Lawan
Kampanye Negatif Industri Sawit
Hamdhani ; Anggota Komisi IV DPR RI
|
MEDIA
INDONESIA, 26 April 2017
INDONESIA
perlu bekerja keras, ekstra keras, untuk melawan kampanye negatif tentang
industri kelapa sawit dengan segala turunannya. Apa yang sudah kita lakukan
jelas perlu sosialisasi, perlu kampanye masif, secara terus-menerus, tanpa
kenal lelah. Terutama karena serangan dari lawan bisnis sangat gencar. Yang
terbaru, Parlemen Eropa mengadopsi resolusi soal kelapa sawit, Selasa (4/4),
salah satunya mewajibkan sertifikasi tunggal untuk minyak sawit yang diekspor
ke Uni Eropa. Tujuannya menanggulangi dampak produksi minyak sawit yang
dianggap tidak berkelanjutan, tidak ramah lingkungan, terutama di Asia
Tenggara. Selain itu, resolusi tersebut mendesak agar minyak sawit tak
dimasukkan sebagai bahan baku untuk program biodiesel Uni Eropa pada 2020.
Resolusi berjudul Palm Oil and Deforestation of the Rainforests (Kelapa Sawit
dan Deforestasi Hutan Hujan) itu diajukan berdasar pada tudingan bahwa
pengembangan industri kelapa sawit penyebab utama deforestasi dan perubahan
cuaca.
Kita
mengutuk serangan terhadap industri sawit, yang kembali berulang itu. Jelas
Parlemen Eropa menunjukkan sikap tidak bersahabat dengan Indonesia, bahkan
cenderung menghina, selain menyinggung kedaulatan negara. Tuduhan bahwa sawit
ialah korupsi, eksploitasi pekerja anak, melanggar HAM, jelas ngawur dan
tidak bisa diterima. Untuk melawan segala kampanye buruk itu, Indonesia
membutuhkan public relation jempolan agar semua yang sudah dilakukan terbaca
dengan baik. Kita butuh diplomasi prima agar apa yang sudah dikerjakan juga
tersaji secara proporsional, setidaknya bisa melawan kampanye-kampanye
negatif bermotif persaingan ekonomi global.
Tidak berdasar
Mosi
Parlemen Eropa itu tidak beralasan karena tidak didasari fakta yang bisa
dipertanggungjawabkan. Saat ini, RI justru sedang melaksanakan praktik
sustainable management dalam pengelolaan sawit dan industri-industri land
based lainnya. Sama seperti orientasi Parlemen Eropa dan negara-negara lain
di dunia, Indonesia termasuk yang terdepan dalam upaya implementasi Paris
Agreement. Kita memiliki ratifikasi Paris Agreement itu serta berbagai
ratifikasi lainnya untuk langkah-langkah pembangunan berkelanjutan.
Asal
tahu saja. Sawit di RI merupakan industri besar, menyangkut hajat hidup
petani yang meliputi area tanam seluas 11,6 juta hektare. Sebanyak 41% di
antaranya tanaman petani atau small holders, dengan tenaga kerja dari usaha
hulu hingga hilir tidak kurang dari 16 juta orang petani dan tenaga kerja.
Di
luar itu, kontribusi Indonesia kepada dunia dalam hal lingkungan juga harus
diakui. Upaya-upaya untuk mengatasi kebakaran hutan, menata forest
governance, menata tata kelola gambut, menjaga keanekaragaman hayati, dan
menjaga habitat orang hutan, harimau, dan gajah merupakan kontribusi
Indonesia terhadap lingkungan global. Tentu saja tidak mudah melaksanakan
semua itu mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas. Ini jelas memerlukan
kerja keras, dan sikap pantang menyerah, yang membutuhkan sumber daya besar,
selain modal, juga pelibatan masyarakat secara luas.
Kegagalan pemerintah
Di
luar itu semua, apa boleh buat, lahirnya resolusi Parlemen Eropa itu juga
harus dilihat sebagai sebuah kegagalan pemerintah dalam meyakinkan pasar
internasional. Terutama, terkait komitmen dan progres pemerintah dalam
menyelesaikan berbagai persoalan mendasar tata kelola kebun sawit karena,
harus diakuik belum optimalnya upaya perlindungan hutan dan gambut dengan nol
deforestasi. Lihat saja. Isu korupsi masih mewarnai, antara lain dengan
adanya temuan KPK, sampai hari ini. Juga masih adanya pelanggaran HAM,
penghilangan hak masyarakat adat, dan lain-lain. Saat ini, pemerintah memang
menyatakan konsen dengan pembangunan berkelanjutan, tetapi diakui atau tidak,
masih banyak kebijakan kontradiktif dengan upaya perlindungan lingkungan dan
pengakuan hak masyarakat adat. Itulah yang harus terus dibenahi Pemerintah
RI.
Dalam
menyikapi laporan Parlemen Eropa itu, pemerintah harus lebih mengedepankan
cara-cara diplomasi kepada berbagai pihak. Khususnya, dalam negeri, termasuk
kepada organisasi masyarakat sipil, kalangan LSM. Jangan menggunakan
pendekatan konfrontatif karena akan semakin kontraproduktif dengan situasi
yang ada. Pemerintah sebaiknya terus mengonsolidasikan diri dengan berbagai
pihak dalam menggalang dukungan bagi minyak sawit berkelanjutan. Sembari
terus berkomitmen membenahi persoalan infrastruktur dan kapasitas
kelembagaan, serta sistem birokrasi yang masih buruk. Kepada para pelaku
usaha perkebunan sawit di Indonesia, agar senantiasa bekerja sebagaimana
mestinya, sesuai dengan aturan Indonesia, dan tidak perlu terpengaruh oleh
resolusi Parlemen Eropa ini. Di luar itu, civil society, para aktivis
lingkungan, mari melihat masalah ini secara jernih, agar nasib dan masa depan
petani sawit Indonesia tetap terjaga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar