Satelit
dan Bisnis Tekfin
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 20
April 2017
Setelah
diluncurkan 14 Februari lalu dan memasuki orbit edarnya, akhirnya April 2017
satelit Telkom 3S resmi dioperasikan oleh PT Telekomunikasi Indonesia Tbk
(Telkom).
Ini akan
menggantikan posisi satelit Telkom 2 yang umur pakainya sudah habis. Lalu pada
pertengahan 2018, Telkom juga akan meluncurkan satelit Telkom 4 yang akan
menggantikan posisi satelit Telkom 1 yang juga habis masa pakainya. Telkom 3S
memiliki 49 transponder. Untuk Anda ketahui, transponder adalah singkatan
dari transmitter responder, yakni sebuah perangkat otomatis yang berfungsi
sebagai penerima sinyal, lalu mengubah frekuensinya dan memperkuat, serta
mengirimkan kembali sinyal tersebut dalam frekuensi tertentu.
Untuk Telkom
3S punya jenis transponder C-Band dan Extended C-Band, serta Ku- Band dan
Extended Ku-Band. C-Band dan Extended CBand adalah transponder dengan wilayah
jangkauan Indonesia dan Asia Tenggara, sementara Ku-Band dan Extended Ku-Band
adalah layanan broadband (pita lebar) khusus untuk wilayah Indonesia dan
mampu menjangkau hingga daerah-daerah terpencil.
Masih untuk
Anda ketahui, kita saat ini masih membutuhkan sekitar 300 transponder.
Sementara pasokannya ada dari Telkom dengan 109 transponder dan BRIsat yang
memiliki 45 transponder. Jadi, kita masih kekurangan 146 transponder. Bukan
jumlah yang sedikit. Meski permintaannya masih tinggi, tidak semua perusahaan
mampu memasoknya. Pasalnya, satelit memang bisnis yang mahal. Harga BRIsat,
misalnya, mencapai Rp2,5 triliun.
Menurut BRI,
bila tanpa satelit milik sendiri, untuk melayani nasabah “wong cilik”, setiap
tahunnya mesti dikeluarkan Rp500 sampai Rp600 miliar untuk sewa jaringan
telekomunikasi. Dengan BRIsat, BRI tidak perlu mengeluarkan biaya sebesar itu
lagi. Jadi, investasi untuk BRIsat bakal cepat kembali. Namun selain mahal,
bisnis satelit itu rumit. Misalnya untuk mendapatkan slot satelit atau posisi
orbitnya, mengurusnya bisa menghabiskan waktu sampai 7-8 tahun.
Lamanya waktu
karena kita mesti berunding dan berkoordinasi dengan banyak negara. Mekanisme
soal ini diatur oleh International Telecommunication Union, sebuah badan
khusus yang bernaung di bawah PBB. Meski begitu, dengan kondisi geografis
yang meliputi puluhan ribu pulau, dipisahkan oleh selat dan lautan, serta
konturnya yang berbukit-bukit, juga gunung, jaringan telekomunikasi berbasis
satelit memang lebih cocok bagi Indonesia. Bandingkan kalau kita memakai
jaringan serat optik. Pasti membutuhkan waktu lebih lama untuk menggelar
kabelnya dan menanamnya di bawah permukaan tanah atau di dasar laut.
Tiga Fenomena
Baiklah, saya
tak ingin membahas terlalu teknis soal ini. Kali ini saya ingin mengajak Anda
untuk membahas dampaknya, terutama dari perspektif industri keuangan dan
perbankan. Di negeri ini selama beberapa tahun belakangan, kita menyaksikan betapa
teknologi telah mengubah gaya hidup dan mendisrupsi kemapanan dari beragam
bidang usaha. Di bisnis transportasi, hadirnya taksi dan ojek online telah
mengubah peta bisnis transportasi darat.
Banyak
perusahaan transportasi yang merasa bisnisnya sudah mapan, tiba-tiba
dijungkirbalikkan oleh pebisnis-pebisnis baru yang seakan-akan bukan
merupakan kompetitornya. Bagaimana bisa bisnis aplikasi online mengguncang
bisnis taksi atau ojek konvensional, juga bisnis angkot? Kenyataannya itu
terjadi! Di industri hiburan, hadirnya aplikasi yang memungkinkan kita untuk
mengunduh musik secara online dan gratis betul-betul memukul bisnis musik.
Kita
menyaksikan sendiri satu per satu toko-toko kaset dan CD menutup usahanya.
Begitu pula adanya berbagai situs dan aplikasi yang memungkinkan kita
men-download film secara cuma-cuma, membuat bisnis penjualan DVD hanya
tinggal kenangan. Lalu, hadirnya buku-buku dan media digital membuat sejumlah
penerbitan cemas dan bahkan banyak yang sudah memutuskan menutup usaha atau beralih
ke media digital.
Hal serupa
sudah dan terus terjadi di industri keuangan. Kita bisa melihat beberapa
potretnya. Pertama, yang paling mudah adalah melihat dari hadirnya
perusahaan-perusahaan teknologi finansial atau tekfin. Mungkin dua tahun
silam tidak banyak perusahaan tekfin yang kita kenal. Namun memasuki tahun
2016, setidak-tidaknya sudah ada 157 perusahaan yang bergerak dalam bisnis
ini dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
Anda tahu,
fenomena gunung es mungkin saja terjadi dalam bisnis ini. Artinya jumlah
perusahaan yang belum terdaftar mungkin jauh lebih banyak dibandingkan yang
terdaftar. Kedua, kita bisa melihatnya kian meluasnya lingkup layanan bisnis
tekfin. Kalau dulu mungkin tekfin hanya melayani sistem pembayaran secara
online atau sebagai payment gateway, kini cakupan usahanya kian meluas.
Ada pembiayaan
gotong royong (crowd funding), pinjaman, bisnis agregator, pembayaran,
pendanaan personal, dan lain-lain. Ketiga, kita bisa melihat dari nilai
transaksinya. Ini baik dari jasa pembayaran digital, pendanaan bisnis, atau
personal loan. Angkanya juga terus naik. Menurut data Statista, selama tahun
2015 nilainya masih USD12,05 miliar dan setahun kemudian naik hampir 25%
menjadi USD15,02 miliar.
Untuk tahun
ini diperkirakan nilai bisnis tekfin tersebut bakal menjadi USD18,65 miliar
atau tumbuh 24%. Jadi, kalau merujuk pada data tersebut, hadirnya
bisnisbisnis startup ternyata mampu mengubah cara-cara masyarakat dalam
melakukan pembayaran, mengirimkan uang, memperoleh pendanaan atau pinjaman,
dan bahkan berinvestasi. Dan, itu semua terjadi dalam waktu yang relatif
singkat, yakni selama dua-tiga tahun belakangan.
Ciri Disrupsi
Bagaimana itu
bisa terjadi? Semuanya bermula dari adanya gap, kesenjangan. Ada gap
masyarakat yang membutuhkan dana dengan kemampuan perbankan dalam memasok
pinjaman. Ini bukan semata soal dananya, melainkan juga regulasinya. Misalnya
regulasi soal agunan. Lalu, hadirnya teknologi yang menawarkan kemudahan.
Dengan adanya
smartphone, layanan perbankan seakan berada dalam genggaman. Ini membuat
masyarakat, kalau merujuk ungkapan pendiri Microsoft Bill Gates, tak lagi
membutuhkan bank kendati sistem perbankan tetap dibutuhkan. Dengan adanya
teknologi, masyarakat dapat dengan mudah memperolehnya melalui peerto- peer
lending dan lebih murah. Ini aplikasinya yang mempertemukan pemilik dana
dengan mereka yang membutuhkan pinjaman.
Alhasil,
rantai transaksi jadi semakin pendek, biaya transaksi menjadi semakin murah,
arus informasi dan arus dana pun mengalir semakin cepat, serta pilihan
bertambah banyak. Itu semua adalah ciri-ciri disrupsi.
Kini dengan hadirnya layanan komunikasi yang berbasis satelit,
akses komunikasi ke daerah-daerah terpencil kian terbuka. Saya yakin
disrupsi akan semakin meluas. Maka itu, saya berharap perbankan kita
betulbetul menata dan menyiapkan diri untuk menghadapi disrupsi yang bakal
dimotori oleh perusahaan-perusahaan tekfin. Jangan salah antisipasi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar