam
Indonesia adalah Islam moderat.
Diinisiasi dan
dikerjakan secara sukarela oleh sejumlah nyai pimpinan pondok pesantren,
kiai-kiai muda, terutama dari lingkungan NU, kongres ini mewadahi kegelisahan
banyak pihak yang peduli pada persoalan perempuan dan mengalami kesulitan
mencari jalan keluar ketika pangkal persoalannya macet di tataran tafsir
keagamaan.
Contoh paling
dekat adalah ketika Mahkamah Konstitusi menolak upaya uji materi atas
Undang-Undang Perkawinan terkait batas usia nikah yang terlalu rendah.
Alih-alih menggunakan argumen konstitusi negara yang berlaku umum dan
mengikat kepada setiap warga Indonesia, sejumlah hakim malah memakai
argumentasi keagamaan yang bersifat primordial dan dari sisi agama sendiri
argumennya sarat debat.
Fatwa KUPI
KUPI
digerakkan oleh sebuah jaringan konvergensi antara aktivis pesantren, kampus,
dan pekerja pendampingan di akar rumput. Dialektika di antara mereka sangat
memperkaya hasil rumusan fatwa yang mereka tawarkan yang menunjukkan dinamika
perdebatan tingkat tinggi sebelum sampai pada tawaran final mereka
sebagaimana dimuat dalam keputusan fatwa KUPI.
Proses diskusi
perumusannya dilakukan berbulan-bulan dan berulang kali dengan mendialogkan
tiga kutub: realitas lapangan berbasis riset, pemikiran keagamaan berbasis
metodologi ushul fiqh, dan tataran praksis kerja-kerja gerakan di lapangan.
Di antara itu, dibangun metodologi perumusan fatwa yang sedapat mungkin
terhindar dari prasangka jenis kelamin, kelas, dan rezim pemikiran tunggal.
Semua ini
hanya dimungkinkan karena KUPI digerakkan oleh para ibu nyai pimpinan
pesantren, sayap perempuan ormas keagamaan arus utama, peneliti yang bergaul
luas dan bersentuhan dengan paradigma yang sanggup menembus ruang-ruang beku
dan buntu dalam pemikiran agama, para aktivis perempuan dengan latar belakang
keluarga Muslim non-santri, serta para
pekerja komunitas yang bersitekun dengan pemberdayaan perempuan di
komunitas-komunitas perempuan yang terpinggirkan termiskinkan.
Mereka
menghindari dominasi sepihak atau bersandar pada ketokohan orang per orang.
Namun, semua berangkat dari titik keyakinan yang sama, Islam Indonesia
(seharusnya) sanggup menjawab soal-soal kekinian yang dihadapi kaum perempuan
di Indonesia dan bahkan dapat menyumbang pada pemikiran Islam dunia yang juga
menghadapi persoalan ketertindasan perempuan di dunia global.
Jawaban yang
terbarukan itu dianggap perlu karena struktur relasi kuasa sosial dan jender
masa kini tak lagi sama dengan ketika agama diturunkan.
Perlindungan-perlindungan personal terhadap perempuan yang semula berbasis
klan dalam tradisi patriarki sebagaimana dinarasikan agama dianggap tak
sanggup lagi menjawab persoalan ketertindasan perempuan terkini.
Hal itu
disebabkan adanya perubahan relasi jender dalam masyarakat
pasca-industrialisasi dan modernisasi. Di lain pihak, mereka meyakini, agama
seharusnya menjadi pegangan etis dan etos dalam membaca situasi kaum
perempuan masa kini dan karena itu dibutuhkan cara baca atau metode yang
terbarukan sehingga agama tetap relevan sebagai pemandu perubahan.
Kongres ini sangat penting untuk dicatat dalam sejarah Islam di
Indonesia ataupun di dunia. Kongres ini telah melegitimasi dan mengafirmasi
kerja-kerja perempuan-perempuan ulama di Indonesia, terutama mereka yang
telah memiliki kesadaran keberpihakan untuk keadilan antara laki-laki dan
perempuan. Tinggal kemudian bagaimana ulama, terutama lelaki, sebagaimana
Presiden Ashraf Ghani, mampu merekognisi capaian ini dan tak menganggapnya sebagai ancaman meski
hasil fatwa mereka mungkin mengganggu kenyamanan para patriark penunggang
agama.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar