Status
Dualisme Pimpinan DPD
Feri Amsari ; Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat
Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas; Pengurus Pusat
Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
|
KORAN
SINDO, 18
April 2017
Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 11
April lalu berlangsung ricuh. Status pimpinan DPD illegal yang melekat pada
kubu Oesman Sapta Odang (OSO) diduga sebagai pemicu.
Kepemimpinan OSO dianggap ilegal karena proses pemilihannya
bertentangan dengan hukum. Proses pemilihan OSO itu memang alot dan di luar
logika hukum yang wajar. Selain tidak memenuhi kuorum sidang, pemilihan OSO
bertentangan dengan substansi putusan Mahkamah Agung (MA). Menariknya,
meskipun proses pemilihan bertentangan dengan putusan MA, wakil ketua MA
memilih tetap memandu sumpah OSO selaku pimpinan DPD. Proses pemanduan itu
sendiri bertentangan dengan ketentuan Pasal 260 UU Nomor 17/2014 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang mengatur bahwa penuntun sumpah hanya dapat
dilakukan oleh ketua MA.
Langkah MA tetap melanjutkan penuntunan sumpah merupakan
hal yang paling krusial dari upaya pengambilalihan pimpinan DPD secara ilegal
tersebut. Dengan terlaksana proses sumpah yang bertentangan dengan UU MD3 dan
putusan MA itu, kepemimpinan OSO terkesan sah. Sebaliknya, status pimpinan
DPD yang konstitusional dianggap telah berakhir. Apalagi, pimpinan DPD di
bawah kendali M Saleh, GKR Hemas, dan Farouk Muhammad terpecah karena M Saleh
memilih untuk menyerahkan ”kursinya” kepada OSO.
Di sisi lain, pimpinan DPD versi OSO berpendapat bahwa
putusan MA itu tetap dijalankan dengan cara sinkronisasi melalui pembentukan
peraturan DPD yang baru. Pembentukan peraturan baru tersebut bertujuan untuk
melegalkan status pimpinan DPD versi OSO untuk menjabat hingga Pemilu 2019.
Jika disimak putusan MA, cara berpikir pimpinan DPD versi OSO terkesan
dipaksakan. Dalam amar putusan MA secara eksplisit disebutkan MA mengabulkan
seluruh pokok permohonan pemohon.
Maknanya, MA menghendaki bahwa pimpinan DPD dengan
komposisi M Saleh, GKR Hemar, dan Farouk Muhammad memimpin hingga 2019.
Dengan kondisi demikian, timbul pertanyaan ketatanegaraan. Pertama,
bagaimanakah kekuatan putusan MA terkait pimpinan DPD? Kedua, apakah konsekuensi
yang ditimbulkan dari pengabaian putusan MA tersebut?
Drama yang Hampir Sempurna
Selain melibatkan MA dalam sengkarut perebutan kursi
pimpinan DPD, unsur kesekretariatan jenderal DPD juga terlibat dalam ”kudeta”
kepemimpinan tersebut. Asumsi itu berdasarkan sikap Sekretaris Jenderal
(Sekjen) DPD yang mengabaikan perintah GKR Hemas untuk membacakan putusan MA
dalam paripurna 4 April lalu. Apa yang menyebabkan sekjen memilih mengabaikan
perintah pimpinan DPD satusatunya ketika itu? Sikap keberpihakan sekjen DPD
kian kentara dengan menutup akses yang menjadi hak pimpinan DPD GKR Hemas dan
Farouk Muhammad serta anggota DPD lainnya dari kubu yang sama.
Sikap sekjen DPD itu tidak tepat karena hanya
mengakomodasi salah satu pihak yang bertikai. Jika asumsi keterlibatan
kesekretariatan jenderal itu benar, sidang paripurna 4 April adalah drama
politik yang hampir sempurna. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kudeta
kursi pimpinan DPD telah dirancang dengan sangat matang. Setidaknya terdapat
tiga langkah yang dilakukan untuk merebut pimpinan DPD yang sah.
Pertama, pelaku kudeta memulai dengan menguasai mayoritas
anggota DPD. Beralihnya visi politik sebagian besar anggota DPD menjadi
anggota Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dapat dipahami sebagai langkah menguasai
lembaga parlemen yang mewakili aspirasi kedaerahan tersebut. Dengan
dikuasainya DPD, proses ”meributkan” status pimpinan DPD yang sah mudah
dilakukan.
Kedua, menguasai proses administrasi kelembagaan. Dengan
menguasai kesekretariatan jenderal, proses persidangan, suratmenyurat,
korespondensi dengan lembaga negara lain, jadwal kegiatan anggota, semua
dapat dikendalikan sesuai kepentingan.
Tanpa proses administrasi kesekretariatan, upaya perebutan
pimpinan akan sulit dilakukan. Itu sebabnya sebagian besar anggota DPD
mengeluh tentang sikap keberpihakan kesekretariatan jenderal DPD pada kubu
tertentu. Namun, hal itu sekaligus menunjukkan upaya kudeta dirancang matang.
Ketiga, proses penuntunan sumpah adalah puncak kudeta.
Tanpa proses sumpah, kepemimpinan versi OSO tidak akan
punya nilai dan mudah diabaikan. Sumpah akan memberikan kesan telah legalnya
proses peralihan kepemimpinan. Itu sebabnya, meskipun nyata- nyata
berseberangan dengan putusan MA dan Pasal 260UUMD3, proses penuntunan sumpah
harus dipaksakan terjadi agar upaya pengambil alihan kursi pimpinan DPD
terkesan sah.
Dengan tiga langkah itu, upaya kudeta terhadap pimpinan
DPD yang sesuai putusan MA telah terjadi. Meskipun publik merasakan ada yang
janggal dari pelantikan pimpinanDPD versi OSO, politik tidak mengakomodasi
”nurani publik”. Satu-satunya cara melawan kekuatan politik yang demikian
besar adalah menempuh jalur hukum. Misalnya, menggugat surat keputusan
pelantikan pimpinan DPD versi OSO dan memberhentikan unsur kesekretariatan jenderal
yang berpihak pada kubu tertentu.
Sifat Putusan MA
Beberapa ahli menyatakan pelantikan pimpinan DPD versi OSO
dapat dianggap sah karena daya lakuputusanMA tidaksertamerta. Butuh proses
administrasi untuk mencabut Peraturan DPD Nomor 1/2016 dan Nomor 1/ 2017
tentang Tata Tertib. Sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) Peraturan MA Nomor 1/2011
tentang Hak Uji Materi yang menyatakan, jika pejabat tata usaha negara tidak
memenuhi kewajibannya untuk mencabut putusan MA itu, dalam 90 hari peraturan
itu tidak memiliki kekuatan hukum dengan sendirinya.
Menurut para ahli, karena peraturan itu belum dicabut,
masa jabatan pimpinan DPD versi GKR Hemas dan Farouk Muhammad telah berakhir.
Argumentasi ahli itu tidak jeli sebab dalam sidang paripurna 4 April putusan
MA telah dibacakan dan pimpinan sidang (selaku pejabat tata usaha negara)
telah mencabut dua peraturan tata tertib tersebut. Tindakan pencabutan
peraturan itu telah sesuai Pasal 6 ayat (2) Perma Hak Uji Materiil.
Itu sebabnya, argumentasi yang menyatakan bahwa putusan MA
tidak segera berlaku adalah argumentasi yang tidak cermat dan memahami apa
yang terjadi di DPD. Dengan berlaku putusan MA dan terjadi kealpaan prosesi
sumpah pimpinan DPD yang bertentangan dengan putusan MA, status dualisme
pimpinan DPD dapat dijawab secara hukum.
Pertama, pimpinan DPD yang sah adalah yang sesuai dengan
putusan MA, yaitu sebagaimana yang dimohonkan dalam pokok-pokok permohonan
uji materiil yang diajukan ke MA.
Kedua, prosesi sumpah pimpinan DPD kubu OSO tidak sah
disebabkan bertentangan dengan Pasal 260 UU MD3 dan putusan MA.
Konsekuensinya, kepemimpinan tersebut harus dianggap batal demi hukum.
Ketiga, secara hukum pimpinan DPD yang sah dan sesuai
putusan MA berhak menjalankan fungsi ketatanegaraannya.
Karena tidak memiliki kekuatan hukum, pilihan pihakpihak
yang mengudeta pimpinan DPD yang sah adalah dengan mengabaikan kebenaran
yuridis putusan MA. Itu sebabnya, penguasaan simbol-simbol politik pimpinan
DPD merupakan bentuk praktik berpolitik yang sangat buruk karena telah
mengabaikan putusan lembaga hukum tertinggi dan harus dihormati seluruh
pihak.
Membiarkan pimpinan DPD yang sesuai dengan putusan MA
tersingkir dengan kekuatan politik sama saja mengabaikan proses penegakan
hukum yang sah. Meskipun secara politik pimpinan DPD versi OSO sangat kuat,
seluruh tindakannya adalah perbuatan melawan hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar