Setelah
Kasus Churchill
Muhammad Iqbal Hasan ; Pemerhati Hukum Investasi Internasional;
Kandidat Doktor Ilmu Hukum pada
Universitas Pelita Harapan
|
KOMPAS, 21 April 2017
Pada 6 Desember 2016, Indonesia
mendapat berita gembira menyusul kemenangan atas gugatan Churchill dan Planet
Mining di arbitrase internasional ICSID. Namun, di luar itu, banyak hikmah
dan pelajaran dapat dipetik dari kasus ini.
Kasus tersebut sebenarnya kasus lama. Tahun 2010, Churchill
menggugat Pemerintah Indonesia melalui PTUN atas pembatalan izin usaha
pertambangan oleh bupati, tetapi gagal. Upaya hukum terus dilanjutkan
Churchill hingga kasasi di Mahkamah Agung, dan hasilnya tetap sama. Sampai
akhirnya Churchill membawa kasus ini ke forum arbitrase International Centre
for Settlement of Investment Disputes (ICSID), yang hasilnya gugatan mereka
tak dapat diterima (inadmissible).
Gugatan kandas karena terbukti dokumen yang diajukan penggugat ternyata
dokumen yang telah dipalsukan.
Sebelum kasus ini putus, Indonesia juga baru menang di ICSID
atas gugatan Rafat Ali Rizvi (kasus Century). Kemenangan beruntun ini
merupakan tren yang baik, yang bisa memberikan pesan kepada dunia
internasional bahwa Indonesia sebenarnya tidak pernah melakukan hal yang
merugikan investor.
Selain itu, rentetan kemenangan ini juga semakin menunjukkan
kesolidan pemerintah bersama tim penasihat hukumnya dalam menangani perkara.
Beracara di arbitrase internasional bukan hanya masalah penguasaan substansi
hukum, melainkan juga mengenai kecermatan pada hal teknis tertentu, seperti
pemilihan arbiter.
Tren kemenangan ini harus disyukuri, tetapi kita tetap harus
bersikap kritis dan mampu mengambil pelajaran. Di antaranya, pertama, tren
kemenangan ini dapat dilihat dari sisi semakin seringnya investor asing
menggugat pemerintah. Lebih khusus lagi, gugatan yang masuk gugatan yang
sebenarnya tidak memiliki dasar yang jelas, hanya coba-coba.
Gugatan semacam ini bisa dikategorikan frivolous
claim, yaitu gugatan coba-coba atau main-main. Menghadapi gugatan
semacam ini, urusannya bukan lagi kalah atau menang, melainkan juga biaya
beperkara.
Kedua, beracara di arbitrase internasional itu sangat tidak
murah. Di kasus Churchill ini, pemerintah telah menghabiskan biaya lebih
kurang Rp 100 miliar, mirip dengan hasil penelitian Organisasi untuk Kerja
Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang mengatakan bahwa rata-rata biaya
beperkara di arbitrase internasional adalah 8 juta dollar AS, dan bisa
mencapai 30 juta dollar AS pada beberapa kasus (OECD, 2012).
Beruntung dalam kasus ini tribunal ICSID memutuskan penggugat
harus mengganti 75 persen biaya beracara yang sudah dikeluarkan pemerintah,
yaitu 8.646.528 dollar AS, dan biaya administrasi ICSID sebesar 800.000
dollar AS.
Ketiga, untuk publik, ada persepsi yang sering muncul ketika
pemerintah digugat investor asing, yaitu pemerintah langsung dianggap
benar-benar telah melakukan kesalahan. Ini persepsi keliru dan harus
diperbaiki. Di kasus ini justru penggugat yang terbukti beritikad buruk
melakukan pemalsuan (forgery).
Publik harus mulai terbiasa berpikir jernih dan obyektif. Terlebih pengadilan
nasional di semua tingkat sudah memutuskan bahwa pembatalan izin yang
dilakukan bupati dalam kasus ini telah sesuai prosedur. Kalau bukan kita yang
percaya dengan pengadilan kita sendiri, lalu siapa lagi?
Keempat, kita memang tidak perlu paranoid, tetapi tetap juga
harus sadar dan waspada. Faktanya, putusan ICSID di kasus ini belum masuk ke
tahap pemeriksaan pokok perkara. Dengan kata lain, jika dokumen tersebut
tidak palsu, bisa saja pada pemeriksaan pokok perkara tribunal memutuskan
Pemerintah Indonesia telah melanggar fair and equitable treatment atau indirect
expropriation sebagaimana
dituduhkan. Demikian juga pada kasus Century, gugatan belum masuk ke pokok
perkara karena kandas pada tahapan pembentukan yurisdiksi.
Sebagai salah satu upaya menghindari gugatan investor asing,
pemerintah saat ini tengah melakukan tinjauan (review) atas seluruh perjanjian investasi
bilateral. Salah satu targetnya adalah membuat Indonesia model Bilateral Investment
Treaty (BIT) yang benar-benar mencerminkan kepentingan nasional. Selain
membuat model BIT, momentum review ini juga untuk mencoba menganalisis
untung rugi beberapa opsi, seperti opsi keluar dari keanggotaan ICSID seperti
yang dilakukan Bolivia dan Ekuador; tidak lagi menggunakan skema penyelesaian
sengketa investor-state dispute settlement seperti yang dilakukan Australia
pada beberapa perjanjian; atau bahkan tidak lagi membuat perjanjian investasi
bilateral seperti yang dilakukan Brasil.
Ini tentu pekerjaan rumah yang tidak mudah. Salah strategi malah
bisa menurunkan daya tarik Indonesia bagi investasi asing. Terkait gugatan
investor asing, pekerjaan rumah pemerintah belum selesai. Masih ada dua
gugatan lagi di forum arbitrase internasional yang sedang berjalan, yaitu
gugatan dari Indian Metals & Ferro Alloys Ltd asal India dan Oleovest Pte
Ltd asal Singapura. Semoga menang lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar