Dalam
Kepungan Kisah
Damhuri Muhammad ; Sastrawan;
Pengajar Filsafat di Universitas
Darma Persada, Jakarta
|
KOMPAS, 19 April 2017
“Gue sekarang enggak tahu mau apa.
Gue bimbang. Kita lihat aja gue berani apa enggak. Mungkin gue akan siarin
langsung. Kalo enggak, ya hanya video kenang-kenangan untuk istri gue aja...”
Begitu curhatan seorang lelaki yang bermukim di Jagakarsa,
Jakarta Selatan, sebelum ia bunuh diri dengan cara gantung diri, Jumat
(17/3/17). Hingga artikel ini diturunkan, video itu masih dapat ditonton di
YouTube.
Para netizen gempar karena lelaki itu menyiarkan aksinya
secara live di laman akun pribadi. Media melaporkan, sebelum ditemukan dalam
keadaan tak bernyawa, lelaki itu terlibat pertengkaran dengan istrinya dan
diduga pasalnya adalah cemburu. Sekilas, peristiwa itu seperti dramaturgi
belaka, tetapi amat nyata di depan mata kita.
Orang tak perlu repot berhari-hari membaca guna meraih
puncak peristiwa dramatik dari roman percintaan setebal 800 halaman,
misalnya. Tak perlu pula datang ke gedung teater menyaksikan kisah cinta
berdurasi satu-dua jam. Sebab, dunia keseharian telah menyuguhkan dramaturgi.
Dalam sepersekian menit, kisah-kisah dramatik datang silih berganti. Satu
peristiwa berlalu, datang lagi peristiwa baru, yang boleh jadi jauh lebih
tragik. Begitu seterusnya.
Bermula dari cinta
Dalam arus deras kisah-kisah itu, ibarat menginjakkan kaki
di sungai dangkal, sesungguhnya kita tak pernah turun ke sungai yang sama.
Air yang menyentuh lingkar tumit kita selalu air yang baru. Air yang kemarin
telah mengalir menuju muara. Tak ada kisah yang kekal karena yang abadi
hanyalah perubahan dari satu dramaturgi ke dramaturgi baru.
Berselang beberapa hari dari kegemparan yang datang dari
Jagakarsa, 20 Maret 2017, dari Desa Nampu, Kecamatan Gemarang, Kabupaten
Madiun, tersiar kabar tentang pernikahan antara Rokim (24) dan Tampi (67).
Kisah pengantin baru dengan selisih usia 43 tahun itu bukan dongeng,
melainkan peristiwa yang berlangsung dengan cinta yang utuh dan ijab kabul di
hadapan penghulu, 15 Maret 2017-dua hari sebelum lelaki di Jagakarsa bunuh
diri-juga atas nama cinta.
"Saya menikahi Tampi karena cinta dan kasihan
hidupnya yang menyendiri terus," kata Rokim, pria kelahiran Nganjuk,
sebagaimana dikutip www.kompas.com
(20/3/17).
Disebutkan, Tampi berprofesi sebagai tukang pijat dengan
penghasilan tak menentu. Sejak usia 16 tahun, Rokim mengenal Tampi. Jika
letih sepulang bekerja, Rokim datang ke rumah Tampi. Rokim mulai menyukai
Tampi setahun terakhir. Bermula dari rasa kasihan, lama-lama Rokim jatuh
cinta. Apalagi Tampi selalu memberikan perhatian tulus saat Rokim datang ke
rumahnya. Meski usia Rokim jauh lebih muda daripada Tampi, pria itu mengaku
tidak malu punya istri berusia sepantaran neneknya.
Sekali lagi netizen mengurut dada. Apabila kisah lelaki
dari Jagakarsa membuat netizen berduka cita, kisah dari Madiun membawa emosi
netizen ke batas antara sedih dan bahagia. Sebagai anak-anak muda yang selalu
riang tentu netizen sulit membayangkan
rumah tangga seperti apa yang bakal berlangsung pada pasangan Rokim-Tampi.
Namun, sebagai generasi yang masih mendambakan ketulusan cinta di abad
milenial, pengantin baru dari Madiun itu dapat membuktikan bahwa keajaiban
cinta yang termaktub dalam novel-novel besar dari ratusan tahun silam tak
dapat dibantah. Bermuram durja sekaligus gembira. Terperangah sedemikian
rupa, tetapi takjub luar biasa pada saat yang sama.
Netizen bagai terombang-ambing di laut lepas. Dilanda
takut bakal karam sia-sia, tetapi beroleh harapan bakal terdampar dengan
selamat pada saat yang sama.
Dua kisah penting itu bukan hoaks, bukan omong kosong,
melainkan kenyataan yang mungkin lebih mencemaskan ketimbang kabar bohong
yang selama ini dikhawatirkan. Kisah-kisah itu patah tumbuh hilang berganti.
Netizen mustahil mengelak dari kepungannya. Sepanjang hidup masih berdenyut,
kisah demi kisah akan terus muncul. Manusia adalah makhluk yang selalu
membuat kisah. Bukan kisah rekaan sebagaimana dalam prosa atau sinema-sinema
garapan sutradara terkemuka, melainkan kisah nyata yang tak dapat disangkal
keberadaannya.
Saling terhubung
Kepungan kisah ini mengingatkan saya pada diskusi kecil
bersama Bagus Takwin, pengajar psikologi pada Universitas Indonesia, di Cak
Tarno Institute pada 2006. Bagi Takwin, setiap manusia adalah produsen kisah
yang di dalamnya ia selalu memegang peran utama.
Kisah itu bernama "diri" (self), pusat dari
aktivitas kesadaran sekaligus medan tempat berbagai daya dari luar ikut
menyumbangkan cerita guna melengkapi kisah utama itu. Dengan memahami kisah
itu, menurut Takwin, kita dapat memahami bahwa "diri" setiap orang
senantiasa terhubung dengan "diri" orang lain. Seperti tanda dan
lambang dalam sebuah roman-yang merujuk pada berbagai peristiwa di luar roman
itu-maka diri manusia juga mengandung berbagai rujukan ke luar pada
kehidupannya bersama dengan manusia lain.
Maka, kisah-kisah yang berhamburan saban hari di
tengahtengah keseharian kita tak mungkin lepas dari keterhubungannya dengan
kehidupan orang-orang di sekitarnya. Memang, yang melakukan aksi bunuh diri
dan menyebarluaskannya secara langsung adalah seorang lelaki di Jagakarsa,
tetapi alur, plot, dan karakter yang terkandung dalam kisah itu boleh jadi
erat kaitannya dengan kita, orang-orang di sekitar kisah itu. Secara
hermeneutik dapat dibenarkan bahwa mentalitas yang rapuh dan ketakberdayaan
kita dalam menghadapi persoalan yang semakin runyam di kurun mutakhir ini
adalah "panggilan penciptaan" dari kisah dramatik dari Jagakarsa
itu.
"Manusia sebagai pembuat kisah" adalah analogi
yang digunakan Bagus Takwin untuk menjelaskan konsep diri sebagai identitas
naratif dari filsuf Paul Ricoeur (1913-2005). Tokoh
hermeneutika modern itu berpandangan bahwa manusia memahami identitas
pribadinya seperti seorang pembaca memahami identitas dari tokoh-tokoh rekaan
dalam sebuah cerita yang sedang dibacanya.
Prinsip hermeneutik mengajarkan, setiap kisah yang lahir
dari tangan pengarang tak pernah berdiri sendiri. Ia berkelindan dengan
kisah-kisah lain yang muncul sebelum atau bersamaan dengannya. Bagi Takwin,
aku yang berinisiatif membuat kisah selalu terkait orang lain yang juga
berinisiatif membangun kisah. Dari situ jelaslah bahwa setiap identitas
individual selalu bersekutu dengan "identitas kita."
Dengan begitu, asmara tak biasa Rokim-Tampi adalah juga
kisah kita semua. Tanda dan lambang yang terkandung di dalamnya merujuk pada
kepasrahan kita menerima kepayahan dalam situasi yang tak banyak memberi
pilihan. Tak apa-apa dipandang sebelah mata, asal kita bahagia dalam cinta.
Biarlah sawah-ladang saudara-saudara kita di Jawa digempur alat-alat berat
guna pembangunan pabrik raksasa, asal Indonesia gemilang masa depannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar