Horor
Baru sesudah Pilkada Jakarta
AS Laksana ; Cerpenis dan Esais, tinggal di
Jakarta
|
JAWA
POS, 24
April 2017
Pada Rabu
malam, sesudah pencoblosan dalam Pilkada DKI Jakarta, beberapa teman
mengirimkan pesan, sebagian sebagai kelakar, yang menyatakan perasaan lega.
Salah satu bunyi pesan itu: ’’Syukur alhamdulillah! Ternyata pilkada bisa
rampung juga. Saya kira akan ada terus sampai kiamat.’’
Pilkada DKI
memang terasa seperti cerita horor yang dimainkan oleh hampir semua orang.
Tepatnya, ia seperti film horor lawas yang penyelesaiannya selalu melibatkan
simbol-simbol agama. Saya hanya tahan menontonnya setengah babak dan
memutuskan keluar dari arena pertunjukan –keluar dari keruwetan di media
sosial– dan sengaja tidak ingin mendengar apa-apa tentang itu.
Besoknya
beberapa teman mengirimkan potongan gambar koran Utusan, Malaysia, yang
menulis berita dengan judul besar: Ahok Tewas di Tangan Anies. Saya
menanggapinya, ’’Mari kita lapor ke polsek terdekat.’’ Media itu menyebutkan
bahwa pilihan raya gabernor Jakarta ini disifatkan lancar, tapi ’’paling
kotor’’. Itu berarti sebuah kelancaran yang tidak berguna.
Rencananya,
pengumuman resmi KPU disampaikan Mei nanti. Tetapi, hitung cepat oleh
berbagai lembaga memperlihatkan kekalahan pasangan petahana Ahok-Djarot. Dan,
Anies Baswedan juga sudah menyampaikan pidato normatif bahwa ini adalah
kemenangan untuk semua warga Jakarta, mari bersatu kembali, mewujudkan
Jakarta yang baik untuk semua. Saya ingat Donald Trump, setelah kampanyenya
yang brutal dan memecah belah, juga menyampaikan pidato serupa: saatnya
bersatu kembali.
Dalam bayangan
saya, tidak akan ada lagi sebutan munafik bagi orang-orang Islam yang
telanjur memilih mendukung kandidat nonmuslim. Tetapi, saya tidak bisa
membayangkan apakah jenazah orang Islam pendukung Ahok akan disalati di
musala atau tidak. Dalam masa kampanye, pernah ada ancaman melalui ceramah
dan bentangan spanduk bahwa orang Islam yang mendukung Ahok tidak akan
disalati di musala saat dia kelak meninggal.
Ada masalah
serius berkaitan dengan hal itu. Jika ancaman tidak dijalankan, itu berarti
agama hanya dijadikan alat gertak sambal, hanya alat untuk melakukan
intimidasi. Setelah tujuan tercapai, agama disimpan lagi di gudang dan baru
akan digunakan lagi nanti ketika politik membutuhkan orasi-orasi dan
pengerahan massa atas nama agama.
Saya pikir,
memperlakukan agama sebagai perkakas politik bukanlah contoh terpuji. Tetapi,
begitulah, para politikus adalah spesies yang sanggup memperalat apa saja
demi memburu sesuatu yang mereka maui, ialah kekuasaan.
Sebaliknya,
jika ancaman dijalankan –karena kita dididik untuk meyakini bahwa harga diri
setiap orang terletak pada mulut yang bisa dipercaya–, itu akan membuat
masyarakat tetap terkoyak. Tetapi, saya ingin menyampaikan kepada yang sudah
meninggal bahwa disalati di musala atau tidak, itu bukan urusan mereka.
Menyalati jenazah adalah urusan orang-orang yang masih hidup. Jenazah tidak
berurusan dengan itu.
Sekarang,
apakah kepala benar-benar bisa tenteram setelah pilkada? Tidak. Kita memasuki
cerita berikutnya, yaitu kisah spionase tentang rencana makar terhadap
pemerintahan Jokowi. Allan Nairn, wartawan investigasi Amerika Serikat,
menulis bahwa Ahok hanyalah sasaran antara dan sekarang sasaran antara itu
sudah ’’tewas di tangan Anies’’. Sasaran utamanya adalah Jokowi.
Cerita
tersebut, diakui oleh Allan, disusun selama setahun dengan mewawancarai
’’puluhan’’ narasumber. Di antaranya, Kivlan Zen, Usamah Hisyam (penulis
biografi SBY Sang Demokrat), dan mantan Kepala Badan Intelijen Strategis
(Bais) Soleman B. Ponto. Dia juga melengkapi data dengan dokumen-dokumen dari
internal tentara, kepolisian, intelijen, dan arsip Badan Keamanan Nasional AS
yang dibocorkan Edward Snowden.
Kivlan Zen,
salah seorang narasumber utama, mengembangkan cerita tentang kemungkinan
terjadinya ’’peristiwa 1965’’ jilid kedua. Jika Jokowi meminta maaf kepada
PKI, katanya, peristiwa 1965 akan terjadi lagi. Jika tidak meminta maaf,
pemerintahannya mungkin selamat, tetapi bisa juga jatuh.
Itu imajinasi
yang sangat buruk yang berasal dari ketidaksanggupan pemerintah negara ini
membereskan masalah-masalah pada masa lalu. Peristiwa 1965 tetap menjadi
trauma yang tidak pernah ada penyelesaiannya hingga sekarang, menjadi
penyakit yang tak tersembuhkan, dan PKI tetap dijadikan memedi sawah untuk
menakuti burung-burung.
Kivlan, yang
menjelang pemilihan presiden 2009 pernah mengubah namanya menjadi Sutiyogo
demi menepatkan diri dengan notonagoro dalam ramalan Jayabaya, adalah orang
yang senang mengembangkan khayalan tentang memedi sawah itu. Dalam sebuah
acara di Solo, 2016, dia menyampaikan, ’’Tahun 2017 mereka akan
memproklamirkan Republik Cina-Indonesia, saya punya intelijen di sana.’’
Markas Besar
TNI telah membuat sangkalan terhadap laporan Allan Nairn yang diterbitkan di
situs The Intercept dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atas izin Allan oleh media online Tirto.id, dan menyatakan itu sebagai
hoax. Itu reaksi yang mudah ditebak. Namun, di luar urusan benar atau tidak,
saya sudah menjadi agak kebal menghadapi cerita-cerita seperti itu.
Dari dulu kita tidak pernah kekurangan cerita horor. Yang kita
sangat kekurangan adalah pikiran-pikiran besar yang bisa membawa negara dan
bangsa ini terbang setinggi yang sanggup dijangkau oleh imajinasi yang baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar