Duh,
DPR!
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 27 April 2017
Di zaman Orde
Baru sepanjang lebih dari tiga dekade, publik muak menyaksikan Dewan
Perwakilan Rakyat yang melempem, tidak berani, "bisu", yes man,
selalu bersuara sama. Interupsi hampir tidak ada dalam sidang-sidang di
DPR/MPR. Maka, ketika ada anggota Fraksi ABRI, Brigadir Jenderal TNI Ibrahim
Saleh, melakukan interupsi pada sidang MPR/DPR 1988 yang menolak pencalonan
Wakil Presiden Sudharmono, insiden interupsi itu menjadi legenda sepanjang
sejarah DPR semasa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.
Di zaman
reformasi sekarang ini, sebaliknya publik sama muaknya ketika menyaksikan DPR
yang berani, bersuara keras, vokal, ngotot, tampak powerfull. Interupsi tidak
terhitung, berlomba paling keras suara. Bahkan, saling adu jotos dan banting
meja sudah masuk "sejarah baru" DPR saat ini. Ketika era demokrasi
semakin terbuka, transparan, dinamis, dan bebas, suara keras justru membuat
telinga pekak. Apalagi, perilaku anggota DPR sudah terlalu minor di mata
publik: banyak terjerat korupsi, ada yang berurusan dengan persoalan etika
dan moral, manuver politik, hingga kinerja yang jeblok.
Hari-hari
belakangan ini, sikap ngotot DPR muncul lagi. Kamis (27/4) ini, jika tak ada
aral melintang, Komisi III DPR mengajukan surat pengajuan hak angket terhadap
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hak angket itu diajukan untuk meminta KPK
membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II DPR, Miryam S Haryani.
Miryam mencabut berita acara pemeriksaan (BAP) karena merasa ditekan KPK.
Miryam pun dikonfrontasi dengan penyidik KPK. Menurut penyidik KPK, saat
diperiksa, Miryam mengaku ditekan sejumlah anggota Komisi III.
Kalau melihat
gaya DPR, pengajuan hak DPR itu mudah terbaca ketika DPR berada dalam
tekanan. Hak angket ini menguat setelah kasus megakorupsi KTP elektronik
(KTP-el) dibongkar KPK. Ada sejumlah "nama besar" yang diduga
terlibat kasus tersebut. KPK sudah memeriksa anggota (dan mantan anggota)
DPR, pejabat dan mantan pejabat, termasuk tokoh paling top di DPR, Setya
Novanto, yang bahkan sudah dicegah bepergian ke luar negeri. KPK juga telah
membuat status tersangka Miryam dalam perkara pemberian keterangan palsu.
Meskipun
kemudian hak angket ini disamarkan untuk persoalan global di KPK, mustahil
hak angket ini tak terkait dengan pengusutan kasus korupsi KTP-el. Apalagi,
jelas-jelas kasus megakorupsi KTP-el ini mengarah ke DPR. Bisa jadi inilah
serangan balik (counter attack) untuk kesekian kalinya. Adu cepat membuat
gertakan dan gebrakan. Kasus serangan air keras ke wajah Novel Baswedan,
penyidik KPK, sulit disebut urusan personal. Dan, seperti biasa, KPK sudah
imun gertakan.
Serangan balik
lewat hak angket ini bisa jadi model lain. Model lama, yaitu wacana revisi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, sudah bikin muak. Sejak era
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekitar 2010, wacana pelemahan KPK selalu
muncul. Di era Presiden Joko Widodo, seperti pada awal tahun 2016, wacana
revisi UU itu muncul lagi. Namun, lagi-lagi suara publik begitu keras menolak
wacana revisi UU tersebut.
Soal hak angket, DPR bisa berdalih merupakan bagian dari fungsi
pengawasan DPR. Sebetulnya, kalau mau introspeksi, DPR harusnya juga
melakukan pengawasan internal: mengapa praktik kongkalikong dan korupsi di
DPR tak hilang-hilang. Bersihkan diri dululah sebelum membersihkan pihak
lain. Lagi pula kinerjanya juga jeblok. William Wilberforce (1759-1833),
anggota parlemen Inggris yang juga pemimpin gerakan pemberantasan perdagangan
budak, bertanya, "Bisakah orang melayani Tuhan dan bangsanya di
parlemen?" Duh, DPR! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar