Ancaman
Perintah Eksekutif Trump
Haryo Kuncoro ; Direktur Riset The Socio-Economic &
Educational Business Institute Jakarta; Doktor Ilmu Ekonomi lulusan PPs-UGM
Jogja
|
JAWA
POS, 17
April 2017
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengeluarkan
perintah eksekutif di sektor perdagangan. Trump menyuruh stafnya untuk
menyelidiki pelanggaran dagang yang mungkin dilakukan negara mitra hingga
neraca perdagangan AS defisit.
Pengurangan defisit perdagangan tampaknya menjadi cara
Trump untuk sedikit menekan defisit fiskal. Mazhab Partai Republik pengusung
Trump tipikal menggunakan ekspansi fiskal melalui pemotongan pajak guna
menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Dalam kalkulasi Trump, defisit fiskal yang melebar akan
mengurangi kemampuan peningkatan net-ekspor dan investasi sehingga memicu
defisit neraca transaksi berjalan. Faktor utama pendorong defisit neraca
transaksi berjalan adalah defisit neraca perdagangan.
Dari sisi neraca jasa, Trump lebih proteksionis lagi.
Sesuai dengan jargonnya saat kampanye ”AmericaFirst”, Trump akan menarik
pulang investasi AS di luar negeri selain menyerap dana dari pasar keuangan
dunia.
Menghadapi kondisi itu, bank sentral AS tidak tinggal
diam. Dalam pandangan bank sentral, ekonomi AS tidak boleh dibiarkan berjalan
”terlalu panas” agar tidak menimbulkan risiko yang merugikan bagi upaya
pemulihan ekonomi akibat krisis 2008.
Untuk mengimbangi manuver Trump, Gubernur Bank Sentral AS
Janet Yellen sudah memberikan aba-aba akan menaikkan suku bunga acuan
sebanyak tiga kali pada tahun ini. Serial kenaikan Fed Rate sudah diawali
pada pertengahan Maret lalu yang mematok Fed Rate pada level 0,75–1 persen.
Kebijakan Trump dan Yellen berdampak serius bagi Indonesia
yang dicurigai sebagai salah satu negara yang ”curang”. Di sisi sektor riil,
arus transaksi perdagangan akan tersumbat. Dari sisi finansial, arus modal
akan keluar menuju AS yang berakibat pada kekeringan likuiditas hingga
depresiasi nilai tukar.
Risiko likuiditas dan nilai tukar tampaknya menjadi
pertimbangan Bank Indonesia (BI) dalam meramu kebijakan moneternya. Dari sisi
pengelolaan likuiditas, operasi pasar terbuka untuk tenor selain 1 minggu
diserahkan kepada pasar. Melalui lelang, suku bunga pasar dimungkinkan
bervariasi mengikuti likuiditas perbankan.
Sejalan dengan spirit ”akomodatif dengan kehati-hatian”,
suku bunga acuan tidak lagi ditujukan untuk mendukung pertumbuhan, melainkan
demi stabilisasi. Alhasil, BI konsisten mempertahankan 7-day reverse repo
rate pada level 4,75 persen dalam enam bulan terakhir.
Secara konseptual, kebijakan suku bunga acuan bisa menjadi
instrumen stabilisasi. Suku bunga acuan yang tetap dalam waktu lama menjadi
sinyal bahwa fundamental ekonomi kokoh dan risiko terkendali. Harapannya,
investor asing tetap masuk, cadangan devisa menebal, dan rupiah terapresiasi.
Namun, apresiasi mendorong impor dan menekan ekspor.
Artinya, tujuan stabilisasi nilai tukar yang akan digapai lewat kebijakan
suku bunga acuan boleh jadi mengorbankan net-ekspor. Seberapa besar
penyusutan net-ekspor sangat bergantung pada responsivitas pelaku ekonomi.
Di sektor riil, konsumen dihadapkan pada pilihan memegang
cash atau membeli barang/jasa. Di hadapan produsen terhampar masalah harga
beli input dan harga jual output-nya. Konsekuensinya, produsen dan konsumen
kurang sensisif terhadap suku bunga.
Pelaku ekonomi sektor riil juga lebih peka terhadap nilai
tukar daripada pelaku pasar uang yang lincah mendiversifikasi asetnya. Di
pasar barang, produsen berurusan dengan impor bahan baku. Konsumen juga berkepentingan
dengan nilai tukar sehubungan dengan impor komoditas konsumsi.
Tesis di atas sepertinya terbukti. Nilai ekspor Indonesia
selama Februari 2017, misalnya, mencapai USD 12,57 miliar atau menurun 6,17
persen daripada ekspor pada bulan sebelumnya. Tiongkok menjadi negara tujuan
ekspor terbesar, yakni USD 2,91 miliar dan AS berada pada posisi kedua USD
2,78 miliar.
Selama periode yang sama, negara pemasok barang impor
nonmigas terbesar ditempati Tiongkok senilai USD 4,87 miliar dengan porsi
25,68 persen. Peringkat kedua diikuti Jepang USD 2,15 miliar atau 11,32
persen. Uniknya, AS tidak masuk tiga besar supplier impor ke Indonesia.
Imbasnya, permintaan bahan baku Tiongkok ke Indonesia bisa
turun. Indonesia akan semakin dibanjiri produk Tiongkok karena pengalihan
produk ekspornya dari AS ke Indonesia. Tendensinya, defisit neraca
perdagangan dengan Tiongkok semakin besar, sementara surplus dengan AS kian
tipis.
Alhasil, prinsip matematika sederhana mengajarkan, jika
akan mencari dua nilai yang tidak diketahui, harus tersedia dua persamaan.
Konkretnya, untuk meredam efek Trump dan Yellen, harus ditempuh dua strategi
pula. Kebijakan moneter adalah syarat perlu, tapi belum menjadi syarat cukup
bagi sektor riil.
Dalam konteks ini, paket-paket kebijakan ekonomi perlu
dioptimalkan agar betul-betul menjadi daya dorong bagi peningkatan kapasitas
produksi, terutama yang berorientasi pada permintaan ekspor.
Peningkatan kapasitas produksi niscaya memerlukan ekspansi
pasar. Perluasan pasar negara tujuan ekspor layak diarahkan di luar negara
tradisional yang selama ini telah eksis. Kawasan Afrika dan Amerika Latin
terbuka luas menjadi pasar potensial.
Dari sisi hulu, kenaikan harga yang diatur pemerintah
seperti BBM, gas, dan listrik menambah ongkos produksi dan membebani daya
saing. Dari sisi konsumen, kenaikan harga-harga tersebut menekan daya beli.
Intinya, pengendalian inflasi ikut menentukan efektivitas dua strategi di
atas.
Tanpa strategi komplemen tersebut, kebijakan moneter bisa
menjadi disinsentif bagi aktivitas ekonomi di sektor riil. Akibatnya,
perekonomian dihadapkan pada situasi di mana lalu lintas modal tidak
sebanding dengan aliran barang. Jika sudah begini, ancaman kerapuhan ekonomi
menjadi sebuah keniscayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar