Kamis, 22 Januari 2015

UUD 1945 dan Mahkamah Konstitusi

UUD 1945 dan Mahkamah Konstitusi

Sri-Edi Swasono  ;   Guru Besar UI dan Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa
KOMPAS, 22 Januari 2015

                                                                                                                       


UUD 1945 dibuat oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. UUD 1945 jelas bukan merupakan produk hukum saja. UUD juga produk filosofis (Weltanschauung sakral bangsa), produk budaya, produk ideologi (kebangsaan, kerakyatan, patriotisme), produk kenegarawanan (kedaulatan, kewarganegaraan, pertahanan-keamanan negara), produk politik, produk sejarah, produk humanisme, dan produk sosial-ekonomi. Keseluruhannya merupakan produk mimpinya bangsa yang menolak keterjajahan serta mengidamkan cita-cita keadilan, kemuliaan berharkat martabat, berpendidikan, dan berketuhanan. Bahkan, barangkali masih ada yang tersisa lagi.

Seperti saya tulis di harian Kompas (28/11/2014), UUD 1945 jauh dari sekadar produk hukum an sich, UUD 1945 merupakan suatu pernyataan budaya: budaya untuk mengubah diri menjadi tuan di negeri sendiri serta melepas harkat martabat sebagai koelie di negeri sendiri, menegakkan budaya mandiri, dan menolak penjajahan dan ketergantungan. UUD 1945 sebagai produk hukum diwarnai dengan konten budaya ini.

Ketua BPUPKI seorang dokter yang filsuf (KRT Radjiman Wediodiningrat). Ketua PPKI seorang insinyur (Soekarno) dan Wakil Ketua PPKI seorang doktorandus (Mohammad Hatta). Di dalam 75 anggota BPUPKI dan 27 anggota PPKI tidak lebih dari 19 orang yang bergelar sarjana hukum (Meester in de Rechten, Mr), beberapa saja yang bergelar universiter seperti insinyur, dokter, gelar susastra, dan empat orang profesor doktor. Dua pertiga lainnya adalah cendekiawan, tokoh-tokoh bijak, dan rohaniwan. Semua boleh dibilang nasionalis dan negarawan. Sebagai catatan kecil, dari 27 anggota PPKI, 16 orang adalah anggota BPUPKI.

Karena itu, UUD 1945 sebagai Weltanschauung sakral bangsa tidak cukup hanya merupakan urusan (concern) eksklusif para ahli hukum, tetapi juga merupakan concern dari seluruh warga negara yang ingin memaknai kemerdekaan dan kenegarawanan bagi rakyat, bangsa, dan negara ini. UUD 1945 adalah ekspresi harapan masa depan kaum nasionalis, para patriot, pejuang, dan para perintis kemerdekaan.

Dengan demikian, UUD 1945 harus dibaca tidak saja secara tekstual-gramatikal, tetapi harus dibaca dalam konteks sosiologikal, filosofikal, moral-etikal, bahkan barangkali metafisikal dan mistikal. Betapa tidak, UUD adalah masterpiece-nya para pendiri bangsa: para negarawan adiluhung.

Manusia unggul

Berita-berita tentang peran panitia seleksi (pansel) untuk memilih hakim-hakim Mahkamah Konstitusi (MK) banyak dibahas. Para calon hakim MK harus menjalani uji kelayakan dan kepatutan, termasuk terhadap hakim-hakim MK dan ketua MK yang masih menjabat apabila ingin memperpanjang masa jabatannya.

Seperti saya kemukakan di atas, UUD 1945 tidak boleh direduksi hanya sebagai produk hukum, tetapi adalah pula produk-produk perjuangan tentang kenegaraan, kenegarawanan, ideologi, politik dan cita-cita kehidupan bangsa dalam dimensi sejarah dan seterusnya. Suatu Weltanschauung sakral bangsa, suatu mimpi kolektifnya bangsa.

Kita bertanya, siapa yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon-calon hakim MK, yang nantinya akan menentukan dalam uji materi bahwa suatu UU bertentangan atau sesuai dengan UUD 1945. Supergenius dan manusia unggul mana yang mumpuni dalam menginterpretasi UUD 1945? Keputusan MK bersifat final. MK menempatkan diri menjadi wakil dari Yang Maha Benar dan Maha Adil.

Cukupkah para anggota panitia seleksi berlabel ”independen”? Barangkali mereka memang harus independen terhadap perpolitikan partai dan golongan atau kelompok kepentingan tertentu, tetapi dia tidak boleh independen, bahkan harus tunduk terhadap UUD 1945 dengan nilai-nilai perjuangan kemerdekaan yang dikandungnya.

Bagaimana anggota panitia seleksi menjadi mumpuni untuk menguji calon-calon hakim MK, yang nantinya membuat keputusan sangat penting dan bersifat final? Cukupkah nanti para hakim MK mendengarkan (dan tentu diharap memperhatikan) pandangan-pandangan dari ahli-ahli/saksi-saksi ahli yang diundang berbicara di ruang sidang MK untuk menambal tuntutan pemahaman tentang UUD 1945 yang melampaui (beyond) keahliannya dalam ilmu hukum an sich?

Telah terbukti jelas-jelas (misalnya) suatu putusan MK melanggar sistem ekonomi nasional yang anti liberalisme dan kapitalisme dan menolak permohonan uji materi terhadap UU yang tegas-tegas melanggar sistem ekonomi nasional itu sesuai konstitusi. Putusan itu menjadi final dan merugikan rakyat Indonesia. Sebaliknya, pun bisa terjadi, apa yang diputuskan oleh MK sebagai hal yang dilarang untuk dilakukan (pasal tertentu UU Migas; UU No 22/2001) justru tak digubris oleh pemerintah dan terus dilanggar hingga kini.

Di luar MK banyak pelanggaran konstitusi—perekonomian semakin liberal, menteri tertentu menjuali aset nasional—saya tulis mengenai hal ini. Tentu mengagetkan, bukan pujian yang saya peroleh dari Guntur Soekarno Putra, ia mengatakan: apa yang saya tulis sudah ketinggalan zaman. Saat ini yang berlaku sudah lebih buruk daripada neoliberalisme dan neoimperialisme. Saat ini yang terjadi ”neofasisme”, penguasa memaksakan kehendak, dengan kekuasaan mengabaikan pesan-pesan konstitusi.

Jangan direduksi

MK, bagaimanapun, telah melembaga, yang dibuktikan dengan banyaknya UU yang dimintakan uji materi. Banyak UU digugurkan sebagian (pasal-pasal tertentu) atau seluruhnya oleh putusan MK. Pertanyaannya, mengapa UU yang bertentangan dengan UUD 1945 bisa lolos di DPR dan disahkan pula oleh Presiden? Barangkali reformasi telah menjadi deformasi yang menjadi-jadi.

Hamdan Zoelva pada saat masih menjabat ketua MK menolak mengikuti uji kelayakan dan kepatutan yang disyaratkan panitia seleksi untuk masa jabatan berikutnya. Ia memilih mengundurkan diri dan tidak mencalonkan lagi.

Sikap bijaksana Hamdan Zoelva perlu kita acungi jempol karena bisa diartikan bahwa panitia seleksi meragukan kompetensi dan kredibilitas hakim/ketua MK yang masih menjabat. Hal itu berarti pula bahwa putusan-putusannya diragukan keabsahannya oleh panitia seleksi, suatu delegitimasi terhadap putusan-putusan MK yang telah dibuatnya. Jika demikian hancurlah wibawa hukum, runtuhlah rechtsstaat kita. Janganlah kita mereduksi UUD 1945 sekadar sebagai barang ”mainan ahli hukum” belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar