Psikologi
Isra Mikraj dan Pendidikan Holistis
Muhbib Abdul Wahab ; Dosen Pascasarjana FITK
UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
|
KORAN
SINDO, 22
April 2017
Isra Mikraj
Nabi Muhammad SAW merupakan mukjizat kenabian yang terjadi setelah istri
tercinta Khajidah dan pamannya Abu Thalib meninggal dunia. Secara psikologis, Isra Mikraj merupakan
strategi Allah untuk menghibur rasul-Nya yang sedang berduka, sekaligus
meneguhkan mental spiritualnya dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan
Islam sebagai rahmat bagi semesta raya.
Psikologi Isra
Mikraj sejatinya merupakan sebuah psikologi pendidikan yang dalam hal ini
Allah sebagai pendidik, Muhammad SAW sebagai peserta didik, Jibril sebagai
fasilitator, alam semesta sebagai laboratorium dan media pendidikan,
sedangkan perjalanan profetik (dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa dan dari
Masjidil aqsa menuju Sidratil Muntaha dengan melintasi tujuh langit kehidupan
lalu kembali lagi ke Mekkah) sebagai pengalaman belajar yang holistis
integratif.
Tujuan utama
Allah mengisra-mikrajkan Nabi SAW adalah menunjukkan kemahabesar an Allah SWT
(linuriyahu min ayatina). Secara psikologis, Isra Mikraj mengedukasi dan
menginspirasi Nabi SAW dan umat manusia untuk berwawasan luas, berpikir
kreatif, mengembangkan pendidikan holistis integratif dengan menjelajahi alam
semesta dan memajukan sains dan teknologi.
Visi
psikologis perjalanan Isra Mikraj adalah pembuktian integrasi semua alam
dibawah kekuasa an, pengaturan, dan mana jemen Allah SWT sehingga manusia
tidak selayaknya menyombong kan diri, berlaku zalim, dan merasa paling kuasa,
padahal hanya berdomisili di salah satu titik dari bumi Allah. Psikologi Isra
Mikraj itu adalah psikologi perjalanan lintas batas kemanusiaan yang
berdimensi multieksistensi.
Isra itu
dimulai dengan perjalanan lintas masjid, dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa
di Baitul Maqdis Palestina. Masjid itu pusat integrasi umat dan kesucian
(fisik, hati, pikiran, dan tindakan). Adapun psikologi Mikraj itu perjalanan
spiritual lintas langit dan lintas alam (alam malakut), dari Masjidilaqsa
menuju Sidratil Muntaha (puncak segala eksistensi) dengan melintasi tujuh
langit. Ketika transit di setiap langit, Nabi SAW memperoleh pengalaman kenabian
karena bertemu dan berdialog dengan para nabi sebelumnya.
Dukungan moral
dan psikologis dari para nabi di setiap langit kehidupan itu membesarkan hati
Nabi SAW. Akhirnya, setelah melintasi tujuh langit, Nabi SAW berhasil mencapai
puncak ”pendakian spiritual” di Sidratil Muntaha. Pada puncak keluhuran dan
kesucian spiritual inilah Nabi SAW menerima perintah salat lima waktu. Jadi
secara psikologis penetapan kewajiban salat lima waktu di Sidratil Muntaha
memerlukan proses perjalanan dan pendaki an mental spiritual.
Karena itu
Allah menegaskan bahwa salat itu sungguh berat, kecuali bagi orang yang
khusyuk (QS Albaqarah [2]: 45). Mengapa proses pewajiban salat lima waktu
harus dilakukan dengan memikrajkan nabi-Nya hingga Sidratil Muntaha,
sementara kewajiban syariat lainnya cukup diwahyukan melalui Jibril AS?
Peristiwa Isra Mikraj ini sangat unik dan menarik jika dikonstruksi dari
perspektif pendidikan holistis integratif, sebuah konsep pendidikan yang
bersifat utuh, menyeluruh, dan integratif antara berbagai aspek pendidikan
dan pendekatan pembelajaran, dengan melibatkan berbagai faktor yang dinilai
turut me ngonstruksi proses dan hasil pendidikan.
Isra Mikraj
boleh jadi dipandang sebagai sebuah ”ilusi atau halusinasi” bagi orang yang
tidak memercayainya karena bagaimana mungkin perjalanan Mekkah-Baitul Maqdis
(Palestina)-Sidratil Muntaha (PP) bisa ditempuh kurang dari semalam?
Peristiwa ini mungkin tidak bisa diterima akal sehat semata tanpa didasari
iman yang kuat, jujur, dan tulus. Oleh karena itu Isra Mikraj itu berdimensi
pendidikan iman.
Artinya dengan
iman (ke yakin an) yang kuat, jujur, dan tulus, seseorang dapat memercayai
bahwa peris tiwa ini benar ada nya. Pendidikan iman mengajarkan pentingnya
akidah tauhid berikut implikasinya terhadap penyatuan (tauhid) pandangan
mengenai kehidupan manusia dan alam semesta. Isra Mikraj mengedukasi umat
Islam untuk meyakini bahwa Allah itu maha kuasa, mahasuci, dan mahatinggi
sehingga apa yang harus diimani tidak selamanya harus langsung bisa dicerna
akal sehat karena akal manusia itu terbatas. Apa yang belum ”rasional” pada
masa itu sangat mungkin menjadi masuk akal dan sesuai dengan perkembangan
sains dan teknologi di kemudian hari.
Isra Mikraj
mengedukasi kita untuk meyakini Allah dan Rasul-Nya yang memang layak
dipercayai, karena keimanan itu sumber energi positif dan penggerak yang
dapat meng aktualisasi segenap potensi yang dimiliki manusia. Dengan iman, manusia
punya sandaran vertikal dalam menghadapi berbagai soal. Dengan iman pula
manusia meyakini bahwa Allah selalu hadir, menyertai, dan merahmati manusia.
Isra Mikraj
memodali mukmin untuk memiliki pandangan holistis bahwa tauhidullah itu harus
ditindaklanjuti dengan tauhid al-ummah (integrasi umat) dan tauhid al-khalq
(integrasi penciptaan) sehingga manusia memiliki pandangan dunia (world view)
yang luas dan komprehensif. Pendidikan iman juga harus diintegrasikan dengan
pendidikan ilmu (sains) dan amal. Sebab iman saja tanpa ilmu dan amal tidak
bermakna apa-apa. Isra Mikraj membuka cakrawala berpikir secara luas dan
melintas batas sehingga memotivasi kita untuk mengembangkan sains dan
teknologi.
Jika di masa
Nabi SAW Isra Mikraj itu dianggap irasional, di era modern peristiwa ini
sangat logis dan sesuai dengan sains dan teknologi. Teknologi kuantum dan
komunikasi dewasa ini dengan mudah bisa menjelaskan supersoniknya peristiwa
Isra Mikraj tersebut. Berbasis filosofi iqraí bismi Rabbik, Isra Mikraj
mengedukasi umat Islam untuk memajukan budaya riset dan produktivitas ilmiah.
Ayat-ayat quríaniyyah dan ayat-ayat kawniyyah (alam semesta) dikaji dan di pa
hami secara holistis integratif. Kurikulum pendidikan mulai dari pendidikan
dasar hingga perguruan tinggi tidak lagi mengenal dikotomi antara ilmu agama
dan ilmu umum.
Karena semua
itu sumbernya sama, yaitu Sang Pemilik ayat-ayat quríaniyyah dan ayat-ayat
alam semesta. Di dalam Alquran sendiri terdapat tidak kurang dari 800 ayat
yang berbicara tentang alam semesta seperti matahari, bumi, bulan, bintang,
langit, tumbuhan, hewan, gunung, awan, hujan yang belum sepenuh nya dikaji
dan dikembangkan secara holistis integratif melalui riset yang serius, terprogram,
dan berkelanjutan.
Jika
pendidikan iman dipadukan dengan pendidikan ilmu (sains), integrasi keduanya
diharapkan dapat membuahkan amal saleh (kinerja yang baik). Pendidikan iman
dan ilmu akan membentuk manusia beramal saleh, baik saleh personal, intelektual
maupun saleh sosial dan kultural. Dan salat merupakan barometer baik dan tidaknya
amal seseorang sekaligus amalan pertama yang akan diaudit oleh Allah di
akhirat kelak (HR Muslim).
Artinya salat
harus bermuara pada pembentukan karakter dan integritas moral muslim dalam
kesehariannya. Bahkan pendidikan iman dan ilmu dari Isra Mikraj ini harus mem
buahkan amalan salat yang sukses, yaitu salat yang sukses mencegah pelakunya
dari perbuatan keji dan munkar, termasuk korupsi (QS Al- Ankabut/29: 45).
Jadi, Isra Mikraj mendidik umat untuk memiliki iman yang kuat, ilmu yang
bermanfaat, dan amal saleh yang bisa memberi maslahat bagi bangsa dan umat.
Sungguh Isra
Mikraj sarat dengan pendidikan holistis integratif berbasis masjid sebagai
simbol persatuan dan pusat pembangunan peradaban. Isra Mikraj mengajarkan
pentingnya kesucian hati, pikiran, dan badan ketika berada di Rumah Allah.
Integrasi ketiga kesucian ini merupakan pangkal pendidikan mental spiritual
yang harus diaktualisasi melalui salat yang sukses, bukan salat yang celaka
dan mencelakakan pelakunya (QS Al-Maíun [107]: 4-7) karena pelakunya tidak
berhasil menerjemahkan pesan-pesan moral salat dalam kehidupan keluarga,
masyarakat, dan bangsa.
Isra Mikraj
juga menegaskan pentingnya pendidikan spiritual, intelektual, moral, dan
sosial kultural secara integratif. Tekun dan khusyuk berzikir— dimana salat
merupakan zikir paling utama (QS Al-Ankabut/29: 45)—harus dipadukan dengan
pengembangan nalar ayat-ayat semesta melalui riset dan pengembangan sains.
Integrasi keduanya, spiritualitas zikir dan rasionalitas nalar ayat-ayat
semesta, akan melahirkan moralitas perubahan kehidupan berkemajuan menuju
terwujudnya peradaban yang agung.
Dengan kata
lain, pendidikan holistis dari Isra Mikraj itu menghendaki integrasi zikir,
pikir, dan taghyir (perubahan): dari kebodohan, kemiskinan, kemunduran,
keterbelakangan, dan kezaliman menuju kecerdasan, keterampilan, kemakmuran,
kesejahteraan, kemajuan, dan keadilan. Dengan demikian, mikraj spiritualitas
yang melangit harus membuahkan moralitas dan kearifan lokal yang membumi
dalam bentuk harmoni, kerukunan, toleransi, kedamaian, dan kesatuan umat dan
bangsa.
Semoga Isra Mikraj Rasulullah SAW di tengah hiruk-pikuk Pilkada
DKI yang beraroma pilpres ini bukan sekadar perjalanan spiritual mendekati
Dzat Yang Maha suci, melainkan juga menjadi perjalanan kemanusiaan yang
membawa kesucian hati dan pikiran secara holistis menuju keluhuran moral dan
keagungan peradaban bangsa di masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar