50
Tahun Independensi ASEAN
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti Indonesian Institute for
Social Research and Development, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 28 April 2017
PERTEMUAN
puncak para pemimpin ASEAN yang akan dilaksanakan di Manila, Filipina, pada
29 April 2017 sekaligus akan menjadi perayaan emas 50 tahun organisasi
kawasan itu eksis dalam peta politik regional dan di tingkat internasional.
Kesepuluh anggota ASEAN sangat berbeda satu sama lain, mulai perbedaan dari
segi kemajuan ekonomi, sosial-budaya, hingga perbedaan sistem politik.
Persatuan dan netralitas ASEAN harus terus dipertahankan. Negara anggota
harus berkomitmen tinggi untuk menjaga kesatuan dan netralitas. Tanpa adanya
kedua prinsip itu, tidak akan terjadi ASEAN yang tetap eksis hingga detik
ini. Dominasi global yang datang dari arah Barat seperti Amerika Serikat (AS)
dan sekutu mereka, serta dari kekuatan ekonomi baru seperti Tiongkok, Jepang,
dan kekuatan ekonomi dari Timur, bisa saja membuat ASEAN goyah.
Mencermati
konteks independensi organisasi di kancah persaingan serta dinamika global
menjadi penting, baik dalam iklim yang keruh karena konflik atau ketegangan
global maupun dalam iklim yang damai. Kata independensi tentu adalah
kuncinya, sebab dalam teori diplomasi (Alatas, 2009) dikenal dengan strategi
tidak boleh mengumbar atau terlalu eklektik dengan kepentingan-kepentingan
asing. Asas saling memanfaatkan serta saling menguntungkan (mutualism)
merupakan hal signifikan ketika sebuah organisasi kawasan atau sebuah negara
membuka diri dalam kaitan pergaulan internasional. Terlebih gagasan ASEAN
muncul justru untuk memperkuat integritas kedaulatan ekonomi, politik,
sosial, dan budaya di kawasan Asia Tenggara.
Pada masa Bung
Karno, Harold Crouch (1985) menyebutnya sebagai tokoh yang dengan lantang
menyerukan perlunya independensi sebuah bangsa, yang tidak terjajah oleh
kepentingan-kepentingan negara-negara adidaya. Dalam karya Ideology in
Indonesian, Soekarno's Indonesian Revolution, Donald Weatherbee (1980) mengutip
cita-cita Bung Karno yang menyerukan Indonesia dan negara-negara Asia
Tenggara terbebas dari segala cengkeraman dominasi asing dan penindasan
kultural yang menjadi penghambat tujuan keadilan ekonomi, sosial, dan
politik. Organisasi ASEAN yang didirikan sejak 1967, saat itu Indonesia telah
di bawah kekuasaan Soeharto, mestinya harus kembali pada sejarah dan
cita-citanya. Sekilas dipandang dari sisi pertahanan kawasan Asia Tenggara
akan tiba masanya yang negara-negara ASEAN akan bisa memosisikan diri terhadap
masa depan sendiri tanpa campur tangan asing yang sering datang dan
memengaruhi perkembangan kawasan.
Di sisi lain,
selama ini ASEAN mampu untuk meredam berbagai gejolak yang akan timbul pada
setiap negara yang memiliki potensi konflik. Ini setidaknya membuktikan bahwa
anggota ASEAN boleh dikatakan berhasil memelihara perdamaian dan keamanan
regional. Namun, negara-negara anggotanya kini ditantang dengan gejolak
kontekstual dalam era negara-bangsa. Jika pada dekade 60-an tipologi
masyarakat di negara-negara berkembang sangat ideologis, kini stigma itu
tentunya sudah mengalami transformasi yang cukup signifikan. Sebagaimana
diketahui, sejak Perang Dingin berakhir, peta politik internasional telah
mengalami perubahan yang cukup fundamental, yaitu berubahnya sistem
internasional yang semula bipolar menjadi multipolar di bawah kendali
Pax-Americana.
Bipolaritas
dalam kerangka politik internasional ketika itu diwakili dua negara adidaya,
AS dan Uni Soviet, yang bertentangan. (Fortuna, 33: 1997). Dengan runtuhnya
Uni Soviet beserta ideologi politik mereka pasca-Perang Dingin, AS secara
otomatis menjadi satu-satunya negara adidaya. Namun, munculnya kekuatan
ekonomi dari Timur di kawasan Asia seperti Tiongkok dan Jepang juga patut
menjadi perhatian serius. Belum lagi gelombang kebudayaan yang secara semilir
telah direduksi sebagian besar masyarakat dunia lewat patron media. Semua
arus itu telah melunturkan 'zaman ideologi' atau alih-alih segala ideologi
yang berkembang dalam pasar negara-bangsa, kini harus mulai bersiap-siap
gulung tikar.
Azyumardi Azra
(2004) bahkan pernah menggagas supaya negara-bangsa seperti Indonesia untuk
merejuvenasi ideologi Pancasila sebagai identitas bangsa karena keberadaannya
patut dipertanyakan. Tantangan negara-negara ASEAN secara keseluruhan
dihadapkan dengan persoalan yang sama dalam menghadapi dominasi global. ASEAN
semestinya mencari strategi untuk keluar dari segala dominasi. Ketika
negara-negara ASEAN kini tengah dihadapkan dengan segala persoalan dominasi
global, pertanyaannya ialah arah kebijakan seperti apa yang seharusnya
diregulasikan? Apakah pola kooperatif atau nonkooperatif? Dalam sejarahnya,
atau seperti idealisme para pendirinya, negara-negara ASEAN sesungguhnya
punya pantangan tersendiri jika harus berkooperasi dengan dominasi global.
Sedari awal organisasi ASEAN bersifat independen atau politik
bebas aktif. Karena memang tujuan semula ingin membuat blok yang moderat,
tanpa harus terlibat dengan blok-blok raksasa yang bisa menghegemoni
eksistensi mereka. Setidaknya, negara-negara ASEAN hendaknya menggawangi
cita-cita, idealisme para founding fathers supaya tidak kebobolan terjebak
dengan dominasi kekuatan global. Jika idealisme para founding fathers
dilanggar, jelas berakhir harapan untuk menciptakan ekuilibritas tatanan
negara-bangsa di kawasan Asia Tenggara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar