Emakku
Bukan Kartini
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang profesional
di perusahaan Jepang di Indonesia
|
KOMPAS.COM, 22 April 2017
Emakku bukan
Kartini. Dia hanya anak seorang petani kelapa. Istri seorang petani kelapa
pula. Sampai akhir hayatnya dia buta huruf latin (bisa membaca huruf Arab).
Dia tak
sekolah bukan karena tak hendak. Dia tak sekolah karena berbagai kombinasi
yang tak menguntungkannya.
Suatu hari di
kampung kedatangan ustaz dari desa lain. Ada pengajian kecil, mempelajari
sifat dua puluh. Emak, ketika itu seorang gadis kecil, ingin ikut serta
belajar.
Tapi ia
dihardik ayahnya. “Kau bukan anak perempuan yang patut untuk menjadi
cendekia.” Emak hanya bisa menangis.
Tapi Emak tak
pernah mengeluh. Pun ia tak melawan. Ia hanya menunggu datangnya sesuatu:
Kebebasan.
Yang ia tunggu
itu datang kemudian, saat ia menikah. Ayah ketika itu adalah seorang buruh
tani. Kerjanya memanjat kelapa milik orang, mengumpukannya ke suatu tempat
hingga siap dijual.
Ia sepertinya
puas dengan upah yang dia terima. Tapi Emak tidak. Ia sudah melihat banyak
kehidupan buruh tani. Sampai tua mereka tetap miskin.
Maka ia paksa
Ayah untuk pindah kampung. Hijrah. Ini adalah titik tolak baru dalam sejarah
hidup Emak. Ia pindah ke kampung baru. Di kampung itu masih tersedia lahan
yang bisa dibuka. Hanya perlu tenaga untuk menebang pohon.
Bersama Ayah,
dia memulai hidup pengantin barunya di sebuah gubuk, menumpang di tanah paman
jauhnya. Salah satu tiang gubuk itu adalah batang bohon hidup. Berdinding dan
beratap daun nipah, berlantai belahan kayu nibung. Dari gubuk itulah nasibnya
ia ubah.
***
Hari-hari
selanjutnya adalah hari-hari kerja keras. Tak pernah Emak berfikir bahwa ia
seorang perempuan, sehingga seharusnya beban kerjanya lebih ringan.
Bersama Ayah
ia mengayun kampak, menebang rimba untuk membuka lahan. Lahan itu kemudian
menjadi ladang padi. Hasil panen padi adalah bekal makan selama setahun. Di
lahan itu pula ia mulai menanam kelapa, membuat kebun.
Emak bekerja
keras, lebih keras dari orang lain. Sore hari saat orang sudah rapi reriungan
dengan keluarga, ia baru pulang dari ladang. Di gubuknya ia masih harus masak
untuk makan malam.
Kerja keras
itu berhasil. Bebeberapa tahun kemudian kelapanya sudah mulai menghasilkan.
Tak banyak memang. Tapi setidaknya keluarga kami sudah punya masa depan.
Seingatku
ketika kemudian aku lahir sebagai anak ke delapan, keluarga kami bukan
keluarga miskin buruh tani, tapi keluarga pemilik beberapa bidang kebun
kelapa, meski bukan pula keluarga kaya.
***
Emak ingin
belajar. Ia tak mengeluh ketika niatnya dihalangi. Ia pun tak menangisi
kesempatan yang berlalu namun tak pernah dapat ia raih. Tapi ia tahu cara
mengubah nasibnya.
“Mereka bisa
menghalangiku untuk belajar. Tapi tak seorangpun bisa menghalangi
anak-anakku.” begitu tekadnya.
Saat abangku
yang tertua memasuki usia sekolah, di kampung kami belum ada sekolah. Emak
tak menyerah. Ia bersama ayah mengayuh sampan selama tiga hari. Tiga hari. Ke
kampung pamannya, seorang lurah. Di situlah abangku dititipkan untuk
bersekolah.
Itulah
mulanya, lalu kami semua kakak beradik bisa bersekolah.
Sadar dengan
tekad itu Ayah tergerak. Ia ajak orang kampung membangun sekolah. Ia
datangkan guru dari kampung lain. Itulah sekolah yang kemudian mengubah nasib
banyak orang di kampung kami.
***
Tak cukup
bertani, Emak berdagang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Dia beli
pakaian, obat-obatan, apa saja yang laku dijual dari kota, ia jajakan
berkeliling dari rumah ke rumah.
Sambil belanja
kebutuhan dagang ia bisa menengok anak-anaknya yang sekolah di kota. Di lain
ketika Emak jadi perias pengantin. Berkeliling ke berbagai kampung, sambil
tetap menjajakan dagangannya. Hingga akhirnya semua anaknya bisa sekolah
tinggi.
Di hari tuanya
Emak bisa beristirahat. Kami yang sudah bekerja bisa memberi dia makan,
mencukupi kebutuhannya.
Saat aku lulus
sarjana, Emak bilang, “Kau bekerjalah di sini, di dekat Emak.” Aku menurut.
Tapi aku juga masih ingin sekolah.
Saat
kesempatan itu datang, Emak keberatan. Dia ingin aku tetap di sisinya. “Sudah
cukuplah kau sekolah. Kau sudah jadi sarjana.”
Aku bujuk
Emak. “Mak. Ingat kan, dulu Emak bekerja mati-matian agar kami bisa sekolah.
Sekarang ini saya dapat beasiswa. Artinya saya tidak perlu membayar untuk
sekolah. Malah saya dibayar. Saya mengkhianati cita-cita Emak kalau saya
tidak sekolah lagi.” Akhirnya Emak mengalah, aku diijinkannya pergi.
Aku berangkat
sekolah ke Malaysia. Tapi saat aku di Jakarta aku dengar Emak pingsan di
kamarku saat membersihkannya. Kepergianku begitu melukainya.
Tapi Emak tak
meratapi itu. Setelah aku, saudara-saudaraku yang lebih tua juga dapat
kesempatan melanjutkan kuliah. Pernah suatu saat hanya ada abangku yang
tertua di sisi Emak. Anak laki-lakinya yang lain pergi jauh.
Sedihkah Emak?
“Sepi”, katanya. “tapi sepi itu bisa Emak obati dengan rasa bangga.”
***
Emakku bukan Kartini. Ia tak menulis surat, yang membuat orang
lain bergerak. Ia bahkan tak bisa menulis. Tapi dengan tangannya, dia
mengubah nasibnya. Nasib kami. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar