Keberatan
Pencegahan
Hifdzil Alim ; Pengamat Hukum dan Peneliti di Pusat Kajian
Antikorupsi
Fakultas Hukum UGM
|
KOMPAS, 19 April 2017
Komisi Pemberantasan Korupsi mencegah Setya Novanto ke
luar negeri. Pencegahan dilayangkan dalam kapasitas Setya sebagai saksi pada
dugaan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik. Tak disangka, pencegahan itu
menimbulkan reaksi DPR.
DPR secara resmi menyampaikan keberatan kepada pemerintah.
Keputusan keberatan diambil dalam rapat Badan Musyawarah yang dipimpin Wakil
Ketua DPR Fahri Hamzah, dihadiri dua Wakil DPR lainnya, Fadli Zon dan Taufik
Kurniawan. Apakah sikap resmi DPR tersebut tepat secara hukum, khususnya
secara undang-undang?
Pengaturan keberatan
Perihal pencegahan diatur dalam UU No 6/2011 tentang
Keimigrasian. Dalam Pasal 1 angka 28 pada pokoknya menyebutkan, pencegahan
adalah larangan sementara yang dikenakan kepada seseorang keluar dari
Indonesia karena alasan keimigrasian. Salah satu alasan keimigrasian
dicantumkan dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf b. Orang ditolak keluar dari
Indonesia sebab diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas
permintaan pejabat yang berwenang.
Apakah KPK masuk kategori sebagai institusi yang
pejabatnya berwenang memohon pencegahan? Pasal 12 Ayat (1) huruf b UU No
30/2002 menuliskan, "KPK berwenang memerintahkan kepada instansi yang
terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri." Jika
dicermati, kata yang digunakan dalam UU itu adalah "memerintahkan",
bukan "memohon". Artinya, pencegahan KPK bersifat imperatif: wajib
dilaksanakan oleh lembaga keimigrasian, tidak boleh ada penolakan. Pada
bagian ini, tak ada perdebatan lagi apakah KPK berwenang atau tidak
melayangkan perintah pencegahan seseorang ke luar negeri.
Berikutnya, apakah orang yang dicegah dapat mengajukan
keberatan? Pasal 96 Ayat (1) UU Keimigrasian mengaturnya: "Setiap orang
yang dikenai pencegahan dapat mengajukan keberatan kepada pejabat yang
mengeluarkan keputusan pencegahan". Hemat penulis, tafsir ketentuan ini
ada dua. Pertama, orang yang dicegah secara sendiri dapat mengajukan keberatan
pencegahan. Kedua, keberatan pencegahan bisa diajukan oleh orang yang diberi
kuasa khusus oleh orang yang dicegah.
Selanjutnya, Pasal 96 Ayat (3) UU Keimigrasian
mengemukakan, pengajuan keberatan tidak menunda pelaksanaan pencegahan.
Dengan pengertian gramatikal, pasal itu bermakna meski si tercegah mengajukan
keberatan, pencegahan tetap berlaku.
Pendek kata, Pasal 96 Ayat (1) dan Ayat (3) UU
Keimigrasian mengeksplanasi dua hal. Pertama, hanya orang yang dicegah atau
yang diberi kuasa khusus saja yang dapat mengajukan keberatan pencegahan.
Kedua, pengajuan keberatan tidak menghentikan pencegahan.
Kekeliruan DPR
Sesuai UU Keimigrasian, jika terdapat keberatan terhadap
pencegahan, seharusnya Setya atau orang yang diberi kuasa khusus oleh
Setya-lah yang mengajukan keberatan pencegahan. Akan tetapi, fakta yang
tersedia sementara adalah DPR menerbitkan sikap resmi dan mengajukan
keberatan ke pemerintah atas pencekalan Setya.
Sikap resmi DPR itu, setidaknya, melahirkan dua poin yang
perlu diteliti. Pertama, apakah Setya memberikan kuasa khusus ke persona yang
menandatangani pengajuan keberatan sebelum diajukannya keberatan? Pertanyaan
ini dapat diganti dengan, misalnya, apakah Setya memberikan kuasa khusus
kepada Fahri Hamzah, Fadli Zon, dan Taufik Kurniawan untuk mengajukan
keberatan atas pencegahannya sebelum diajukannya keberatan?
Andaikan tidak ada kuasa khusus yang diserahkan oleh
Setya, keberatan yang diajukan saat ini tidak memenuhi kualifikasi Pasal 96
Ayat (1) UU Keimigrasian. Dengan demikian, pejabat yang menandatangani
pencegahan Setya, secara hukum, dapat mengabaikan keberatan pencegahan.
Kedua, apakah DPR dapat mengajukan keberatan atas
pencegahan Setya? Mengenai perihal ini, ada satu penjelasan dan satu
pertanyaan sebagai bahan uji. KPK memerintahkan pencegahan terhadap Setya
atas kedudukannya sebagai saksi dalam dugaan kasus korupsi pengadaan
KTP-elektronik, bukan sebagai ketua DPR. Ini artinya bahwa pencegahan
terhadap Setya tidak ada sangkut pautnya dengan DPR. Penjelasan ini harus
digarisbawahi dengan sangat tebal.
Selanjutnya, apakah DPR memiliki kewenangan mengajukan
keberatan pencegahan? Untuk membedahnya, digunakan ketentuan yang tercantum
dalam UU No 42/2014 tentang Perubahan atas UU No 17/2014 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD. Dalam Pasal 98 Ayat (3) huruf d ditegaskan, "Tugas komisi
di bidang pengawasan meliputi melakukan pengawasan terhadap kebijakan
pemerintah". Demi menjalankan tugas pengawasan, sebagaimana diatur dalam
Pasal 98 Ayat (4) huruf a dan huruf c, komisi di DPR dapat mengadakan rapat
kerja dan/atau rapat dengar pendapat.
Katakanlah DPR, yang diwakili oleh Komisi Pengawasan,
menggunakan alasan pengawasan untuk mengajukan keberatan pencegahan Setya
bakal tampak kekeliruan yang nyata. Sesuai UU, prosedur yang harus dilewati
DPR adalah melakukan rapat kerja dan/atau rapat dengar pendapat dengan
pemerintah terlebih dahulu mengenai pencegahan Setya, bukan langsung
mengajukan keberatan. Pengajuan keberatan ini pun dalam status Setya sebagai
warga negara yang mungkin dirugikan oleh keputusan pemerintah (lembaga
keimigrasian) berupa pencegahan, bukan dalam posisinya sebagai ketua DPR.
Meski demikian, norma Pasal 98 Ayat (3) dan Ayat (4) UU No
42/2014 dapat disimpangi oleh Pasal 96 Ayat (1) UU No 6/2011 dengan asas lex
specialis derogat legi generali.Hukum yang khusus menolak hukum yang umum.
Keberatan pencegahan Setya oleh DPR lemah secara UU (hukum). Kalau posisi
keberatan itu lemah, lalu apa motif DPR mengajukan keberatan? Atau,
pertanyaan lebih spesifik, apa motif politik para inisiator pengaju keberatan
pencegahan Setya itu? Biarlah waktu yang menjawabnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar