Guru,
Keguruan dan Ijazah
Khairil Azhar ; Peneliti Pendidikan pada Yayasan Sukma,
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 25 April 2017
PADA
13 April 2017, laman Universitas Tampere, Finlandia, memuat berita pendek
mengenai guru dan pendidikan di RI. Karena dipandang ‘mengejutkan’ dan ‘tidak
wajar’ dari sisi diplomasi, KBRI di Finlandia meminta penjelasan mengenai
berita itu. Sebagai guru yang menjadi narasumber dalam berita itu, saya
melihat dua hal yang diperkarakan. Pertama pernyataan saya bahwa 'mungkin
saja untuk membeli ijazah magister (di Indonesia) dan bahwa menjadi guru
'(boleh jadi) bukan pilihan utama atau mungkin saja sebuah kebetulan (di
Indonesia)'.
Cermin retak
Dalam
hal ini, sebagai representasi pemerintah dan negara, KBRI dengan bijak telah
menunaikan tugasnya. Berlandaskan kesadaran bahwa jual-beli ijazah praktik
yang dikutuk di seluruh dunia, pemerintah RI telah berusaha
mengadiministrasikan pemberantasannya. Ada dua pepatah lama yang membuat saya
terus bertanya-tanya dalam hati, terutama dari segi etika kebangsaan, karena
pernyataan saya itu dikutip dan disampaikan di negeri orang. Pertama 'buruk
rupa cermin dibelah' dan kedua 'menepuk air di dulang, tepercik muka
sendiri'. Namun, renungan metakognitif itu bermuara pada kesadaran yang
mungkin lebih menggelisahkan banyak orang. Jika pendidikan di RI hendak
dimajukan, setiap perkara publik harus dipublikkan, sebagai prasyarat tak
terelakkan dari demokrasi. Menyembunyikan luka atau menutup borok merupakan
tindakan eskapis; ketika membuka, membersihkan, dan mengobatinya merupakan
laku kuratif.
Tidak
pula saya menemukan bahwa pernyataan sadar saya tentang pendidikan di RI
karena gejala masokisme atau abnormalitas psikologis lainnya. Sebaliknya, itu
merupakan buah pengalaman menjadi guru dalam jangka waktu cukup panjang.
Kesimpulan reflektif saya bahwa perkara guru dan keguruan belum berhasil
diurus secara benar tetap sama.
Wawancara
dengan jurnalis Universitas Tampere, terlepas dari kecerdasan jurnalistik
atau perkara etis dalam menuliskan, pada intinya bukan hendak membelah cermin
atau menepuk air di dulang. Justru, supaya rupa bisa dilihat, becermin
hendaklah dalam terang. Yang saya saksikan dan alami, pendidikan Finlandia
merupakan salah satu sumber terang.
Mungkin
lebih mudah dan menarik jika kita membacanya menggunakan alegori Plato
tentang manusia gua. Dalam kiasan ini, konon, sejumlah orang terjebak selama
bertahun-tahun dalam dilema kegelapan. Karena ketiadaan cahaya yang memadai,
mereka sampai pada reifikasi keyakinan bahwa apa yang bisa mereka lihat,
seperti bayang-bayang, merupakan kebenaran. Teramat sulit bagi mereka untuk
membayangkan adanya jenis kebenaran lain, apalagi menerimanya. Ketika ada di
antara mereka yang sampai pada ikhtiar mencari kebenaran yang lebih hakiki
atau sedemikian rupa terpapar pada kenyataan yang berbeda dari apa yang sudah
mengeras dalam benak mereka, ketegangan pun tak terelakkan: apakah akan
menerima ‘kebenaran baru’ dan bermandikan cahaya atau menolak keluar gua dan
mengutuk cahaya sebagai representasi kesesatan?
Guru mekanis
Secara
akademis, berefleksi dan meriset merupakan cara becermin sebelum memperbaiki
diri. Akal budi yang terbuka merupakan cahaya yang memungkinkan cermin bisa
dipakai. Terkait pendidikan RI, harus diakui kita ternyata tak cukup becermin
dan gagap dengan silau cahaya.
Dalam
perkara guru dan keguruan, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen lebih banyak mengurus soal legalitas
dan administrasi. Tekanan utama pada standar dan standardisasi, yakni sarat
dengan gagasan ‘apa’ dan ‘bagaimana’, dan miskin gagasan ‘kenapa’. Sebagai
contoh, mari kita lihat Pasal 1 UU No 14/2005 yang berisi berbagai definisi
istilah kunci terkait guru dan keguruan. Ada kata 'profesional',
'kualifikasi', 'kompetensi', dan 'sertifikasi' dan/atau 'sertifikat'. Selain
kata profesional, semua konsep ini secara substansi berhubungan hal mekanis,
mekanisasi, dan tentu 'mesin'.
Tetapi,
konsep profesional pun sebenarnya diartikan mekanis, karena "profesional
ialah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan
yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan
profesi" (ayat 4). Kesimpulan saya berdasarkan pembacaan terhadap produk
kebijakan pendidikan ini dan bisa dibuktikan lebih jauh dalam riset lebih
mendalam, bahwa guru diposisikan sebagai ‘mesin’ pendidikan. Jika demikian
halnya, istilah ‘pendidik’ dan ‘pendidikan’ yang diklaim lebih humanis
daripada istilah ‘pengajar’ atau ‘pengajaran’ masih bersifat retoris, belum
esensial. Dalam posisi yang mekanis itu, para guru sebenarnya seperti manusia
gua yang dikondisikan untuk menerima standar dan standardisasi sebagai simpul
kebenaran. Mendidik bukanlah atau tidak perlu sampai menjadi perkara ‘kenapa’,
sebagai sesuatu yang membumi dalam kesadaran batiniah dan sosiokultural.
Lebih lanjut, sebagai alat untuk memastikan standardisasi, pemerintah
memperkenankan lembaga pendidikan guru menggunakan instrumen high-stake test
dan menerbitkan ijazah. Niatnya tentu saja supaya terlahir guru-guru yang
cakap dalam pekerjaannya.
Namun,
kedua alat ini hakikinya juga ‘mekanistis’. Secara kuantitatif, seseorang
yang berijazah guru boleh jadi dipandang layak untuk bekerja sebagai guru.
Akan tetapi, secara kualitatif belum tentu demikian. Di sini makna anekdotal
‘membeli ijazah’ menjadi mungkin terjadi. Pembuktian di lapangan justru akan
lebih sahih. Patokan yang lebih terterima, sejauh yang saya pahami dari
dialog dengan cukup banyak guru dan dosen di Finlandia, ialah menjadi guru
berakar dari pandangan hidup. Orang yang bekerja karena panggilan nurani
tidak melulu bertindak demi kepentingan pribadi (self-interest). Sebaliknya,
tindakan pribadi maupun sosialnya juga berdasar pada pertimbangan adanya
‘yang lain’ atau altruisme autentik dalam sebuah konteks sosial. Di Inggris,
Julian LeGrand (2003), bekas penasihat mantan PM Inggris, Tony Blair,
mengemukakan betapa pentingnya konsep self-interest dan altruisme bersanding
di hati para pelayan publik, termasuk di sekolah-sekolah.
Sebagai
salah satu solusi, oleh karena itu, ada kata kunci penting PP No 19/2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 29 ayat (1), bahwa pendidik adalah
agen pembelajaran. Terlepas dari kenapa konsep agensi ini muncul, pandangan
bahwa guru adalah agen pembelajaran, hemat saya, sangatlah tepat dan jalan
keluar dari kutukan standardisasi. Logikanya: guru yang menjadi agen
pembelajaran juga agen dirinya sendiri. Dalam hal ini, profesi keguruan bukan
saja pilihan, tetapi ia berakar dalam pandangan hidup. Seperti dalam konsep
agensi kemanusiaan dikemukakan Anthony Giddens (1984), Margaret Archer (2000)
dan Hanan Alexander (2005), apa yang dilakukan manusia dalam tindakannya
bukanlah pilihan serampangan. Tindakan berakar dari yang disebut kebermaknaan,
yakni dari mana kehendak untuk bertindak bertumbuh. Supaya tumbuh, agensi
kemanusiaan mensyaratkan kebebasan, peluang untuk melakukan penalaran moral
dan berekspresi, dan pembelajaran yang memungkinkan terbangunnya kemampuan
penilaian diri. Ini, berkebalikan dari standardisasi mekanis seperti dalam
sistem pendidikan kita.
Dalam
contoh yang sederhana bisa dilihat terkait dengan bagaimana sikap bertanggung
jawab pada seorang guru mungkin muncul. Dalam kajian etika,
kebertanggungjawaban tak mungkin dibangun dalam keterkungkungan, karena
bertanggung jawab itu merupakan wujud dari adanya kebebasan, yakni kebebasan
untuk bertanggung jawab. Dalam model pendidikan guru standaris-mekanis,
sebaliknya, kebertanggungjawaban merupakan perkara menghapal definisi atau
apa kata UU tentang artinya. Padahal, definisi atau penjelasan resmi bersifat
diskursif, bukan karena pemaknaan eksistensial, dan cenderung mengandung
paksaan normatif.
Sebagai
penutup, hemat saya, cacat dan dampak dari kebijakan publik mengenai guru, keguruan,
dan ijazah bukanlah hal tabu dibicarakan. Daripada memperkarakan sisi politis
dan bisnisnya, berita di laman Universitas Tampere hendaklah diambil sebagai
pijakan bagi deliberasi yang terbuka, faktual dan konstruktif. Wallaahu a’lam bishshawaab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar