Dua
Level Kedaulatan Pangan
Destika Cahyana ; Peneliti di Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian; Kementerian Pertanian RI
|
MEDIA
INDONESIA, 18 April 2017
BANYAK pihak skeptis, benarkah pemerintahan Joko Widodo tengah
berupaya mewujudkan kedaulatan pangan? Benarkah pula sejak merdeka baru
sekali saja pemerintah Indonesia mampu berswasembada pangan pada 1984?
Artikel ini mengajak kita optimistis bahwa Indonesia mampu berswasembada, mandiri,
dan berdaulat pangan.
Kedaulatan pangan, istilah itu saya kenal pertama kali pada
2000 saat kebanyakan akademisi, birokrat, dan praktisi pertanian di Tanah Air
masih
asing dengan istilah kedaulatan pangan. Yang populer
ketika itu hanyalah swasembada pangan (baca: swasembada beras) dan ketahanan
pangan.
Ketika itu, saya menjadi steering committee pada seminar nasional
yang digelar Forum Komunikasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah Indonesia
(Fokushimiti) yang mengundang Henry Saragih, Sekjen Federasi
Serikat Petani Indonesia (FSPI), sebagai pembicara.
Kelak seperti kita ketahui FSPI bermetamorfosis menjadi Serikat
Petani Indonesia (SPI) dengan Henry Saragih sebagai ketua umum. Henry juga
lalu menjadi Koordinator Umum La Via Campesina (2004—2013) yang menjadi
gerakan petani internasional. Saya ingat betul, pada seminar itu dosen saya yang
menjadi pembantu dekan di Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya menolak
istilah ‘kedaulatan pangan’ karena
dirasa kurang pas. Kedaulatan, menurut dosen saya, lebih cocok
untuk menggambarkan kondisi bangsa dan negara yang merdeka.
Praktis, menurut hemat saya, kita harus mengakui jasa Henry
Saragih memopulerkan istilah kedaulatan pangan pada bangsa ini. Bahkan kini
Presiden Joko Widodo terbuka dengan istilah baru itu, lalu
menggunakan kedaulatan pangan untuk menerjemahkan visi Nawa Cita pada sektor
pertanian Indonesia. Presiden melalui Menteri Pertanian, Amran
Sulaeman, sering mengatakan tiga tahap yang harus dilalui setiap bangsa, yaitu
swasembada pangan, kemandirian pangan, dan
kedaulatan pangan.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana mencapai tujuan tersebut?
Pada penghujung 2014 Presiden meminta Amran mencapai swasembada pangan dalam
waktu dua tahun dengan ancaman copot bila gagal. Presiden meminta janji serupa
pada Jenderal Gatot Nurmantyo, KSAD saat itu. Kementan dan TNI menandatangani
upaya khusus (upsus)
peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai (pajale).
Sejarah membuktikan pada 2016 Indonesia berhasil bebas dari
impor beras dan mampu swasembada pangan (baca: beras). Pada 2016 produksi
padi di Indonesia mencapai 79,1-juta ton gabah kering giling atau
naik 11,7% dari produksi pada 2014 yang hanya 70,8-juta
ton. Angka tersebut melampaui kebutuhan per kapita beras penduduk Indonesia
dan menjadi angka tertinggi produksi sepanjang Indonesia merdeka.
Duet Kementan dan TNI-AD mengulang sejarah keberhasilan swasembada
pangan di era HM Soeharto pada 1984 yang juga melibatkan TNI yakni Babinsa.
Memang benar harus diakui pada Januari 2016 ada beras impor masuk, tetapi itu
bukan permintaan impor
kebutuhan 2016. Beras yang dimaksud ialah sisa kontrak impor
2015 yang tertunda sehingga langsung masuk gudang sebagai stok dan tidak
dilempar ke pasar.
Bila sekadar swasembada beras, dengan posisi sebagai negara
penghasil beras nomor tiga di dunia, Indonesia telah kembali merengkuh. Namun,
harus diakui jalan kedaulatan pangan masih panjang karena pangan bukan hanya
beras. Bangsa Indonesia masih mempunyai pekerjaan rumah besar untuk
berswasembada pada tujuh komoditas strategis, yaitu
padi, jagung, kedelai (pajale); bawang dan cabai (babe); dan
sapi dan tebu (sate).
Kementerian Pertanian telah menyusun road map menuju Indonesia
lumbung pangan dunia pada 2045 atau tepat 100 tahun Indonesia merdeka. Jalan
itu memberi arah untuk memastikan produksi tahunan padi, bawang merah, dan
cabai surplus pada 2016; jagung pada 2017; gula konsumsi pada 2019; kedele,
2020; gula industri, 2025; daging sapi, 2026; dan bawang putih, 2033.
Dari tahap swasembada itu, kemudian ditargetkan RI mampu
mengekspor beras (2017), jagung (2018), bawang merah dan cabai (2020), gula (2035),
kedelai (2040), dan bawang putih dan daging sapi (2041). Tentu cita-cita
sebagai lumbung pangan dunia yang mengekspor pangan bukan
hal mudah, tetapi juga bukan tak mungkin. Kementerian Pertanian
telah melakukan restrategi di luar kelaziman untuk mencapainya. Sebut saja
dengan meminta membuka lebar-lebar jalan tikus di wilayah perbatasan.
Selama ini jalur itu menjadi pintu keluar masuk penyelundupan
dari luar negeri ke Indonesia atau sebaliknya. Jalur tikus itu dibuka menjadi
jalur umum yang mudah diawasi aparat. Berikutnya di wilayah perbatasan akan dibangun
sentra pertanian dengan komoditas strategis. Dengan demikian, ekspor tak lagi
mengandalkan pelabuhan dan bandara di Pulau Jawa
yang jauh dari negeri tetangga, tetapi dari perbatasan
seperti Entikong, Sebatik, Krayan, Bolu, atau Merauke.
Selama ini, sebagian wilayah perbatasan itu telah menjadi jalur
ekspor petani local ke Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam dengan
kualitas produk premium. Sebut saja beras organik menjadi 2—3
kali lipat harganya dari beras biasa karena terdongkrak oleh kualitas di atas
rata-rata dan perbedaan nilai kurs. Belum lagi aneka sayuran yang selama ini
telah diekspor melalui jalur tradisional. Pada konteks ini, pada daerah yang
telah melakukan ekspor secara tradisional, pemerintah berperan sebagai
akselerator. Sementara itu pada daerah perbatasan yang belum
dilakukan ekspor, pemerintah menjadi inisiator.
Tentu, sebagai pemegang mandat dari rakyat, pemerintah boleh
saja meredefinisi konsep kedaulatan pangan yang digagas La Via Campesina; Kedaulatan
pangan menempatkan petani dalam memproduksi, mendistribusikan, dan mengonsumsi
pangan di tengah pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan, bukan
korporasi atau institusi
pasar’ (La Via Campisena, 2009). Pada defi nisi tersebut peran
korporasi atau institusi pasar ‘haram terlibat’ karena tujuan utama
kedaulatan
pangan ialah ke sejahteraan dan kedaulatan petani (baca: petani
kecil).
Namun, dalam konteks negara, kedaulatan pangan memiliki
cakupan yang lebih luas sehingga Syahyuti dari Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian melakukan pendalaman konsep dari berbagai
perkembangan di dunia luar, sehingga merumuskan kedaulatan pangan
adalah ‘hak dan akses petani kepada seluruh sumber daya pertanian
mencakup lahan, air, sarana produksi, teknologi, pemasaran, serta terhadap konsumsi
yang dapat diukur pada berbagai level baik level
individu, rumah tangga, komunitas, wilayah, dan juga
nasional’ (Syahyuti et al, 2015).
Dengan kata lain yang sederhana, terdapat dua level kedaulatan
pangan, yaitu level rumah tangga petani dan level negara. Pada level rumah tangga
petani, tentu revitalisasi rumah tangga petani dan organisasi tani harus
terus diperkuat. Adapun pada level kedaulatan pangan negara,
pemerintah perlu melakukan peran inisiator, katalisator, regulator,
dan mediator berbagai stakeholder pertanian kepada subjek petanian--selain
petani kecil--secara luas termasuk pengusaha dan investor pertanian.
Langkah tersebut harus ditempuh karena end user konsumen
pertanian di Indonesia juga terdiri atas beragam level yang
berbeda: rumah tangga, industri rumahan, industri besar, negara, bahkan
negara lain yang membutuhkan spesifikasi khusus. Untuk memenuhi tiga end user konsumen terakhir, konsep
pertanian agribisnis yang dijalankan investor dan perusahaan tidak bisa
dihindari. Dengan beragam fakta
dan strategi itu, sebagai bangsa kita harus optimistis,
pada 2045 Indonesia mampu menjadi lumbung pangan dunia yang berdaulat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar