Guru
dan Kemampuan Persuasif-Inspiratif
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 25 April 2017
ADA
statement menarik dari Deborah Tannen dalam The Power of Talk: Who Gets Heard and Why (Harvard Business School: 2013), bahwa kemampuan persuasif
seseorang termasuk guru ialah dari bagaimana dia memiliki kemampuan
berbicara. Guru laki-laki cenderung melakukan komunikasi verbal tegas dan
gamang, sesekali dipenuhi keraguan. Akan tetapi, rata-rata guru perempuan
selalu menjaga perasaan lawan bicaranya dan bahkan terkesan menutupi
kebenaran. Di atas semuanya, jika proses psikologis komunikasi semacam ini
terus dipertahankan, para siswa akan merespons negatif dan cenderung
melemahkan proses belajar-mengajar. Melihat bagaimana para guru berinteraksi
dalam keseharian para murid, secara linguistik kecenderungan guru lelaki dan
perempuan memang berbeda. Guru laki-laki lebih sering mengedapankan kata
‘Saya’ sebagai titik persuasif ke siswa, sedangkan guru perempuan lebih
banyak menggunakan kata ‘Kita’ sebagai bentuk perlindungan psikologis demi
menjaga lawan bicara, termasuk para siswanya. Penelitian yang dilakukan
Deborah Tannen tersebut menyiratkan pentingnya penggunaan kata secara
proporsional jika bangunan komunikasi siswa dan guru di ruang belajar akan
berlangsung menyenangkan. Memahami konteks psikologis anak, termasuk
lingkungan suasana belajar-mengajar menjadi penting memilih kata yang ingin
digunakan.
Menjadi inspiratif
Dengan
melihat kemampuan persuasif guru melalui komunikasi juga dapat menarik jika
kita mengingat dan bertanya, lebih banyak guru jenis mana ketika kita
bersekolah dulu. Guru berjenis myopic yang berorientasi text-book dan
kurikulum, atau guru yang memiliki kemampuan membagi inspirasi? Jawabannya
saya yakin lebih dari 90% guru kita berjenis myopic, yakni mereka hanya mampu
melihat hal-hal yang bersifat kekinian, tetapi tak memiliki kemampuan melihat
jauh ke depan. Seperti politisi, guru kita kebanyakan kurang memiliki
inisiatif yang inspiratif. Namun, tidak demikian dengan Pak Sarmili, guru
olahraga saya ketika SD dulu. Perawakannya yang tinggi besar, berbadan tegap,
dan sorot mata yang lembut merupakan ciri khasnya. Saya merindukan banyak
sekali guru seperti Pak Sarmili yang sangat inspiratif dalam mengajar. Salah
satu peristiwa yang hingga saat ini tetap menginspirasi saya ialah melihat
secara benar bakat dan juga kelemahan siswa. Pada 1970-an, jauh sebelum
Howard Gardner memperkenalkan teori multitalenta anak, Pak Sarmili telah
mendahuluinya. Meski mengajar olahraga, tak serta-merta memaknai olahraga
hanya sebagai berlari mengelilingi lapangan, bermain bola, dan bermain kasti.
Beberapa
anak yang kurang berbakat dalam berolahraga, baik karena masalah kesehatan
maupun minat, selalu diperlakukan dan dinilai sama. Saya misalnya, karena
seringnya sakit, dibebaskan dari tugas mengikuti senam, berlari mengelilingi
lapangan, atau bermain bola. Namun, di luar jam mengajar, Pak Sarmili sering
menyuruh saya menyiram bunga matahari di halaman sekolah dengan teko. Siswa lain
yang kurang berminat dengan olahraga, tetap diberi perhatian sama karena Pak
Sarmili selalu memberi tugas khusus kepada para siswanya dengan prinsip yang
penting si anak bergerak secara fisik. Apakah itu bermain kelereng atau
layang-layang, semuanya punya nilai olahraga. Kebaikan hati dan murah
senyumnya membuat Pak Sarmili dirindukan dan dicintai setiap siswanya, selain
memang tak pernah marah. Bagi Pak Sarmili, kurikulum tak harus kaku dimaknai,
tetapi bagaimana bisa memberi manfaat bagi masa depan anak-didiknya kelak.
Kebanyakan
guru saat ini mewakili tipologi guru kurikulum, tetapi kurang memberi
inspirasi karena tak memiliki keberanian mengajak anak-didiknya berpikir
kreatif serta melihat sesuatu dari luar, mengubahnya di dalam, lalu membawa
kembali keluar, ke masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan
manajer-manajer andal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru yang
berani menghancurkan aneka kebiasaan lama. Guru-guru kita saat ini
terperangkap dengan kompetensi semu dan senangnya membangun batas-batas
kekuasaan teritorial antara dirinya dengan anak-didik. Perilaku internal
jenis ini ialah belenggu yang disebut sebagai destructive habits. Mereka
menggunakan mikroskop untuk memperbesar hal-hal kecil yang tidak dimiliki.
Namun, tak bisa melihat jauh ke depan tentang harapan anak-didik mereka
secara manusiawi. Dalam dunia yang sangat hedonis dan serbakebendaan ini,
faktor keikhlasan terasa tak bermakna dan benar-benar kehilangan makna.
Hampir lebih dari dua dasawarsa ini para guru di Indonesia terlihat seperti
tak menjumpai kata ‘ikhlas’ dalam kamus hatinya. Siapa mengajar siapa dan
siapa belajar dari siapa menjadi tak jelas karena guru mengajar untuk bekerja
dan pemenuhan kurikulum, bukan untuk masa depan anak-anak. Karena itu, sudah
saatnya para guru memiliki kepekaan yang kuat dan memberi penekanan yang
terus-menerus terhadap proses pembalajaran yang sangat kontekstual.
Teori
pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916)
yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik bila yang dipelajari
terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa
yang terjadi di sekelilingnya. Guru yang inspiratif jelas harus memiliki akar
dan pemahaman hebat tentang gambaran proses belajar-mengajar secara autentik,
berbasis inkuiri, menyelisik suatu masalah dengan mencoba memberi solusi,
mengajarkan fungsi-fungsi pelayanan dalam masyarakat, serta memperkenalkan
siswa dengan strategi pembelajaran berbasis usaha/kerja keras. Dalam teori
belajar berbasis pendekatan keragaman kecerdasan, proses pendidikan yang
benar harus mampu melihat bakat dan kecerdasan siswa dari aspek yang tidak
tunggal, serta menimbang kombinasi antara proses penilaian (assessing
process) dan proses pembelajaran (learning process). Dengan kombinasi antara
proses assessment dan pembelajaran yang benar, sesungguhnya sekolah dan para
guru sedang mencoba untuk tidak memisahkan apa yang sebenarnya terjadi pada
diri siswa di luar ruang kelas. Ujian atau tes juga tidak bisa dipisahkan
dari jam belajar yang secara keseluruhan sangat tersedia di luar sekolah.
Artinya, untuk melihat apakah seorang anak berbakat dan cerdas, kemampuan
pedagogis guru dan budaya sekolah yang menghargai keragaman sangat dibutuhkan
seorang anak untuk berkembang.
Profesor
Antonio Damasio (2006) menyebutkan, hari ini sistem pendidikan hampir di
seluruh belahan dunia tumbuh pembedaan sangat signifikan antara proses
pembelajaran berorientasi kognitif dan emosional. Menyelami empati dan rasa
tak memperoleh porsi jelas dalam struktur kurikulum sehingga anak-anak
cenderung dididik menjadi semacam robot yang minim rasa. Dalam pandangan
Damasio, seharusnya pendidikan seni budaya dan humaniora diseimbangkan jumlah
durasi dan substansinya untuk dan dalam rangka menumbuhkan elan vital kemanusiaan
manusia, yaitu emosi dan spiritualitas yang menyatu dalam pikir dan perilaku.
Selain itu, jarangnya guru inspiratif menurut Linda Darling-Hammond dalam
Powerful Learning: What We Know about Teaching for Understanding (2008)
dengan jelas menggambarkan bahwa sekolah masih berorientasi pada hasil
tes/ujian. Proses belajar semacam ini tentu saja akan menjadikan anak didik
cenderung menjadi objek belajar yang pasif dan belajar secara tidak mendalam
sehingga bakat dan kecerdasan anak tidak tergali secara baik. Pendekatan ini
juga cenderung menjadikan siswa sebagai alat penghafal rumus dan teori serta
mengesampingkan proses atau latihan analisis dan penalaran yang lebih alamiah
serta bersandar pada kebutuhan seorang anak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar