Menang
Tanpa "Ngasorake"
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
|
KOMPAS, 21 April 2017
Banyak orang
kadang lupa. Dalam kontestasi, sejatinya yang utama diperjuangkan adalah
moralitas. Oleh karena itu, kalah dan menang, orang tetap terhormat.
Moralitas adalah esensi yang
meneguhkan eksistensi. Kalah tetapi bermartabat jauh lebih mulia
daripada menang/jaya tetapi nista.
Olahraga
memaknai moralitas dengan sportivitas (sikap adil/obyektif dan jujur). Dalam
kompetisi sepak bola Liga Champions, Bayern Muenchen menerima kekalahan
dengan kepala tegak ketika disingkirkan Real Madrid dengan agregat 3-6. Kedua
tim sama-sama bermain bagus.
Kalah dan
menang hanya akibat. Pihak yang kalah dan yang menang sama-sama terhormat!
Yang membedakan, hanyalah keberuntungan. Nasib!
Kehormatan dan martabat
Dalam
kontestasi apa pun, seyogianya orang harus siap menang dan siap kalah. Namun,
hal itu tidak gampang dijalani bagi pihak yang kalah. Kekalahan sering
menjelma menjadi kekuatan mengerikan yang dapat melemparkan siapa pun ke dalam
ruang hampa.
Dunia terasa
gelap. Habis. Kiamat. Kesabaran datang menjadi percik cahaya. Agama bilang,
orang harus bersikap tawakal ketika sudah berusaha dan berjuang tetapi tetap
gagal mendapatkan hasil terbaik. Biarlah Tuhan yang menilai.
Di sini, keimanan
bicara. Religiusitas (penghayatan keimanan) memang selalu ada di dalam setiap
kontestasi. Kekalahan tak lagi disikapi dengan kecengengan atau amarah.
Itulah moralitas yang bersumber dari keyakinan agama.
Hidup kita
selalu disertai moral sehingga kita bisa membedakan baik-buruk, benar-salah,
mulia-hina, pantas-tidak pantas, dan layak-tidak layak. Moral merupakan
sistem pengetahuan dan sistem ajaran kebajikan yang menjadi rujukan bagi cara
berpikir dan perilaku manusia yang mengindahkan keadaban. Sumber moralitas,
antara lain agama, ideologi/filsafat, dan kearifan lokal (local wisdom).
Menang tanpa
ngasorake (mencapai kemenangan tanpa merendahkan budi pekerti, baik diri
sendiri maupun orang lain), adalah salah satu kearifan lokal budaya Jawa. Ia
mengajari kita tentang pentingnya kehormatan dan martabat di dalam meraih
kemenangan. Kemenangan memang penting, tetapi jauh lebih penting adalah cara
meraihnya. Proses selalu menjadi pertimbangan utama untuk mencapai hasil.
Tidak ada
artinya jika kemenangan diraih dengan cara hina dan nista: melabrak etika,
norma, dan hukum (aturan). Jika keburukan itu dilakukan, kemenangan itu
dicapai dengan ngasorake diri sendiri sekaligus ngasorake liyan (kompetitor
atau publik) karena liyan telah diakali atau dicurangi. Kemenangan yang
diraih hanyalah kemenangan formal bukan kemenangan substansial yang oleh
budaya Jawa disebut menang sak gebyaran (kemenangan semu).
Kemenangan
menjadi pencapaian berkualitas, indah, dan otentik justru ketika kita berada
pada jalur dan rambu regulasi, yakni perangkat keras dari etika, moral, dan
norma. Asyik dan indahnya kontestasi justru karena ada peraturan dan risiko
hukuman, bukan malah menghancurkan aturan. Karena tanpa aturan, kontestasi
berubah jadi perebutan kemenangan secara liar dan tak beradab, bahkan layak
juga disebut "penjarahan".
Bayangkan
betapa brutalnya pertandingan sepak bola jika tanpa wasit. Lapangan sepak
bola pasti berubah jadi arena bar-barian, di mana masing-masing pendukung tim
turut bermain. Adu kekuatan otot. Chaos! Yang menang bukan juara sejati,
tetapi komunitas ganas yang mengandalkan okol, bukan akal.
Menang tanpa
ngasorake merupakan cerminan watak ksatria. Ia menaruh kehormatan dan
martabat di atas kekuasaan dan pencapaian material-imaterial melalui
kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab moral. Seorang striker bisa saja
menceploskan bola ke gawang yang sudah melompong. Namun, ia justru membuang
bola keluar ketika melihat ada pemain lawan yang terkapar kesakitan.
Jadilah sang kesatria
Itulah sikap
kesatria. Namun, bagi orang yang berideologi menang, pasti akan mengutuk sang
striker. Namun, bagi yang menghormati
sportivitas, pasti mengapresiasi tindakan sang striker yang bermoral dan
sportif itu. Itulah sebabnya, para legenda sepak bola di dunia biasanya memiliki
jiwa sportif yang tinggi.
Mungkin orang
lebih mengagumi Pele (Edison Arantes do Nascimento) daripada Maradona yang
penah menciptakan gol dengan "tangan Tuhan". Maradona memang
memberikan kemenangan bagi Argentina yang menyingkirkan Inggris di perempat
final Piala Dunia 1986. Akan tetapi, kemenangan itu tidak bersih karena
dicapai dengan ngasorake dirinya, lawan, pengadil, dan publik sepak bola.
Kecurangan Maradona dikenang publik dunia secara abadi. Maradona jadi legenda
cacat sepak bola.
Manusia adalah
makhluk kemungkinan. Ia bebas memilih. Menang secara elegan (jujur, adil,
terhormat) atau menang secara tidak terhormat. Menang secara elegan berarti
menempuh proses secara wajar dan baik sesuai regulasi, etika, norma, dan
moralitas.
Kemenangan otentik itu menjadi wahana yang membawa sang pemenang
pada kualitas mental dan moral yang turunannya adalah nama baik, prestasi dan
reputasi. Adapun menang secara tidak terhormat tak ubahnya menggenggam hasil
semu yang dikutuk waktu dan suatu ketika bakal longsor ketika kekuasaan yang
menopangnya ambrol oleh akal sehat dan kebenaran sejati. Menang tanpa
ngasorake, memang sulit dan pahit, tetapi dia bernilai dan abadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar