Babak
Baru Politik Turki
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas
Nasional, Jakarta
|
KOMPAS, 22 April 2017
Kendatipun
tipis, kemenangan pendukung "ya" dalam referendum perubahan
konstitusi Republik Turki tak terelakkan lagi. Dengan dukungan 51,4 persen
suara menyatakan "ya" (evet) dan 48,6 persen memilih
"tidak" (hayir), sistem pemerintahan Turki berubah dari parlementer
ke presidensial. Seusai referendum, terlepas dari polemik yang menyertai
gagasannya selama ini, babak baru perpolitikan Turki telah dimulai.
Referendum
kali ini sangat fenomenal dalam sejarah politik Turki modern. Sejak didirikan
pada 1923 oleh Mustafa Kemal Ataturk hingga 17 April 2017, sistem
pemerintahan negara bekas kekhalifahan Turki Usmani tersebut adalah
parlementer. Kendati Turki pernah mengalami fase sistem partai tunggal pada
masa formatifnya hingga 1946, disertai beberapa kali kudeta militer (1960,
1971, 1980, dan 1997), pemerintahannya bertahan pada sistem parlementer.
Penerapan
sistem parlementer di Turki tak dapat dipisahkan dari pandangan Ataturk yang
terinspirasi model Eropa. Termasuk ketika ia memisahkan militer dari politik,
terlepas dari perkembangannya yang membuat militer justru menjadi kekuatan
politik yang penting dan menentukan (ruling
but not governing).
Perpolitikan
Turki itu, bagaimanapun, unik. Seiring penerapan ideologi sekuler yang
berkonsekuensi pembubaran banyak partai sepanjang sejarahnya, dinamika
politik parlementer sesungguhnya mencerminkan ekspresi kekuatan politik
sipil. Studi-studi mengenai sejarah dan dinamika kepartaian di Turki pada
kenyataannya tidak memberi tempat pada partai politik yang "didukung
militer".
Partai-partai
populer Turki dikelola para tokoh sipil. Setelah kudeta 1980, misalnya,
partai yang "didukung militer" kalah jauh dari Partai Tanah Air
(Anavatan Partisi) pimpinan Turgut Ozal yang berlatar belakang teknokrat
sipil.
Politik
parlementer juga meninggalkan eksperimen atau tradisi politik unik ketika
partai Islam dan sekuler berkoalisi dalam pemerintahan, terutama pada dekade
1970-an. Terkait partai Islam, kendati dalam banyak kasus dibubarkan
penguasa, keberadaannya tak terelakkan.
Pada masa
Perang Dingin, terdapat semacam pembenaran keberadaan mereka untuk
mengimbangi kekuatan politik kiri. Kendati sempat menang dan membentuk
pemerintahan koalisi pada 1996 (Partai Refah), pasca kudeta 1997 prestasi
elektoralnya turun drastis (Partai Fuzilet), kecuali inovasi politik baru
yang dikembangkan para eks aktivisnya dengan membentuk Partai Keadilan dan
Pembangunan (AKP). Partai yang mengklaim berhaluan demokrat-konservatif ini
adalah partai yang paling berhasil dan berkuasa sejak Pemilu 2002.
Keberhasilan
AKP tak dapat dilepaskan dari sosok pentingnya, Recep Tayyip Erdogan. Mantan
Wali Kota Istanbul ini sangat fenomenal dalam sejarah kepemimpinan politik
Turki pasca Ataturk. Keberhasilannya dalam referendum kali ini semakin
memosisikan Erdogan dalam konteks tertentu, "lebih berpengaruh"
ketimbang Ataturk.
Kendati berada
dalam ruang dan waktu yang berbeda, demikian juga dalam pemikiran, keduanya
punya persamaan: dikenal memiliki watak keras. Dengan klaim kepentingan
nasional dan masa depan Turki, Erdogan bergeming dinilai otoriter.
Setelah referendum
Setelah
referendum, Turki memasuki praktik politik baru, meninggalkan tradisi
kepolitikan sebelumnya. Banyak yang khawatir sistem politik baru kali ini
akan identik dengan praktik kekuasaan otoritarian, mengingat presiden
memiliki kekuasaan lebih besar ketimbang sebelumnya dan diperkirakan akan
nyaris tanpa kontrol yang efektif. Perubahan menuntut adaptasi- adaptasi
politik baru terhadap realitas dan praktik politik pemerintahan yang
"berpusat Erdogan". Ditilik dari kesempatan kepemimpinan,
bagaimanapun, Erdogan tengah berada pada puncak kekuasaan yang "nyaris
sempurna". Erdogan yang secara politik meningkat pesat kekuatan
politiknya pasca kudeta yang gagal seusai referendum punya kesempatan sangat
besar bertahan dalam posisi
kepemimpinannya hingga 2029.
Masyarakat
dunia masih akan melihat bagaimana kepemimpinan Erdogan berikutnya justru
ketika pengaruh kekuasaannya semakin kokoh. Dalam konstelasi regional dan
internasional, keputusan politik Turki yang ditentukan Erdogan tentu masih
terkait erat dengan ragam keputusan sebelumnya. Turki di bawah Erdogan tampak
ingin terus memosisikan diri sebagai penentu penting masa depan konstelasi
politik regionalnya di tengah menyeruaknya konflik yang rumit saat ini.
Karakter politik internasional Turki selama ini tergambar dari kebijakan dan
sikap politik Erdogan yang tetap terus ingin berperan secara menonjol.
Yang juga perlu
dicermati, bagaimana perkembangan stabilitas politik pasca referendum. Para
pendukung "ya" yakin sistem presidensial lebih menjamin stabilitas
politik. Sesungguhnya sistem parlementer dan praktiknya di Turki belakangan
ini pun sudah cukup mampu menjamin stabilitas politik. Dengan penerapan
ambang batas parlemen 10 persen, kenyataannya AKP terus berjaya sebagai
kekuatan mayoritas di parlemen. Dengan sistem presidensial, diasumsikan
pemerintahan presidensial Erdogan akan semakin kebal dari "gangguan parlemen".
Dari sisi itu, stabilitas akan terjaga.
Akan tetapi,
masalahnya tak sesederhana ketika Turki menghadapi aneka ancaman kekerasan
dari kelompok-kelompok radikal. Selain musuh tradisional pemberontak Kurdi
(PKK), Turki juga berhadapan dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Hingga kini, Turki memang belum sepenuhnya bersih dari tindakan terorisme,
hal yang sangat mengancam industri pariwisatanya. Pekerjaan rumah penting
pasca referendum masih akan terkait dengan antisipasi fenomena tersebut. Kemampuan
pemerintah mengatasinya tentu semakin ditimpakan pada kebijakan-kebijakan
kepemimpinan politik Erdogan. Sejauh mana Erdogan mampu mengendalikan
kekuatan militer dan keamanan pasca kudeta dan pasca referendum merupakan
kunci pentingnya.
Masalah ekonomi
Paling penting
adalah masalah ekonomi. Bagaimanapun pemerintahan AKP telah tercatat memiliki
kemampuan melejitkan perekonomian Turki, setidaknya pada dekade awal
pemerintahannya. Apakah pasca referendum, yang memberi kesempatan lebih pada
Erdogan, prestasi ekonomi tetap bisa dipertahankan atau sebaliknya?
Mereka yang
optimistis tentu berkeyakinan Turki pasca referendum semakin berjaya meski
kondisi regionalnya awet bergejolak. Pihak yang pesimistis, dengan membaca
data-data perekonomian mutakhir, berpandangan bahwa kesempatan kali ini
berbeda dengan ketika AKP mula-mula berkuasa. Tantangan dewasa ini dan ke
depan sudah sedemikian kompleks. Ekonomi Turki bisa terpuruk manakala tak
terkelola secara benar.
Pada akhirnya dapat dicatat bahwa pasca referendum merupakan
kesempatan bagi Erdogan berkuasa dan membawa Turki berjalan ke sejarah masa
depannya. Dalam perbandingan politik, kelak akan tercatat apakah perubahan
sistem pemerintahan merupakan solusi terbaik atau sebaliknya bagi Turki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar