Terima
Kasih Guruku
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 21
April 2017
Dalam berbagai
pelatihan guru, saya sering kali mengajak peserta untuk mengingat dan mengenang
sosok-sosok guru yang paling mengesankan dan berjasa meraih kesuksesan hidup
kita hari ini. Lalu, saya minta mereka menyebut nama dan pada strata sekolah
apa, serta kelas berapa. Biasanya peserta terbagi tiga kategori. Ada yang
jawabannya mengambang, tidak memiliki ingatan, dan kesan kuat terhadap
guru-gurunya. Lalu ada yang bisa menyebut beberapa nama dan kenangan kuat
yang masih terekam. Ada lagi yang bisa menceritakan lebih detail, lebih
banyak nama guru yang diingat dan mengapa sosok-sosok guru itu begitu terekam
kuat dalam ingatan.
Apakah
kelebihan dan keunikan mereka sehingga pantas ber terima kasih dan mendoakan
mereka. Setelah selesai berbagi cerita tentang guru, lalu saya lontarkan
pertanyaan; andaikan murid-murid Anda disurvei dibagi pertanyaan, apa kesan
mereka tentang Anda, apakah kira-kira jawaban mereka? Jangan-jangan tak
berbekas di hati para siswa. Jadi, sebaiknya pimpinan sekolah perlu membuat
evaluasi tahunan untuk memotret respons murid terhadap guru dan sekolahnya.
Ini penting dilakukan
untuk peningkatan kualitas guru-guru, karena fase dan proses sekolah yang
dijalani siswa dari tahun ke tahun ibarat menata batu bata bagi bangunan
kepribadian seseorang yang akan berpengaruh kuat pada perjalanan hidupnya
sampai tua. Jangan sampai bibit unggul siswa malah tidak berkembang karena
gurunya yang salah asuh. Saya merasa beruntung bertemu guru dan dosen yang
mengukirkan kesan kuat dalam memoriku.
Sejak sekolah
dasar sampai perguruan tinggi, saya masih ingat bahkan hatiku mencatat siapa
guru dan dosen yang berjasa dan punya andil membentuk diriku. Ketika SD,
dulunya namanya SR atau sekolah rakyat, saya pernah malas bersekolah. Protes
pada kondisi keluarga yang tidak nyaman. Ibuku meninggal ketika umurku masuk
sembilan tahun. Entah selang berapa lama, ayahku kawin lagi, dan tidak lama
ibu tiriku meninggal. Lalu, ayahku kawin lagi untuk yang ketiga kali. Saya
masih ingat waktu itu populer lagu ibu tiri yang isinya cukup menyayat dan
menyudutkan posisi ibu tiri.
Setelah besar,
saya baru sadar bahwa lagu itu provokatif, tidak mendidik. Tetapi yang pasti,
dulu saya tidak betah di rumah karena kehilangan gravitasi seorang ibu
kandung yang kata tetangga sangat memanjakan saya. Ketika saya enggan
sekolah, Pak Suparmin, guruku kelas tiga SD, datang ke rumah membujuk agar
saya bersekolah lagi. Dia orangnya lembut, wajahnya selalu senyum, dan sabar
menghadapi anak didik. Ada lagi guru-guruku lain di SD yang semuanya baik,
melakukan pendekatan pribadi pada muridnya, yaitu Bu Ambar, Pak Suparman, Pak
Jumali, Bu Romlah yang ke semuanya menumbuhkan benih imajinasi dan idealisasi
betapa mulianya menjadi guru.
Mereka membuka
kan jendela dunia masa depan bagi anak-anak kampung seperti saya, bahwa dunia
itu luas. Lanskap kehidupan tidak selebar kampungku. Mungkin karena pengaruh
guru-guruku itu sejak kecil saya ingin jadi guru, dan sekarang sudah melebihi
target, secara administratif sebagai guru besar. Ketika pak guru atau bu guru
datang ke sekolah, anak-anak berjejer berdiri menyambut sambil mengucapkan: Selamat
pagi Pak Guru/Bu Guru. Sepeda nya disambut oleh siswa, lalu disandarkan di
tempat parkir sepeda, tasnya dibawakan ke ruang kelas.
Terjalin
hubungan batin antara guru dan murid. Pak Guru dan Bu Guru menjadi orang tua
kedua. Kenangan ini mungkin saja subjektif. Namun, itu semua tak pernah
hilang dari memori saya. Bahkan, sudut-sudut sekolahpun masih ingat dan bisa
saya ceritakan kembali. Ketika masuk pesantren, hubungan batin terjalin tidak
saja antara kiai, guru dan murid/santri, tetapi juga dengan sesama santri
karena setiap hari tinggal ber sama selama 24 jam. Kata murid dan santri
lebih tepat diterjemahkan learner atau pelajar karena keduanya berkonotasi
sebagai subjek yang aktif, yang mencintai ilmu, yang berpusat di pesantren.
Mereka merupakan komunitas pembelajar (learning community). Secara etimologis, pesantren adalah tempat
berkumpulnya orang-orang yang berbudi luhur dan mencintai ilmu pengetahuan di
bawah asuhan seorang guru, dan para murid itu disebut santri. Baik kata
pesantren, santri, asrama, guru, kesemuanya itu berasal dari tradisi Hindu.
Ini juga menunjukkan bahwa di Indonesia dalam beberapa aspek terjadi
kesinambungan antara tradisi Hindu dan tradisi Islam. Sebuah paham keislaman
yang inklusif. Yang merangkul, bukan memukul. Yang mendekatkan, bukan
menjauhkan dan memisahkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar