Jebakan
Konsensus Demokrasi
Galih Prasetyo ; Alumnus Ilmu Politik, Universitas
Nasional
|
MEDIA
INDONESIA, 28 April 2017
PILKADA DKI
telah usai. Setelah pencoblosan tahap kedua pada 19 April lalu, Anies
Baswedan-Sandiaga Uno unggul di sebagian besar quick count lembaga survei. Keputusan
resmi KPUD belum dirilis, meskipun biasanya hasilnya tidak akan jauh berbeda.
Dinamika politik dalam kontestasi pilkada menyita perhatian luas publik.
Setiap pihak mengerahkan strategi guna memenangi pertarungan. Isu SARA
muncul, berita hoax pun bertebaran bahkan tak jarang terjadi saling caci maki
antartimses di dunia nyata maupun dunia maya. Inilah wajah politik keseharian
kita. Politik yang dimengerti sebagai politik. Politik sebagai wahana saling
rebut kekuasaan. Sudah saatnya kita melampaui petuah lawas Harold Lasswell's
tentang politik yang mengajarkan 'Who gets what, when, and how'.
Politik
berlangsung di dalam demokrasi yang serbamenguras ongkos. Siapa pun pemimpin
terpilih rentan tersangkut korupsi sebab mungkin saja mereka terikat konsensi
dengan pelbagai donatur. Apa boleh buat. Kita telah memilih demokrasi, karena
sejauh ini paling mungkin diterapkan. Setidaknya diskursus publik terawat,
rakyat punya kesempatan berpartisipasi, bisa ikut mengawal kebijakan
pemerintah. Meskipun sering kali kritik tak didengar. Di sini kesetaraan,
kebebasan, dan hak asasi manusia menemui tempatnya.
Kurva lonceng
Dalam proses
kampanye, semua kandidat calon gubernur dan wakil gubernur DKI seolah
menunjukkan pertentangan sengit. Namun, boleh jadi begitu konsensus bekerja
antagonisme redup. Sebagai sistem resmi yang disepakati, kita memang mesti
maklum bahwa demokrasi tak sanggup memfasilitasi perubahan signifikan.
Goenawan Mohamad (GM) dalam Demokrasi dan Kekecewaan (2009) mencatat gejala
itu dengan istilah 'kurva lonceng'.
Upaya
perubahan tak semudah membalikkan telapak tangan. Pada dasarnya, status quo
bertahan melalui pemungutan suara. Dalam demokrasi yang mengandaikan suara
terbanyak mudah ditemukan kompromi di sana-sini. Selalu terbuka celah beragam
kepentingan bertemu saling bernegosiasi, maka perubahan mungkin saja
terwujud, tetapi tampak sangat lambat. Selain itu, ternyata memang banyak
orang kurang siap mengalami perubahan drastis. Kampanye Anies-Sandi yang
antireklamasi berpotensi terperangkap pada kurva lonceng itu. Sehingga
perubahan yang ia lakukan tidak lebih keras ketimbang suara teriakan protes
penolakannya.
Sebagaimana
Jokowi, yang pernah berjanji pada kampanye pilpres 2014 silam, bahwa akan
membentuk kabinet ramping, membatasi menteri dari unsur parpol. Kini setelah
jadi presiden, komposisi profesional dan politisi di kursi kabinet bersaing
ketat secara jumlah. Tidak mengherankan bila kita menyaksikan pemimpin inkar
janji, lain ucapan lain perbuatan, kemudian gagal menunaikan amanah dan melukai
hati rakyat. Janji kampanye hanya diproduksi sekadar untuk menggalang suara
pemilih. Lebih parah lagi, realitas kemiskinan dijadikan alat mendulang
dukungan. Sudah lumrah tiap pascamusim pencoblosan hampir pasti akan selalu
melahirkan kekecewaan. Itu bukan ajakan untuk mengakhiri demokrasi.
Minimal sistem
ini membuat koreksi kapan pun bisa dilakukan. Ia menghadang absolutisme yang
alergi terhadap kemajemukan. Sistem ini ibarat kereta commuter line, siapa
pun pemenangnya tidak bisa begitu saja menyisihkan yang kalah. Lawan berada
di gerbong ikut menumpang perjalanan. Kritik ataupun pemberontakan berpotensi
datang bukan hanya berasal dari luar, tetapi juga dari dalam. Demokrasi
membuat kita tidak sanggup mencintai dan membenci apa pun secara ekstrem.
Menanti sang antah
Begitulah yang
kita hadapi tentang demokrasi. Sebuah sistem yang kerap dihantui jebakan
konsensus. Dengan begitu, perubahan sulit terjadi lantaran demokrasi
melemahkan politik perjuangan. GM melihatnya dalam tubuh politik semacam itu
akibat The Real (GM menamainya 'Sang Antah') istilah yang dipinjam dari
Jacques Lacan, tak pernah lengkap alias ada bagian yang absen tak terekam
bahasa. Ada yang turah. Peristiwa reformasi 98 atas kejatuhan rezim Orde Baru
salah satu bentuk contoh untuk menggambarkan 'Sang Antah' itu. Reformasi
muncul sebagai tawaran perubahan. 'Sang Antah' sebagai politik harapan tak
diketahui kapan kehadirannya.
Sangat mungkin
kembali memperlihatkan diri, saat agenda reformasi meleset menunaikan janji.
Tetapi, tidak harus disusul kerusuhan sosial. Boleh jadi ia datang seiring
tuntutan sosial yang menagih untuk dibereskan seperti kemiskinan. 'Sang
Antah' adalah politik yang tidak bisa dinamai, muncul bagai pahlawan zaman
dan membawa perubahan. Persis konsep Alain Badiou tentang 'Yang Politis' (The
Political) yang menjadi ruang kemungkinan bagi peristiwa, basis bagi
kemungkinan emansipasi terluas. Demokrasi dengan penuh kesabaran menanti
datangnya 'Yang Politis' sebab demokrasi merupakan prosedur segala
kemungkinan (Robertus Robet, Kembalinya Politik, 2008, dan 2009). Apa yang
turah dari 'Sang Antah' menbidani kelahiran atas tuntutan keadilan. Ia
jeritan yang luput di luar kesadaran. Inilah politik yang selalu ditunggu.
Butuh
kesetiaan politik dalam membebaskan apa yang kerap terabaikan itu. Politik
sebagai perjuangan harus dihidupkan agar terhindar dari rayuan pragmatisme
yang melemahkan daya dobrak perubahan. Untuk mengembangkan potensi yang
tersedia, kita berkewajiban memelihara segenap kekuatan demokrasi
(parlementer) dan memosisikan politik sebagai jalan menuju kesetaraan, lebih
jauh lagi keadilan. Parlemen atau institusi legal formal berpeluang
mencarikan solusi terkait isu kepentingan rakyat lewat pembentukan
undang-undang dan rumusan kebijakan.
Unsur gerakan ekstra parlementer berupa demonstrasi jalanan juga
berfungsi menyampaikan tuntutan. Kedua kanal itu memiliki potensi mengubah
keadaan. Dengan catatan, butuh subjek politik yang memiliki militansi untuk
setia kepada 'peristiwa'. Pucuk pimpinan tertinggi DKI diharapkan nantinya
menjadi subjek politik yang ikhtiarnya mampu memanggil 'Yang Politis' itu.
Melayani atas dasar panggilan nilai kemanusiaan demi kebaikan bersama,
menjadikan rakyat sejahtera. Sambil terus menjaga ritme politik perjuangan
yang dipastikan akan menghadapi pelbagai tantangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar