Kamis, 20 April 2017

Dalam Kepungan Kisah

Dalam Kepungan Kisah
Damhuri Muhammad  ;   Sastrawan;
Pengajar Filsafat di Universitas Darma Persada, Jakarta
                                                        KOMPAS, 19 April 2017


                                                                                                                                                           

“Gue sekarang enggak tahu mau apa. Gue bimbang. Kita lihat aja gue berani apa enggak. Mungkin gue akan siarin langsung. Kalo enggak, ya hanya video kenang-kenangan untuk istri gue aja...”

Begitu curhatan seorang lelaki yang bermukim di Jagakarsa, Jakarta Selatan, sebelum ia bunuh diri dengan cara gantung diri, Jumat (17/3/17). Hingga artikel ini diturunkan, video itu masih dapat ditonton di YouTube.

Para netizen gempar karena lelaki itu menyiarkan aksinya secara live di laman akun pribadi. Media melaporkan, sebelum ditemukan dalam keadaan tak bernyawa, lelaki itu terlibat pertengkaran dengan istrinya dan diduga pasalnya adalah cemburu. Sekilas, peristiwa itu seperti dramaturgi belaka, tetapi amat nyata di depan mata kita.

Orang tak perlu repot berhari-hari membaca guna meraih puncak peristiwa dramatik dari roman percintaan setebal 800 halaman, misalnya. Tak perlu pula datang ke gedung teater menyaksikan kisah cinta berdurasi satu-dua jam. Sebab, dunia keseharian telah menyuguhkan dramaturgi. Dalam sepersekian menit, kisah-kisah dramatik datang silih berganti. Satu peristiwa berlalu, datang lagi peristiwa baru, yang boleh jadi jauh lebih tragik. Begitu seterusnya.

Bermula dari cinta

Dalam arus deras kisah-kisah itu, ibarat menginjakkan kaki di sungai dangkal, sesungguhnya kita tak pernah turun ke sungai yang sama. Air yang menyentuh lingkar tumit kita selalu air yang baru. Air yang kemarin telah mengalir menuju muara. Tak ada kisah yang kekal karena yang abadi hanyalah perubahan dari satu dramaturgi ke dramaturgi baru.

Berselang beberapa hari dari kegemparan yang datang dari Jagakarsa, 20 Maret 2017, dari Desa Nampu, Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun, tersiar kabar tentang pernikahan antara Rokim (24) dan Tampi (67). Kisah pengantin baru dengan selisih usia 43 tahun itu bukan dongeng, melainkan peristiwa yang berlangsung dengan cinta yang utuh dan ijab kabul di hadapan penghulu, 15 Maret 2017-dua hari sebelum lelaki di Jagakarsa bunuh diri-juga atas nama cinta.

"Saya menikahi Tampi karena cinta dan kasihan hidupnya yang menyendiri terus," kata Rokim, pria kelahiran Nganjuk, sebagaimana dikutip  www.kompas.com (20/3/17).

Disebutkan, Tampi berprofesi sebagai tukang pijat dengan penghasilan tak menentu. Sejak usia 16 tahun, Rokim mengenal Tampi. Jika letih sepulang bekerja, Rokim datang ke rumah Tampi. Rokim mulai menyukai Tampi setahun terakhir. Bermula dari rasa kasihan, lama-lama Rokim jatuh cinta. Apalagi Tampi selalu memberikan perhatian tulus saat Rokim datang ke rumahnya. Meski usia Rokim jauh lebih muda daripada Tampi, pria itu mengaku tidak malu punya istri berusia sepantaran neneknya.

Sekali lagi netizen mengurut dada. Apabila kisah lelaki dari Jagakarsa membuat netizen berduka cita, kisah dari Madiun membawa emosi netizen ke batas antara sedih dan bahagia. Sebagai anak-anak muda yang selalu riang  tentu netizen sulit membayangkan rumah tangga seperti apa yang bakal berlangsung pada pasangan Rokim-Tampi. Namun, sebagai generasi yang masih mendambakan ketulusan cinta di abad milenial, pengantin baru dari Madiun itu dapat membuktikan bahwa keajaiban cinta yang termaktub dalam novel-novel besar dari ratusan tahun silam tak dapat dibantah. Bermuram durja sekaligus gembira. Terperangah sedemikian rupa, tetapi takjub luar biasa pada saat yang sama.

Netizen bagai terombang-ambing di laut lepas. Dilanda takut bakal karam sia-sia, tetapi beroleh harapan bakal terdampar dengan selamat pada saat yang sama.

Dua kisah penting itu bukan hoaks, bukan omong kosong, melainkan kenyataan yang mungkin lebih mencemaskan ketimbang kabar bohong yang selama ini dikhawatirkan. Kisah-kisah itu patah tumbuh hilang berganti. Netizen mustahil mengelak dari kepungannya. Sepanjang hidup masih berdenyut, kisah demi kisah akan terus muncul. Manusia adalah makhluk yang selalu membuat kisah. Bukan kisah rekaan sebagaimana dalam prosa atau sinema-sinema garapan sutradara terkemuka, melainkan kisah nyata yang tak dapat disangkal keberadaannya.

Saling terhubung

Kepungan kisah ini mengingatkan saya pada diskusi kecil bersama Bagus Takwin, pengajar psikologi pada Universitas Indonesia, di Cak Tarno Institute pada 2006. Bagi Takwin, setiap manusia adalah produsen kisah yang di dalamnya ia selalu memegang peran utama.

Kisah itu bernama "diri" (self), pusat dari aktivitas kesadaran sekaligus medan tempat berbagai daya dari luar ikut menyumbangkan cerita guna melengkapi kisah utama itu. Dengan memahami kisah itu, menurut Takwin, kita dapat memahami bahwa "diri" setiap orang senantiasa terhubung dengan "diri" orang lain. Seperti tanda dan lambang dalam sebuah roman-yang merujuk pada berbagai peristiwa di luar roman itu-maka diri manusia juga mengandung berbagai rujukan ke luar pada kehidupannya bersama dengan manusia lain.

Maka, kisah-kisah yang berhamburan saban hari di tengahtengah keseharian kita tak mungkin lepas dari keterhubungannya dengan kehidupan orang-orang di sekitarnya. Memang, yang melakukan aksi bunuh diri dan menyebarluaskannya secara langsung adalah seorang lelaki di Jagakarsa, tetapi alur, plot, dan karakter yang terkandung dalam kisah itu boleh jadi erat kaitannya dengan kita, orang-orang di sekitar kisah itu. Secara hermeneutik dapat dibenarkan bahwa mentalitas yang rapuh dan ketakberdayaan kita dalam menghadapi persoalan yang semakin runyam di kurun mutakhir ini adalah "panggilan penciptaan" dari kisah dramatik dari Jagakarsa itu.

"Manusia sebagai pembuat kisah" adalah analogi yang digunakan Bagus Takwin untuk menjelaskan konsep diri sebagai identitas naratif  dari  filsuf Paul Ricoeur (1913-2005). Tokoh hermeneutika modern itu berpandangan bahwa manusia memahami identitas pribadinya seperti seorang pembaca memahami identitas dari tokoh-tokoh rekaan dalam sebuah cerita yang sedang dibacanya.

Prinsip hermeneutik mengajarkan, setiap kisah yang lahir dari tangan pengarang tak pernah berdiri sendiri. Ia berkelindan dengan kisah-kisah lain yang muncul sebelum atau bersamaan dengannya. Bagi Takwin, aku yang berinisiatif membuat kisah selalu terkait orang lain yang juga berinisiatif membangun kisah. Dari situ jelaslah bahwa setiap identitas individual selalu bersekutu dengan "identitas kita."

Dengan begitu, asmara tak biasa Rokim-Tampi adalah juga kisah kita semua. Tanda dan lambang yang terkandung di dalamnya merujuk pada kepasrahan kita menerima kepayahan dalam situasi yang tak banyak memberi pilihan. Tak apa-apa dipandang sebelah mata, asal kita bahagia dalam cinta. Biarlah sawah-ladang saudara-saudara kita di Jawa digempur alat-alat berat guna pembangunan pabrik raksasa, asal Indonesia gemilang masa depannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar