Rencana
Aksi Bank Sistemik
Haryo Kuncoro ; Direktur Riset The Socio-Economic &
Educational Business Institute (SEEBI) Jakarta; Staf Pengajar Fakultas
Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS, 22 April 2017
Industri
perbankan Indonesia terus bertransformasi. Otoritas Jasa Keuangan, awal April
lalu, menerbitkan tiga paket peraturan sebagai turunan atas UU Nomor 9 Tahun
2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Paket pertama
perihal kriteria bank sistemik ke dalam penetapan status pengawasan normal,
pengawasan intensif, dan pengawasan khusus. Aturan kedua mengenai syarat dan
mekanisme pendirian bank perantara (bridge bank) sebagai penyel kewajiban bagi bank sistemik memiliki rencana aksi atau
recovery plan. Rencana aksi semacam ini perlu dilakukan oleh bank sistemik
sebagai pedoman guna mencegah dan mengatasi permasalahan keuangan yang
mungkin terjadi di kemudian hari.
Jika
diperbandingkan, dua aturan yang disebut pertama cenderung bersifat kuratif
(eksekusi tindakan penyelamatan), sementara aturan yang ketiga lebih
bernuansa preventif. Alhasil, pencegahan risiko sistemik mestinya tidak hanya
dikenakan atas bank sistemik, tetapi juga bank nonsistemik yang sudah
dianggap "sehat".
Problema bank
sistemik niscaya membawa ingatan pada krisis ekonomi 1997/1998 dan krisis
finansial 2008. Penyelamatan 16 bank pada 1998, misalnya, tepat dilakukan
pada saat krisis moneter sedang terjadi. Akibatnya, biaya yang dikeluarkan
sangat mahal hingga 30 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Kontras dengan
dua kasus di atas, aturan bank sistemik dibuat saat situasi sedang
"normal" sehingga suasana batinnya juga berbeda. Rencana aksi ini
diistilahkan sebagai "mengobati diri sendiri". Penyelesaian bank bermasalah
berasal dari dalam alih-alih dari luar. Artinya, tidak ada lagi bail out yang
memakai dana APBN, tetapi bail in.
Dengan
ketentuan baru ini, persoalan yang potensial muncul dari rencana aksi adalah
informasi yang tidak simetri antara bank dan OJK. Sebagai prinsipal, nasabah
"menitipkan" dananya kepada bank. Nasabah mendelegasikan
kewenangannya kepada OJK untuk mengawasi keamanan pemutaran dana yang
dilakukan oleh bank.
Sebagai agen,
bank adalah pihak yang paling tahu tentang kondisi dirinya. Di sisi lain, OJK
atau nasabah memiliki informasi yang kurang lengkap. Informasi OJK atas
kemungkinan bank gagal menjalankan fungsi intermediasi hanya sebatas pada
rencana aksi yang diserahkan oleh bank.
Informasi yang
tidak simetri membuka peluang bagi pihak yang memiliki kelebihan informasi
untuk melakukan moral hazard. Moral hazard ditandai perilaku sembrono yang
cenderung berani menanggung risiko berlebih tanpa perhitungan yang mendalam
berdasarkan analisis manfaat dan biaya.
Konsekuensi
lanjut dari ketidakseimbangan informasi ini masing-masing bertindak atas
kepentingannya sendiri. Kepentingan OJK adalah optimalisasi fungsi pengawasan
demi mengamankan dana nasabah. Dalam pandangan OJK, ketentuan rencana aksi
berkorelasi kuat dengan keamanan dana nasabah.
Akibatnya,
yang dilakukan OJK bukan optimalisasi, tetapi maksimalisasi fungsi
pengawasan. Maksimalisasi fungsi pengawasan dilakukan dengan menetapkan
berbagai macam regulasi yang sangat ketat sedemikian rupa sehingga fungsi
pengawasan OJK menjadi jauh lebih ringan, sementara fungsi proteksi
dikembalikan pada bank.
Persoalannya,
fungsi pengawasan dan perlindungan dua hal yang berbeda. Pengawasan adalah
output, sementara perlindungan terhadap ekses pengawasan adalah outcome.
Alhasil, besarnya fungsi pengawasan belum tentu linier dengan tingginya
probabilitas kegagalan sebuah bank.
Ubah paradigma
Dalam
perspektif yang lebih luas, interaksi antara OJK dan bank juga dapat
dianalogikan ke dalam adverse selection. Jika satu bank tidak mengungkap
profil risiko sistemiknya secara komprehensif, bisa menjadi dorongan bagi
bank-bank lain untuk melakukan hal yang sama.
Karena itu,
pihak yang paling dirugikan adalah bank yang senantiasa menerapkan prinsip
kehati-hatian dalam pengelolaan fungsi intermediasi. Bukan tidak mungkin bank
tipikal ini akan terkena efek ikut arus untuk mengungkap rencana aksi pada
level minimal yang secara normatif bisa dijangkau.
Jika ini yang
terjadi, dokumen rencana aksi gagal sebagai signaling atas kualitas kesiapan
bank dalam mencegah dan menanggulangi risiko sistemik. Bank yang sehat akan
keluar dari pasar dan yang tertinggal di industri perbankan hanya bank-bank
yang rapuh. Pada akhirnya, kepercayaan nasabah luntur dan pasar finansial
akan kolaps.
Imbas
ketidakseimbangan informasi berlanjut pada ketidakseimbangan kapabilitas.
Sementara bank bisa bermanuver di pasar derivatif melalui berbagai rekayasa
finansial (financial engineering), ruang gerak pengawasan OJK masih terbatas.
Berbagai kasus investasi bodong yang kerap terjadi belakangan seakan menjadi
justifikasinya.
Hal ini
terjadi lantaran OJK tidak dibantu oleh lembaga dengan kapasitas yang
memadai. Dengan keterbatasan yang ada, OJK kemungkinan mengambil jalan pintas
yang bersifat represif. Konsekuensinya, jumlah bank yang dilikuidasi
dijadikan indikator keberhasilan kinerja OJK alih-alih kuantitas bank yang
berhasil disehatkan.
Dengan
konfigurasi skenario di atas, OJK mesti jeli mengantisipasinya sejak dini.
Konkretnya, OJK perlu mengelola hubungan baik dengan pelaku industri perbankan
nasional dengan tujuan memberi pemahaman bahwa peraturan OJK adalah sarana
menjaga stabilitas dan keberlanjutan sistem perbankan.
Demikian juga,
OJK harus mampu mereduksi hasrat berperilaku oportunis yang memanfaatkan
aturan untuk mencari keuntungan atau pihak lain yang berbeda penafsiran
sehingga efektivitas aturan menjauh dari sasaran mula-mula. Intinya harus ada
perubahan paradigma bagaimana risiko sistemik harus diselesaikan.
Alhasil, rencana aksi ini diharapkan bisa menjaga kepercayaan
nasabah terhadap industri perbankan. Dalam jangka panjang, ekspektasi atas
postur industri perbankan Indonesia yang sehat, mandiri, dan kompetitif,
serta berperan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional dapat segera
terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar