50
Tahun ASEAN
Retno LP Marsudi ; Menteri Luar Negeri RI
|
KOMPAS, 25 April 2017
Perdamaian jarang
diceritakan dibandingkan dengan konflik dan peperangan". Kutipan itu
sangat pas untuk menceritakan perjalanan ASEAN, sebuah asosiasi yang pada
tahun ini berusia 50 tahun.
Keberhasilan
ASEAN dalam menciptakan perdamaian dan kesejahteraan di kawasan jarang
disinggung. Sebaliknya, banyak orang bertanya apa yang telah dicapai ASEAN
dalam 50 tahun ini. Bahkan, ada pula yang menanyakan, apa manfaat ASEAN bagi
Indonesia? Mampukah ASEAN bertahan hidup di era di mana ketidakpastian telah
menjadi "a new normal"?
ASEAN dan ekosistem damai
Konflik dan
perang di sudut dunia mana pun tidak pernah lepas dari sorotan media. Konflik
baru muncul. Konflik lama tidak mudah diselesaikan. Penyelesaian militer
bukan merupakan hal yang tabu dilakukan.
Dunia saat ini
dihantui oleh pesimisme yang cukup kental. Pesimisme mengenai perdamaian.
Pesimisme mengenai ekonomi yang semakin tertutup atau proteksionis.
Dunia seolah
lupa bahwa ada suatu kawasan, Asia Tenggara, yang dalam 50 tahun mampu
menciptakan ekosistem perdamaian. Bukan saja perdamaian yang dinikmati oleh
sepuluh negara anggota ASEAN, melainkan juga dinikmati oleh hampir separuh
penduduk dunia yang tinggal di wilayah sekitar Asia Tenggara.
Membuat suatu
ekosistem damai di Asia Tenggara bukanlah hal yang mudah. Kesepuluh anggota
ASEAN sangat berbeda satu sama lain, mulai perbedaan dari segi kemajuan
ekonomi hingga perbedaan sistem politik. Kebinekaan ASEAN juga dapat dilihat
dari keragaman agama yang dianut masyarakatnya. Di Asia Tenggara terdapat
komunitas Muslim, umat Kristen, Buddha, dan Hindu. Dari sisi etnik juga
menunjukkan spektrum keragaman yang sangat luas.
Saya kira
hanya di Asia Tenggara perbedaan seperti ini dapat hidup berdampingan relatif
damai. Perkiraan beberapa ahli, bahwa karena perbedaan ini akan membawa
"balkanisasi" di Asia Tenggara, sampai sekarang tidak terjadi.
Dugaan yang meleset ini patut kita syukuri.
Kekhawatiran
terhadap "balkanisasi" ini tak berlebihan. Sejarah Asia Tenggara
pernah diwarnai konflik Indonesia-Malaysia, Singapura-Malaysia,
Vietnam-Kamboja, dan Thailand-Kamboja. Berbagai konflik itu pada akhirnya
dapat diatasi.
Lebih jauh
lagi, ASEAN dalam 50 tahun ini telah mampu menyediakan platform melalui
berbagai ASEAN-led Mechanism, seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan East
Asia Summit (EAS), untuk membantu kekuatan-kekuatan besar bertemu dan
berdialog. Di sinilah sentralitas ASEAN berfungsi dan dihargai. Hanya ada
satu organisasi kawasan, yaitu ASEAN, yang pada satu platform dapat
mempertemukan semua kekuatan besar, seperti AS, Rusia, China, India, Korea
Selatan, Jepang, dan Australia pada saat yang bersamaan.
ASEAN-led
Mechanism ini tanpa disadari telah menumbuhkan dan mempertebal budaya dialog.
Dan budaya ini menjadi barang langka yang sangat mahal saat ini. Penghormatan
dan pemajuan hak asasi manusia serta tata pemerintahan yang baik juga
merupakan faktor penting dalam ekosistem damai tersebut.
ASEAN dan ekosistem kesejahteraan
Kebinekaan
ASEAN juga terjadi pada tingkat kemajuan ekonomi. Produk domestik bruto per
kapita Singapura mencapai 53.053 dollar AS (2016), sementara Kamboja baru
mencapai 1.228 dollar AS dan Laos 1.307 dollar AS.
Terlepas dari
tingkat PDB yang cukup berjarak tersebut, ekosistem perdamaian dan stabilitas
yang diciptakan ASEAN telah memacu pertumbuhan ekonomi negara anggota lebih
baik daripada rata-rata pertumbuhan dunia. Data Organisasi untuk Kerja Sama
Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebutkan bahwa Indonesia mengalami
pertumbuhan ekonomi 5,2 persen, Filipina 6 persen, Kamboja 7,1 persen, Laos 7
persen, Myanmar 8,2 persen, dan Vietnam 5,9 persen, di atas rata-rata dunia
sebesar 3,1 persen (Dana Moneter Internasional, Januari 2017).
Setiap negara
anggota merasakan betul manfaat dari integrasi ekonomi ASEAN. Pada 2015,
total perdagangan intra ASEAN mencapai 543 miliar dollar AS, yang menjadikan
perdagangan intra ASEAN sebagai perdagangan terbesar bagi ASEAN (24 persen).
Mitra perdagangan terbesar ASEAN di luar perdagangan intra ASEAN adalah
dengan China (15 persen), Jepang (11 persen), Uni Eropa (10 persen), dan AS
(9 persen).
Di bidang
investasi, ASEAN menarik sekitar 120 miliar dollar AS penanaman modal asing
(foreign direct investment/FDI), di mana 62,1 persen di antaranya merupakan
investasi di bidang jasa. Investasi intra ASEAN juga menduduki peringkat
tertinggi (18 persen), disusul oleh investasi dari Uni Eropa (16 persen),
Jepang (14 persen), AS (11 persen) dan China (7 persen).
Lebih dari 40
persen investasi intra ASEAN ditanamkan di Indonesia. Tidak hanya itu, 720
perusahaan Indonesia saat ini telah beroperasi di negara-negara ASEAN. Data
ekonomi tersebut menunjukkan bahwa di ASEAN, ekosistem perdamaian dan
stabilitas telah menciptakan pula ekosistem pembangunan dan kesejahteraan.
Tantangan
Capaian ASEAN
dalam 50 tahun ini jangan sampai menjadikan negara anggotanya berpuas diri.
Di dunia yang sangat cair dan penuh ketidakpastian ini, ASEAN akan menghadapi
tantangan yang berat agar dapat mempertahankan ekosistem perdamaian dan
kesejahteraan tadi.
Pertama, ASEAN
harus mampu menjadi organisasi yang modern, lentur, dan memiliki sekretariat
yang kuat. Efisiensi perlu mendapatkan perhatian ASEAN. Jika tidak dilakukan
efisiensi, ribuan pertemuan setiap tahunnya itu akan menjebak ASEAN menjadi
"meeting-oriented" dan bukan "implementation-oriented".
Kedua,
semboyan people-centered harus benar-benar diimplementasikan. Gap
kesejahteraan di dalam setiap negara anggota dan gap pembangunan di antara
negara anggota harus diperkecil. Kelas menengah ASEAN, yang jumlahnya
mencapai 150 juta pada tahun 2015 dan diproyeksikan akan tumbuh menjadi 400
juta pada tahun 2020 (Nielson, 2015), harus mampu menarik gerbong usaha
menengah kecil dan mikro (UMKM) sehingga masyarakat semakin merasakan manfaat
ASEAN. Pekerja migran ASEAN harus diberi perlindungan maksimal.
Ketiga,
kesatuan dan sentralitas ASEAN harus terus dipertahankan. Negara anggota
harus berkomitmen tinggi untuk menjaga kesatuan dan sentralitas ASEAN. Tanpa
kesatuan, tidak akan terjadi sentralitas ASEAN. Dan tanpa kesatuan dan
sentralitas, ASEAN akan kehilangan relevansinya sebagai kawasan penyedia
ekosistem perdamaian. Yang lebih dikhawatirkan, Asia Tenggara justru akan
menjadi "proksi" bagi persaingan kekuatan besar dunia.
Keempat,
integrasi ekonomi dengan lingkup yang lebih luas harus dilakukan di tengah
maraknya proteksionisme banyak negara. Dalam kaitan ini, sangat penting bagi
ASEAN untuk segera menyelesaikan perundingan Kemitraan Ekonomi Komprehensif
Regional (RCEP). Ke-16 negara anggota RCEP tersebut berwargakan separuh
penduduk dunia, memberikan kontribusi lebih 30 persen PDB dunia, dan
seperempat ekspor dunia.
Kelima, ASEAN
harus mampu mengatasi maraknya kejahatan lintas batas, termasuk radikalisme,
terorisme, illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing, dan
perdagangan narkoba. Keamanan laut di ASEAN harus ditingkatkan sehingga
pelaut-pelaut ASEAN bebas dari bahaya penculikan.
Keenam,
masyarakat ASEAN harus meningkatkan rasa kepemilikan terhadap ASEAN. Sejarah
ASEAN perlu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Negara-negara anggota
ASEAN perlu mendorong tumbuhnya pusat-pusat kajian ASEAN.
Semoga ASEAN
akan tetap berjaya 50 tahun ke depan.
Sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia memiliki komitmen
yang tinggi untuk memajukan ASEAN. Saat saya bertemu diplomat kawakan
Singapura, Kishore Mahbubani, dia menyampaikan harapannya agar Indonesia
terus menjadi "natural custodian" bagi ASEAN. Saya langsung
menjawab, "Certainly we will." Selamat memasuki usia 50 tahun,
ASEAN.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar