Dunia
Condong ke Kanan
A Prasetyantoko ; Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma
Jaya
|
KOMPAS, 26 April 2017
Hasil pemilu
babak penyisihan di Perancis menunjukkan pandangan ekstrem kanan populer dan
berpeluang memenangi pemilu pada Mei mendatang. Partai Front Nasional yang
dipimpin Marine Le Pen mengantongi suara 21,8 persen, hanya terpaut sedikit
dari kelompok tengah independen En Marche! pimpinan Emmanuel Macron dengan
suara sebanyak 23,7 persen.
En Marche!
sebagai peraih suara terbanyak di babak pertama awalnya bukanlah partai politik,
melainkan asosiasi yang berorientasi melakukan pembaruan kehidupan politik.
Asosiasi berhaluan sosial liberal ini didirikan pada 6 April 2016 lalu,
persis setahun sebelum pemilu. Bisa diduga, tujuannya sebagai kendaraan
politik bagi kelompok yang merasa tidak terwakili kepentingannya oleh partai
konvensional besar.
Kecenderungan
pandangan ultra-nasionalis dan pembaruan politik di Perancis ini menarik
disimak di tengah gejala anti-globalisasi lainnya. Di Eropa, simbol
kemenangan kaum ultra-nasional adalah Brexit, sementara di Amerika Serikat
terpilihnya Presiden Donald Trump. Di dalam negeri, kecenderungan serupa
tentu juga terjadi. Kita pun tak luput dari kecenderungan kembali pada ikatan
awal (primus ordiri) sebagai akar gerakan primordialisme. Belajar dari
dinamika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta lalu, serta menghadapi
Pemilu 2019, apa sajakah yang perlu kita perhatikan sebagai bangsa?
Anti-globalisasi
Mengapa dunia
condong ke kanan? Salah satu penjelasan menarik ditulis Dani Rodrik, ekonom
terkemuka Universitas Harvard di laman Project Syndicate, dengan judul
"Too Late to Compensate Free Trade's Loser". Rodrik membuka tulisan
dengan pernyataan lugas, faktanya globalisasi telah memunculkan pemenang dan
korban. Tak bisa disangkal siapa pun.
Namun, bukan
berarti lalu globalisasi harus dihentikan, melainkan para korban harus
mendapat kompensasi. Sayangnya, menurut Rodrik, respons itu kalaupun ada,
sudah sangat terlambat. Sebagian masyarakat sudah telanjur condong ke kanan.
Negara maju, khususnya Eropa, sebenarnya sudah sejak lama mengembangkan
pendekatan negara kesejahteraan guna mengompensasi "para korban"
liberalisasi ekonomi. Namun, biayanya terlalu besar sehingga menimbulkan
gelembung fiskal yang rontok bersama krisis global tahun 2008 lalu.
Sementara itu,
Amerika Serikat, sebagai negara yang secara agresif menjalankan pendekatan
fundamentalisme pasar pada era 1980, tak kuasa menghadapi persaingan global.
Produk Amerika Serikat kalah bersaing dengan produk Meksiko dan negara
berkembang lainnya. Terlebih sejak China masuk dalam perdagangan dunia
sebagai anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) defisit neraca perdagangan
Amerika Serikat semakin membengkak. Sementara China terus mengalami surplus.
Dinamika
inilah yang kemudian meletupkan krisis global. Surplus China telah mengalir
kembali ke AS melalui pembelian surat berharga, yang terus dikeluarkan
pemerintah dalam rangka menutup defisit fiskal. Pada era itu, membanjirkan
likuiditas ke pasar keuangan Amerika Serikat dipahami secara congkak sebagai
kepercayaan negara lain pada perekonomian Amerika Serikat. Pasar derivatif
berkembang begitu pesat sebelum akhirnya meletus sebagai krisis 2008.
Pendekatan
ultra-liberal yang diambil oleh Amerika Serikat pada era 1980 harus dibayar
dengan bangkitnya paham ultra-nasionalis pada pemilu 2016 yang lalu. Terasa
benar, siklus pilihan kebijakan ekonomi berimplikasi langsung pada siklus
pilihan politik.
Revolusi digital
Menghadapi
kemandekan perekonomian di negara maju, segala upaya dilakukan, baik dari
sisi moneter maupun fiskal. Kebijakan
moneter non-konvensional diambil dengan cara menerbitkan surat utang
pemerintah guna membanjiri perekonomian dengan likuiditas sangat besar.
Kebijakan moneter ultra-longgar ini praktis dijalankan hampir semua bank
sentral negara maju. Namun, perekonomian tetap tak bergerak.
Karena itulah,
negara maju beralih pada peningkatan produktivitas perekonomian melalui
revolusi teknologi digital di hampir semua lini. Sejak krisis global, inovasi
justru semakin intensif di negara maju. Menurut catatan organisasi
negara-negara maju (Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan
Pembangunan/OECD), banyak negara justru meningkatkan budget untuk riset dan
pengembangan (R&D) pasca-krisis 2008. Di antaranya, Austria, Belgia, Denmark,
Finlandia, Perancis, Italia, Amerika Serikat, dan Rusia.
Mereka
menyadari betul, produktivitas perekonomian tidak lagi bisa didongkrak dengan
kebijakan fiskal dan moneter. Sebaliknya, diperlukan reformasi struktural
guna mengungkit produktivitas.
Di negara
maju, di mana infrastruktur fisik sudah relatif mapan, reformasi struktural
berarti menemukan sumber produktivitas yang lebih efektif. Dari situlah
revolusi digital sebagai basis dari revolusi industri terjadi. Berbagai
penemuan di bidang supercomputer, big data, internet of things terus terjadi.
Teknologi blockchain dikabarkan menjadi penemuan terbesar setelah internet
yang akan mengubah lanskap, bukan saja bisnis, melainkan juga politik,
pemerintahan, dan kehidupan manusia secara umum.
Bertemunya inovasi
yang bersifat fisik, digital, dan biologi telah melahirkan penemuan yang tak
terbayangkan sebelumnya. Mulai dari mesin pencetak tiga dimensi, mobil tanpa
sopir, hingga kemajuan teknologi robot.
Ilustrasi
menarik terjadi dalam kasus Jepang. Sekarang ini, rasio penduduk berusia di
atas 65 tahun sekitar 25 persen dari total penduduk. Pada tahun 2020
diprediksi akan mencapai 30 persen dan pada tahun 2050 menjadi 40 persen.
Oleh karena itu, Pemerintah Jepang sejak 2013 lalu memberikan hibah sekitar
24 juta dollar AS kepada Honda dan Toyota untuk mengembangkan robot asisten
orang lanjut usia. Prototipenya sudah ada, yaitu robot bernama Robina
(Toyota) dan Asimo (Honda).
Penggunaan
aplikasi dalam bisnis sudah melahirkan raksasa Uber dan AirBnB serta praktik
e-dagang (e-commerce) yang sudah berkembang secara masif. Kecenderungan siapa
pemenang dan korban pun sudah mulai terasa. Kemajuan digital akan menciptakan
"pemenang yang mengambil semuanya" (the winner takes it all).
Konflik antara bisnis berbasis aplikasi dan konvensional masih akan terjadi.
Di sektor
keuangan, munculnya teknologi finansial cepat atau lambat berpotensi
menggerus dominasi bank-bank besar. Sektor perbankan akan terkena dampaknya
paling awal, tetapi dampak paling besar diprediksi akan terjadi pada sektor
asuransi. Hadirnya teknologi blockchain memungkinkan perusahaan asuransi tak
lagi melalui agen, tetapi langsung berhubungan dengan nasabah.
Bisnis pemula
Salah satu
solusi yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan sengaja menumbuhkan
bisnis pemula (start up) di bidang teknologi finansial (fintech) yang
berorientasi pada perluasan akses keuangan yang tak bisa disentuh oleh sektor
keuangan konvensional.
Kelompok
petani, nelayan, pedagang kecil semuanya bisa diakses dengan teknologi finansial
guna memperluas bukan saja akses keuangan, melainkan juga dalam rangka
membuat mereka semakin besar. Jika strategi ini bisa dijalankan, revolusi
digital yang dimotori negara maju pasca-krisis bisa kita manfaatkan untuk
memperkuat sendi perekonomian domestik. Dan, bukan sebaliknya, melucuti
kekuatan ekonomi domestik dari gempuran pemain asing.
Dengan begitu,
esensinya adalah memanfaatkan kemajuan guna menjaga agar dunia tidak semakin
condong ke kanan. Meskipun globalisasi dan kemudian revolusi digital telah
dan akan selalu memunculkan pemenang dan korban, menghentikan bukanlah
jawaban. Sebaliknya, memanfaatkan kemajuan guna memperkokoh lapisan paling
bawah adalah solusi. Menggerakkan pasar di dasar piramida tak selalu
memerlukan campur tangan pemerintah (subsidi).
Lapisan paling bawah dalam arti tertentu memiliki kemampuan
bergerak, baik sebagai konsumen maupun sebagai bagian dari sisi produksi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar