Kemenangan
Anies-Sandi
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy
Instutute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
KORAN
SINDO, 20
April 2017
Berdasarkan
hasil hitung cepat (quick count) sejumlah
lembaga, pasangan nomor urut 3 (Anies Rasyid Baswedan- Sandiaga Uno) unggul
atas pasangan calon nomor urut 2 (Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful
Hidayat) lebih dari 15%.
Tentu ini
merupakan kemenangan versi lembaga hitung cepat, meskipun biasanya tak
berbeda jauh dengan hasil rekapitulasi suara resmi KPU. Kemenangan
Anies-Sandi ini harus dimaknai dalam konteks demokrasi di DKI dan agenda
kepemimpinan mereka lima tahun ke depan.
Hasil Mengejutkan
Pada putaran
kedua ada penambahan 109.691 pemilih. Tambahan tersebut berasal dari pemilih
yang tidak terdaftar dalam DPT putaran pertama, pemilih yang baru
mendaftarkan diri ke posko yang dibuat KPUD. Lalu, ada pula pemilih pemula
yang baru berusia 17 tahun pada putaran kedua ini. Ada juga pemilih alih
status yang tadinya anggota TNI/ Polri pada putaran kedua jadi warga sipil
karena pensiun. Total DPT pada putaran kedua 7.218.280 pemilih yang tersebar
di 13.034 TPS.
Hasil hitung
cepat cukup mengejutkan karena awalnya hampir seluruh lembaga survei memprediksi
ketatnya persaingan perolehan suara di putaran kedua. Survei SMRC pada 31
Maret-5 April 2017 memprediksi Ahok-Djarot 46,9%, Anies- Sandi 47,9%. Bedanya
hanya 1% dengan keunggulan Anies-Sandi. Survei Median yang digelar 13-14
April 2017 menunjukkan elektabilitas Ahok-Djarot 47,1% dan Anies-Sandi 49%.
Bedanya 1,9% Anies-sandi unggul.
Menurut hasil
survei Indikator Politik Indonesia, pasangan Ahok-Djarot dipilih 47,4%
responden. Sementara itu, pasangan Anies-Sandi dipilih oleh 48,2% responden.
Bedanya juga sangat tipis, yakni 0,8% untuk kemenangan Anies-Sandi. Survei
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA merilis hasil survei pada Kamis
(13/4/2017). Hasilnya, pasangan Ahok-Djarot memiliki elektabilitas 42,7% dan
elektabilitas pasangan Anies-Sandi 51,4%.
Selisihnya
jauh, yakni 8,7% dengan keunggulan Anies-Sandi. Satu-satunya lembaga survei
yang memenangkan Ahok-Djarot di injury time adalah rilis survei Charta
Politika. Tingkat elektabilitas Ahok-Djarot sebesar 47,3% dan elektabilitas
Anies- Sandi 44,8%. Bedanya 2,5% dengan keunggulan Ahok. Pilihan warga sudah
ditentukan, pemenang pun sudah tergambar, yakni Anies-Sandi. Tapi perbedaan
suara keduanya cukup jauh, yakni kurang lebih 15%.
Hal ini
menandakan tiga hal penting.
Pertama,
dukungan pada Ahok- Djarot stagnan, bahkan relatif turun dari perolehan suara
di putaran pertama.
Kedua, dengan
selisih yang cukup jauh tersebut teramat berat bagi Ahok-Djarot untuk
menggugat dan melakukan sengketa hasil pemilu di MK.
Mengacu ke
Pasal 158 UU Nomor 10/ 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah disebutkan bahwa
provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6 juta sampai dengan 12 juta jiwa,
pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan
paling banyak 1% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir
yang ditetapkan oleh KPU provinsi.
Ketiga,
penting untuk memastikan para pihak yang berkompetisi di Pilkada DKI untuk
menunaikan ikrar pilkada damai, yakni semua siap menang dan siap kalah dengan
menghormati hasil yang sudah ditentukan warga DKI.
Langkah ke Depan
Pilkada bukan
semata soal prosedur, melainkan juga bersifat substansial. Keterpilihan
pasangan calon harus dihormati oleh siapa pun. Pasangan calon, tim sukses,
tim relawan, para pendukung, harus menahan diri untuk tidak bersikap
berlebihan. Menang versi hitung cepat harus dimaknai sebagai kemenangan
sementara dan bersabar untuk menunggu hasil hitung suara versi resmi KPU.
Hitung cepat sejumlah lembaga bisa menjadi prediksi siapa yang memenangi
kontestasi sekaligus menjadi partisipasi warga untuk mengontrol hitungan
resmi KPU.
Karenanya,
para pasangan calon, tim sukses, tim relawan, dan kelompok-kelompok pendukung
harus memiliki tanggung jawab sosial untuk menciptakan situasi kondusif sebagaimana
diikrarkan sejak awal tahapan Pilkada DKI, yakni siap menang dan siap kalah.
Ke depan, siapa pun yang memenangi kontestasi memiliki agenda mahapenting,
yakni mengelola Jakarta dengan lebih baik. Tantangan penting diurai dan
dituntaskan.
Di level makro
tantangan bagi Anies-Sandi adalah mengubah watak birokrasi. Tantangannya
adalah konsistensi Anies- Sandi untuk menjadikan seluruh jajaran birokrasi
Pemprov DKI bekerja melayani warga dengan pendekatan-pendekatan profesional,
humanis, tanggap, bersih dan transparan. Asumsinya, jika birokrasi di Pemprov
DKI memiliki komitmen pada good governance dan clean government, maka
pelaksanaan beragam program oleh seluruh staf Pemprov DKI dan rekanan dari
pihak swasta akan bermuara pada output yang sama, yakni kebermanfaatan
birokrasi untuk warga Jakarta.
Di level meso
ada empat tantanganutama.
Pertama,
problem transparansi yang indikatornya adalah keterbukaan informasi publik,
misalnya menyangkut informasi besaran anggaran dan peruntukannya.
Kedua, soal
pola komunikasi birokrasi dengan warga Jakarta.
Kesenjangan
komunikasi kerap melahirkan prasangka buruk, kekecewaan, bahkan penentangan -
penentangan yang kurang proporsional. Hal ini tentu terkait dengan beragam
informasi yang seharusnya disampaikan oleh Pemprov DKI secara strategis,
terencana, terbuka, dan berkelanjutan, tetapi dalam praktiknya justru kabur
dan distortif.
Ketiga, soal
pola hubungan antara Pemrov DKI dengan pemerintahan pusat dan pemdapemda
sekitar.
Keempat,
relasi kuasa antara Pemprov DKI dengan DPRD DKI.
Suka tidak
suka salah satu tantangan Anies-Sandi adalah kekuatan politik di DPRD. Tetapi
tentu saja politik itu selalu dinamis, masih terbuka lebar kesempatan bagi
Anies- Sandi untuk membangun komunikasi politik dengan partai-partai yang
bukan pengusung utamanya. Hanya, Anies-Sandi juga hendaknya tidak sampai
terjebak pada skenario membangun harmoni dengan DPRD dan larut dalam skema
pragmatisme kaum elite politisi. Di level mikro, terkait halhal teknis
berbagai kerja leading sector seperti transportasi publik, penanganan
ketertiban umum, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Hal ini tentu
saja berkaitan dengan operasionalisasi program yang langsung bisa dirasakan
manfaatnya oleh warga Jakarta. Tentu, karena kompleksnya persoalan Jakarta,
tidak mungkin seluruh masalah di Jakarta bisa diurai dengan cepat oleh
Anies-Sandi. Jika harapan publik tidak terkelola dengan baik, penulis
khawatir muncul desonansi kognitif. Dalam pandangan Leon Festinger (dalam
Shaw & Constanzo, 1982) disonanasi kognitif dipahami sebagai
ketidakcocokan hubungan antarelemen kognisi.
Pengetahuan,
pendapat, keyakinan atau apa yang dipercayai tentang dirinya sendiri dan
lingkungannya merupakan bagian dari elemen-elemen pokok kognisi. Tidak
konsistennya antara apa yang dipikirkan dengan yang dirasakan atau dialami
menyebabkan kekecewaan bahkan frustrasi.
Dalam konteks
Pilkada DKI, jika masyarakat memahami Anies-Sandi terpilih dalam satu
mekanisme demokratis dan diasumsikan akan membawa perubahan ke arah yang
lebih baik sementara dalam praktiknya hanya menjadi rebutan para elite partai
politik, maka akan melahirkan hubungan disonan atau penyangkalan di tengah
warga Jakarta.
Ini merupakan keadaan psikologis yang tidak menyenangkan yang
timbul saat dalam diri pemilih terjadi konflik antara dua kognisi, yakni
antara pengetahuan mengenai pentingnya mewujudkan partisipasi politik warga
dalam pilkada dan ketidakyakinan terhadap kualitas pemimpin yang mereka
pilih. DKI membutuhkan gubernur yang memiliki kemampuan prima. Tidak semata
ngotot menjaga citra kekinian (current
image), tetapi juga memiliki kapabilitas untuk menjadi pemecah masalah
dan bukan penambah keruwetan DKI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar