Akhirnya
Pesta Usai
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 20 April 2017
Saat pencoblosan putaran kedua Pilkada DKI Jakarta, Rabu
(19/4) kemarin, tiba-tiba teringat potongan pepatah Jawa yang sering
dilontarkan Presiden Soeharto: ngelurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake.
Kira-kira artinya "menyerbu tanpa bala tentara, menang tanpa merasa ada
yang dikalahkan". Pepatah ini terasa relevan saat Pilkada DKI Jakarta
berlangsung begitu sengit, sampai mendidihkan suhu politik berbulan-bulan.
Meskipun tahun 2017 ini pilkada serentak digelar di 101
daerah pada Februari lalu, nyatanya cuma pesta demokrasi lokal ibu kota
negara ini yang semirip pesta demokrasi tingkat nasional. Kegaduhannya makin
bertambah panjang setelah dalam putaran pertama tak ada pasangan calon yang
meraih 50 persen plus 1 suara. Pasangan Agus Harimurti-Sylviana Murni
terhenti di putaran pertama. Lalu, pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot
Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno lanjut bertarung di putaran
kedua.
Dengan demikian, suhu panas politik makin lama. Apalagi
Pilkada DKI Jakarta benar-benar jadi magnet. Tidak hanya milik orang Jakarta,
warga seantero negeri pun ikut latah mengurusi. Kemarin sampai ada guyonan
bikin ngakak yang beredar di grup Whatsapp (WA): "Pilkada DKI pilkada
paling menjengkelkan, hebohnya sampai seluruh Indonesia, ehhh giliran libur
cuma DKI doang... Terlalu!" diikuti emoticon "menangis".
Pilkada DKI Jakarta memang serasa pemilihan presiden
(pilpres). Pertarungan sangat sengit, terutama semenjak kasus dugaan penodaan
agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pada
September 2016. Rivalitas dua kubu pun mengerahkan segala kekuatan, mirip
taktik total football tim sepak bola Belanda di zaman pelatih Rinus Michels
saat Piala Dunia 1974 di Jerman.
Kalau ditilik dari sisi kegairahan berpolitik, Pilkada DKI
Jakarta ini mampu membangkitkan "partisipasi" masyarakat. Bukan
cuma gawean para politikus atau kelompok elite di tingkat suprastruktur.
Bahkan menjadi gerakan massa luar biasa, yang menuntut penuntasan kasus
Basuki. Namun, partisipasi itu lebih didominasi sentimen primordial.
Memang, sejak era otonomi daerah, sentimen primordial
subur pada setiap pilkada. Rata-rata berteriak "putra daerah". Di
beberapa daerah pasca konflik hampir selalu ada kombinasi agama atau etnik di
setiap pasangan calon. Namun, tidak sesengit rivalitas di Jakarta.
Seperti pesta, pertarungan pilkada juga ada akhirnya.
Kemarin tenda telah dibongkar. Tiada lagi kemeriahan, apalagi kegaduhan.
Tiada lagi provokasi atau agitasi, apalagi intimidasi. Dan, semoga tidak
menjadi try out untuk Pilpres 2019, atau mengulangi Pilpres 2014.
Harus dicamkan pekerjaan pemimpin baru mengurus Jakarta
sudah di depan mata, termasuk merangkai kembali kohesi sosial dan merawat
tenunan kebangsaan yang beragam.
Dan, dalam setiap pertarungan, menang-kalah adalah hal lumrah
walaupun terkadang meninggalkan luka. Meskipun masih menunggu hasil final
dari KPU DKI Jakarta, hasil hitung cepat oleh sejumlah lembaga survei
menunjukkan perolehan suara Anies-Sandiaga unggul cukup tinggi ketimbang
pasangan Basuki-Djarot. Dua pasangan itu memperlihatkan jiwa besar dalam
berdemokrasi. Basuki-Djarot terlihat legawa. Anies-Sandiaga juga tidak
jemawa.
Kemarin, pesta telah usai. Saatnya membangun Jakarta,
menyatukan kembali warganya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar