Keberagaman
dan Persatuan
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Senior Advisor, Atma Jaya
Institute of Public Policy
|
KORAN
SINDO, 19
April 2017
Pilkada DKI Jakarta 2017 seolah-olah membuat kata
”keberagaman” dan ”persatuan” sebagai kata yang terpisah, bahkan tidak
sedikit yang menganggapnya bertolak belakang. Kedua kata ini kebetulan
menjadi tagline dari masing-masing pasangan calon gubernur DKI Jakarta
sehingga mungkin untuk beberapa saat, kedua kata itu ”harus” bercerai dulu.
Dan semoga setelah pesta demokrasi hari ini selesai, kedua kata itu dapat
menyatu lagi.
Bagi saya pribadi, kedua kata tersebut adalah satu
rangkaian kata yang penting dan tidak dapat dipisahkan. Konteksnya terutama
dalam peranan pemerintah daerah menjamin kesejahteraan bagi warganya dengan
berdiplomasi di panggung internasional.
Pada masa depan seiring dengan terintegrasinya pasar
dunia, peran negara di tingkat pusat semakin memudar dan mungkin hanya
terbatas menetapkan kebijakan politik luar negeri. Sementara, proses
berkegiatan dan berdiplomasi justru lebih banyak harus dilakukan pemerintah
lokal, khususnya dalam hal menarik investasi dan membiayai pembangunan. Oleh
sebab itu, siapa pun pasangan calon gubernur yang mendapat suara terbanyak pada
hari ini memiliki tanggung jawab untuk merawat keberagaman dan persatuan itu
sebagai modal sosial untuk pembangunan daerah.
Tanggung jawab untuk merawat itu tidak mudah karena hampir
segala aspek masyarakat telah terpapar risiko-risiko negatif dari ekonomi
pasar yang semakin terintegrasi secara global. Urusan pembangunan jalan,
waduk, rel kereta, jaringan listrik misalnya, kini sudah ada rencana
integrasinya di ASEAN dan mitra-mitra kerja sama dari pemerintah maupun unsur
bisnis negara-negara asing. Untuk penyediaan lapangan kerja, investasi,
penjualan produk dan jasa, layanan kesehatan, pendidikan, sampai pengiriman
tenaga kerja Indonesia (TKI) pun akan berkaitan dengan negosiasi negara lain.
Kalaupun di level kementerian ada negosiasi antarnegara,
implementasinya tetap membutuhkan komunikasi dan kerja sama dengan pemerintah
daerah. Oleh sebab itu, Rogier dan Mellissen (2007) memetakan dua kelompok
non-state actors yang tumbuh seiring dengan proses globalisasi yang mulai
berkembang sejak Perang Dunia II sebagai pemain baru dalam politik luar
negeri. Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki non-territorial
character seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan perusahaan multinasional
(MNC).
Dan kelompok kedua yang memiliki territorial character seperti negara-negara bagian dalam sistem
federal, pemerintahan daerah hingga bagian terkecil sebuah kota. Negara,
dalam hal ini pemerintah pusat, memiliki kekuasaan terbatas yang dapat
mengintervensi pengelolaan kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah sebagai
territorial-non state actors. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) seminggu
lalu yang membatasi kewenangan Kementerian Dalam Negeri dalam mengubah
peraturan daerah adalah salah satu contohnya. Perkembangan itu kemudian
memisahkan kebijakan politik luar negeri dari diplomasi.
Kebijakan politik luar negeri adalah tujuan-tujuan yang
ingin dicapai sebuah negara. Sementara, diplomasi adalah kelembagaan dan
proses ketika negara dan kelompok-kelompok non-negara mewakili dirinya dan
kepentingannya (Melissen dan Sharp, 2006:1). Terkait dengan definisi
tersebut, Rogier dan Mellissen mendefinisikan diplomasi pemerintah daerah
sebagai city diplomacy, yaitu kelembagaan dan proses di mana kota membangun
kerja sama dengan aktor lain di tataran internasional dengan tujuan mewakili
dirinya dan kepentingannya.
Peran penting pemerintah daerah dalam diplomasi dapat kita
lihat dari kasus kota-kota di China. Bueno, Wilson, dan kawan-kawan (2016)
melakukan penelitian tentang peran pemerintah daerah di China dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi dan juga memengaruhi kebijakan politik luar negeri secara
tidak langsung. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa pemerintah daerah yang
lebih terbuka atas investasi luar negeri dan mempersiapkan kotanya untuk
menampung investasi tersebut ternyata mendorong kotanya jauh lebih berkembang
daripada kota lainnya di China.
Pertumbuhan ekonomi China yang pesat juga ternyata lahir
dari perencanaan yang matang dan ambisius dari masing-masing pemerintah
daerah. Pemerintah daerah tidak hanya membantu menampung investasi, tetapi
juga memengaruhi kebijakan politik luar negeri China karena semakin meluasnya
jaringan kerja pemerintah daerah ke negara-negara lain seperti di Amerika Serikat
dan Eropa.
Salah satu bukti diplomasi pemerintah daerah di China
adalah hubungan mereka dengan negara-negara bagian di pemerintahan Federal
Amerika Serikat. Jumlah kantor perwakilan negara-negara bagian Amerika
Serikat di China lebih banyak dibandingkan dengan negara-negara lain. Rupanya
pemerintah daerah di China merespons keinginan negara-negara bagian Amerika
Serikat dengan sigap. Fungsi dari kantor-kantor perwakilan ini adalah untuk
menjaring investor asing dan mengidentifikasi peluang ekspor (Bueno 2012).
Pada tahun 2008, negara-negara bagian di AS punya 245 kantor di 34 negara dan
43 dari kantor-kantor tersebut ada di provinsi-provinsi di China.
Contoh lain adalah Kantor Provinsi Bidang Hubungan Luar
Negeri (the Provincial Office of Foreign Affairs alias POFA) di Kecamatan
Shanghai yang mengoordinasi kegiatan perdagangan dengan 61 sister cities dan sister
provinces di 47 negara, dan menerima kunjungan resmi dari 23 kepala negara
asing sepanjang tahun 2003 (Bueno, Lima, and Almeida, 2013).
Hal ini tidak hanya dilakukan China dengan negara-negara
maju.
Sepanjang 2012-2016, saya termasuk yang menyaksikan
sendiri betapa aktifnya pemerintah daerah dari China datang menawarkan
program-program kerja sama ke Indonesia, bukan hanya dengan kementerian,
tetapi juga dengan universitas dan unit bisnis. Kegiatannya pun tidak
sertamerta langsung terkait dengan investasi, tetapi mungkin karena Indonesia
dipandang lebih cocok sebagai target pasar, maka yang kerap saya lihat adalah
kegiatan pengenalan produk barang dan jasa, termasuk dari dunia pendidikan,
dari China.
Kembali ke pilkada kita. Jakarta dan China memiliki dua
karakter yang berbeda. Pemerintah daerah di China tidak memiliki partisipasi
demokrasi langsung seperti yang kita rasakan pada hari ini. Meluasnya
wewenang pemerintah daerah di China adalah hasil dari sistem desentralisasi
yang otoriter dan bukan desentralisasi otonomi seperti yang terjadi di
Indonesia. Sistem pemerintahan mereka tetap dikendalikan oleh Partai Komunis,
sementara di Indonesia melalui sistem pemilihan langsung. Artinya kita tidak
dapat 100% mencontek atau mengharapkan apa yang dilakukan pemerintah daerah
di China dapat dilakukan di Indonesia.
Pelajaran yang penting dari perkembangan dan agresifnya
kota-kota di China adalah pentingnya kestabilan ekonomi dan politik di dalam
kota. Pemda di China dapat menjelajahi dan membangun diplomasi dengan
kota-kota lain dari negara bagian di Amerika Serikat hingga Kalkuta di India
untuk dapat menarik investasi karena mereka dapat meyakinkan kota-kota di
China stabil dan kondusif untuk investasi.
Warga Jakarta perlu lebih kerja keras untuk dapat menarik
investasi dibandingkan warga di kota-kota China, terutama dalam jangka pendek
ini menjaga kota tetap damai dan sejuk. Ini sebuah tantangan, tetapi juga
sebuah peluang besar apabila kita dapat mengelola ketegangan dan keretakan
sosial yang terjadi selama proses kampanye pilkada. Jakarta dapat menjadi
contoh bagi provinsi lain di Indonesia dan juga kota-kota lain di luar negeri
yang memiliki karakter pluralis seperti kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar