Pilkada
dan Aktor Bayang-Bayang
Achmad Maulani ; Peneliti di Pusat Strategi dan Ketahanan
Universitas Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 20 April 2017
PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) secara langsung adalah
wujud mini bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional. Demikian argumen
Brian C Smith (1998:85) tentang proses demokratisasi di tingkat lokal.
Argumen itu tampak menemukan relevansinya dalam debut kontestasi pilkada
serentak yang tengah menemukan kegairahan di berbagai daerah. Kualitas
proses-proses politik di daerah dirancang serta dipertaruhkan dalam ajang
pilkada itu. Setidaknya, ada empat argumentasi mengapa vitalitas demokrasi
dinilai dapat bergerak cepat dalam skema dan portofolio demokrasi lokal.
Pertama, demokrasi di daerah dapat menjadi ajang pendidikan politik yang
relevan karena ia memperpendek tingkat proximity (jarak) dari pemerintah ke
masyarakat. Kedua, pemerintah daerah dinilai dapat berperan sebagai
pengontrol bagi pelaku pemerintah pusat yang punya kecenderungan
antidemokrasi.
Ketiga, demokrasi lokal dianggap mampu menyuguhkan kualitas
partisipasi yang lebih baik dan memungkinkan terciptanya deliberative
democracy dan, keempat, demokrasi lokal akan berdampak pada legitimasi dan
tingkat kepercayaan daerah kepada pemerintah pusat. Di samping sebagai
instrumen memperbaiki kualitas demokrasi di daerah, pilkada juga dimaksudkan
agar kebijakan-kebijakan yang dibuat kepala daerah dapat dirumuskan
berdasarkan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks itu, ujung dari perbaikan
demokrasi di daerah ialah terwujudnya kebijakan-kebijakan publik yang menguntungkan
masyarakat. Namun, realitas politik menunjukkan apa yang terjadi pada
permukaan landscape politik di daerah tidak sepenuhnya berbanding lurus
dengan citra yang dibangun para kandidat. Pada ranah inilah pentingnya
mengkritisi setiap program yang dicanangkan seorang kepala daerah.
Hal itu penting karena seorang kepala daerah yang terpilih
dalam pilkada tidak semua semata-mata bermodalkan sosial (social capital),
tetapi sering kali juga dibarengi modal politik dan ekonomi. Sebagai catatan,
paling tidak ada tiga kriteria modal utama yang dimiliki para calon kepala
daerah yang mengikuti kontestasi pilkada secara langsung. Ketiga modal itu
adalah modal politik (political capital), modal sosial (social capital), dan
modal ekonomi (economical capital). Pertama modal politik. Modal politik
menunjukkan adanya dukungan politik, baik dari rakyat maupun
kekuatan-kekuatan politik yang dipandang sebagai representasi rakyat. Modal
politik ini punya makna penting karena pilkada kita menggunakan mekanisme
party system dalam proses pencalonannya. Kedua ialah modal sosial. Modal
sosial di sini sangat terkait erat dengan bangunan relasi dan kepercayaan
yang dimiliki pasangan calon dengan masyarakat yang memilihnya.
Modal sosial punya makna signifikan karena melalui modal
itulah para kandidat tidak hanya dikenal pemilih mereka, tetapi pemilih juga
melakukan penilaian. Modal yang ketiga ialah modal ekonomi. Modal itu tidak
hanya dibutuhkan untuk membiayai kampanye, tetapi juga guna membangun relasi
dengan pendukung mereka. Termasuk di dalamnya ialah modal untuk memobilisasi
dukungan saat menjelang dan berlangsungnya kampanye. Tidak jarang pula modal
itu juga dipakai secara langsung untuk memengaruhi pemilih. Ketiga modal itu
memang bisa berdiri sendiri tanpa keterkaitan satu sama lain. Namun, di
antara ketiganya acap kali berkaitan satu sama lain. Argumen yang terbangun
bahwa semakin besar pasangan calon yang mampu mengakumulasi tiga modal
tersebut, semakin berpeluang pula terpilih sebagai kepala daerah.
Masalah yang kemudian muncul ialah manakala seorang calon
kepala daerah memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap partai
politik, dan pada saat bersamaan ia juga memiliki ketergantungan modal pada
kekuatan-kekuatan ekonomi yang ikut mendanai pencalonannya. Fenomena di
beberapa daerah menunjukkan banyaknya pengusaha lokal juga memberi dukungan
finansial bagi sebagian besar calon untuk jabatan eksekutif dan legislatif di
tingkat lokal/daerah. Pada titik inilah persoalan kemudian timbul. Dalam
kasus seperti itu, umpan balik (feedback) politik dan ekonomi tentu sebuah
keniscayaan. Bentuknya bisa berupa imbalan dengan cara membagikan proyek atau
kontrak-kontrak pembangunan daerah, surat izin, akses lahan, serta
bentuk-bentuk akses lain ke anggaran negara.
Titik rawannya, dalam situasi kepala daerah memiliki
ketergantungan yang sangat besar terhadap modal politik dan modal ekonomi,
ada kemungkinan seorang kepala daerah tidak otonom dalam menentukan kebijakan
yang diproduksinya. Konsekuensinya sangat dimungkinkan sebuah pemerintahan
daerah akhirnya tidak ada sekat dari kekuatan-kekuatan ekonomi politik yang
mendukungnya. Kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik itu dikhawatirkan akan
berusaha memetik buah keberuntungan dari dukungan yang diberikan. Jika itu
terjadi, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah tidak akan berpihak
kepada masyarakat, tetapi lebih cenderung menguntungkan kekuatan-kekuatan itu
secara pribadi dan kelompok. Sederhananya, kekuatan-kekuatan sosial, politik
dan ekonomi yang menghantar kepala daerah menduduki jabatannya bisa berfungsi
sebagai 'aktor bayang-bayang' dalam proses-proses politik di daerah.
Gagasan-gagasan dalam seluruh rona kebijakan daerah dikhawatirkan berasal
dari para aktor itu.
Munculnya 'aktor bayang-bayang' inilah yang harus
diantisipasi sejak dini dalam proses pemilihan kepala daerah saat ini. Dalam
konteks munculnya 'aktor bayang-bayang' ini, tampaknya benar apa yang diduga
Robert Putnam (1976) bahwa pada akhirnya yang secara riil menjadi elite
politik nantinya bukan orang-orang yang menduduki jabatan formal, melainkan
orang-orang yang berpengaruh terhadap proses-proses pembuatan keputusan.
Antisipasi sejak dini akan munculnya 'aktor bayang-bayang' menjadi penting
guna mencegah terjadinya apa yang disebut dengan shadow state (negara bayangan).
Kondisi shadow state akan hadir, tumbuh, dan berkembang ketika terjadi
pelapukan fungsi pemerintahan formal.
Penyebab utama terjadinya pelapukan fungsi itu ialah
aparatur penyelenggara pemerintah formal mengalami ketidakberdayaan dalam
menghadapi kekuatan-kekuatan di luar struktur dan akhirnya dikendalikan
otoritas informal. Otoritas informal yang paling dominan ialah investasi
politik dan ekonomi yang diberikan aktor-aktor yang berperan dalam
terpilihnya pejabat formal. Karena itu, satu hal yang harus ditegaskan bahwa
pilkada hanyalah titik awal. Selebihnya, seorang kepala daerah harus mampu
menjadikan makna desentralisasi politik dalam semua pilihan kebijakan publik
di daerahnya. Konklusi itu penting untuk menunjukkan bahwa pemerintahan
daerah yang dihasilkan pilkada selain harus mampu menghasilkan pemerintahan
yang demokratis, juga yang paling utama ialah menciptakan pemerataan ekonomi
dan membawa warganya keluar dari impitan kemiskinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar