Vonis
Dahlan Abaikan Yurisprudensi MA
Augustinus Simanjuntak ; Dosen aspek hukum di Program Manajemen
Bisnis FE Universitas Kristen Petra Surabaya
|
JAWA
POS, 22
April 2017
Ironis dan
bisa jadi preseden buruk bagi penegakan hukum di negeri ini. Mantan Menteri
BUMN Dahlan Iskan divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor
Surabaya dalam kasus pelepasan aset PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim, Jumat
(21/4). Dahlan divonis dua tahun penjara plus denda Rp 100 juta subsider dua
bulan kurungan.
Sesuai dengan
amar putusan, Dahlan dianggap melakukan tindak pidana korupsi secara
bersama-sama (dakwaan subsider) dan tidak melaksanakan tugas serta fungsinya
secara benar saat menjabat Dirut PT PWU.
Hakim,
tampaknya, mengabaikan fakta bahwa pelepasan aset itu sudah dibahas secara
mendalam di DPRD. Juga, mengabaikan niat baik Dahlan untuk memulihkan PT PWU
yang tampak saat Dahlan menalangi dulu pembangunan gedung Jatim Expo (aset PT
PWU) plus personal guarantee Rp 40 miliar untuk membangun pabrik baru steel
conveyor belt. Bahkan, nilai aset PT PWU saat ini sudah berlipat ganda.
Yang
terpenting, selain tidak digaji, Dahlan tidak terbukti mendapat keuntungan
pribadi dari pelepasan aset PT PWU yang sesuai dengan UU Perseroan Terbatas
(PT) tidak perlu izin DPRD karena manajemen PT memang mandiri. Jika hakim
menilai adanya korupsi secara bersama-sama, di mana bukti keuntungan bagi
Dahlan? Bukti itu tidak pernah ada sejak awal sidang.
Jika majelis
hakim menganggap Dahlan tidak melaksanakan tugas dan fungsinya secara benar
saat menjabat Dirut PT PWU, bukankah hal itu masuk ke dalam ranah penilaian
RUPS? Mohon penegakan hukum tidak membuat publik bingung.
Pengadilan
semestinya menoleh pada yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) atas kasus Machroes
Effendi di Sambas (1964). Machroes, seorang pegawai negeri (PNS) plus wakil
ketua Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP) Sambas, dituduh menyalahgunakan
jabatan sebagai wakil ketua YBPP (sekarang Bulog) untuk menguntungkan diri
atau orang lain sehingga merugikan keuangan negara.
Prosedur vs Esensi
Dalam sidang
di PN Singkawang, Machroes dituduh melakukan korupsi karena mengeluarkan gula
sebagai insentif padi dan menyerahkannya kepada orang yang tidak berhak atau
menyimpang dari tujuannya. Machroes juga dianggap mengeluarkan ongkos
angkutan, penggilingan, upah buruh, dan sewa gudang dengan cara melanggar
prosedur. Namun, Machroes membantah semua tuduhan jaksa. Menurut dia,
kebijakannya sudah disetujui bupati/ketua YBPP Sambas.
Terkait dengan
ongkos-ongkos jasa, Machroes mengaku terpaksa mengeluarkan dana karena
pemerintah memang tidak menyediakan dana untuk hal-hal yang dimaksud.
Kemudian, selisih dana telah dipakai untuk pembangunan gedung Pemda Sambas
dan membeli lampu penerangan untuk memperindah Kota Singkawang. Namun, Machroes
tetap divonis bersalah oleh hakim PN Singkawang (24/9/1964) dengan hukuman
satu tahun enam bulan penjara. Hakim abai bahwa tidak ada dana yang mengalir
ke diri Machroes.
Hakim juga
lupa soal niat baik dalam kebijakan Machroes. Hakim hanya terfokus pada
prosedur, bukan pada esensi kebijakan. Akhirnya, Machroes mengajukan banding
ke pengadilan tinggi (PT) setempat. Ternyata, hakim tinggi menerima
permohonan banding Machroes sekaligus membatalkan putusan PN Singkawang serta
meminta Machroes dibebaskan.
Ada sejumlah
pertimbangan hakim dalam putusan bebas tersebut. Pertama, perbuatan Machroes
justru dianggap telah melayani kepentingan umum atau menguntungkan masyarakat
Sambas. Soal ongkos jasa, hakim tinggi berpendapat bahwa kebijakan semacam
itu kadang terpaksa ditempuh pejabat demi kelancaran pembangunan di daerah
atau demi kepentingan masyarakat. Dengan demikian, negara tidak terbukti
dirugikan, tetapi malah diuntungkan. Artinya, pembelian padi untuk
kepentingan negara tidak berkurang.
Lalu, mengenai
insentif gula yang diberikan kepada warga, yang menurut aturan tidak berhak,
tetap dijual dengan harga resmi. Kedua, Machroes tidak terbukti mengambil
atau mendapat keuntungan dari perbuatannya. Alasan itulah penghapus sifat
melanggar hukum (prosedur) atau teknis administratif. Menurut hakim tinggi,
dua pertimbangan tersebut penting dimasukkan dalam proses sidang guna
penyesuaian penegakan hukum dengan dinamika masyarakat.
Intinya,
penegakan hukum itu tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip keadilan yang belum
terpikirkan sewaktu KUHP dibentuk. Yaitu, prinsip keadilan yang terus
berkembang di mana masyarakat membutuhkan langkah-langkah progresif pejabat.
Namun, kejaksaan tidak puas dengan putusan hakim tinggi. Akhirnya, Kejaksaan
Agung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Ternyata,
hakim agung berpikiran yang sama dengan hakim tinggi. Tiga hakim agung, yakni
Wiryono Prodjodikoro (ketua), Subekti (anggota), dan Surjadi (anggota),
beranggapan bahwa perbuatan Machroes bukan tindak pidana, melainkan tergolong
tindakan melayani masyarakat sehingga negara diuntungkan.
Selain itu,
Machroes tidak mengambil keuntungan dari kebijakannya tersebut. Alasan-alasan
itulah yang menjadi penghapus sifat melawan hukum dalam perbuatan Machroes
sesuai dengan prinsip keadilan yang tidak tertulis dan berlaku umum.
MA akhirnya
memperkuat putusan banding sekaligus membebaskan Machroes. Putusan kasasi itu
menjadi yurisprudensi. Putusannya bernomor 42 K/Kr/1965. Karena
yurisprudensi, putusan tersebut bisa diikuti seluruh hakim dalam menangani
kasus yang sama.
Rupanya, kasus
Machroes menjadi acuan bagi hakim PN Gorontalo dalam mengadili kasus Sartini
dan kasus Ibrahim M. (1989) yang dituduh melakukan korupsi karena mengalihkan
mata anggaran untuk kepentingan umum lainnya. Keduanya divonis bebas lantaran
tidak terbukti merugikan keuangan negara atau menguntungkan diri/pihak lain.
Namun, jika dibandingkan dengan kebijakan Machroes, Sartini, dan
Ibrahim, aksi korporasi yang dilakukan Dahlan dalam penyelamatan PT PWU
sebenarnya jauh lebih progresif karena berlangsung pada era korporasi
mandiri. Karena itulah, Dahlan sungguh tak patut divonis bersalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar