Revolusi
Metode Pembelajaran
M Syamsul Arifin ; Pegiat di Forum Penulis Muda Jogja
|
KORAN
TEMPO, 05 Januari 2015
Generasi hari ini berbeda dengan generasi sebelumnya.
Generasi hari ini terlahir ketika di sekelilingnya dipenuhi kecanggihan teknologi
digital. Ketika belajar membaca dan menulis hingga beranjak usia remaja,
mereka dimanjakan oleh game online, MP3 player, hingga yang menyita banyak
waktu: media sosial.
Namun masalah selanjutnya adalah, teknologi digital (smart
phone) tidak hanya membawa sejumlah dampak positif, tapi juga sejumlah dampak
negatif. Dalam konteks pembelajaran, sejatinya smart phone bisa mendukung
proses belajar-mengajar yang dilakukan guru-murid. Proses knowledge transfer
membina karakter dan keterampilan agar yang dilakukan guru bisa berjalan
lancar.
Di samping dampak positifnya, smart phone juga berdampak
buruk. Kita kerap menjumpai remaja yang berada dalam sebuah forum tanpa
berkomunikasi satu sama lain. Generasi sekarang seolah asyik dengan dunianya
sendiri, yang dipenuhi kecanggihan digital.
Meminjam bahasa Don Tapscott (2013), inilah generasi acuh
tak acuh. Minat mereka hanya kultur populer, para pesohor, dan teman-teman
mereka. Karena itu, transformasi pembelajaran menjadi mutlak harus kita
lakukan. Bertolak dari hal di atas, revolusi metode pembelajaran menjadi
mutlak harus kita lakukan.
Pertama, kurangi metode ceramah. Mereka sudah bosan dengan
gaya ini. Menurut Felder dan Soloman (1993): "Pembelajar di zaman
informasi ini mempunyai kecenderungan gaya belajar aktif, sequential,
sensing, dan visual."
Kedua, fokus pada pembelajaran seumur hidup, bukan pada
mengajarkan untuk ujian semata. Yang terpenting bukan hanya tentang apa yang
mereka ketahui ketika mereka lulus, tapi juga untuk mencintai pembelajaran seumur
hidup. Para guru tidak perlu khawatir siswanya lupa tanggal peristiwa penting
dalam sejarah, karena mereka dapat mencari informasi itu kapan saja dengan
melalui buku maupun web. Para guru perlu mengajari mereka cara belajar, gemar
membaca dan menulis, bukan hanya cara mengetahui.
Ketiga, berdayakan para siswa untuk berkolaborasi. Dorong
mereka agar bekerja sama dengan yang lain dan tunjukkan cara mengakses sumber
pengetahuan yang tersedia di web dan lain-lain. Dalam hal ini, mungkin kita
dapat belajar dari pengalaman Uri Treisman, seorang profesor matematika di
Universitas California-Berkeley.
Melihat banyak mahasiswa kulit hitam yang nilai
kalkulus-nya sangat jelek, Prof Treisman melakukan riset kecil. Ia
membandingkannya dengan kelompok mahasiswa asal Cina, yang semua memperoleh
nilai bagus. Ia menemukan bahwa mahasiswa Cina suka bekerja dalam kelompok,
sedangkan mahasiswa kulit hitam cenderung bekerja mandiri. Ia mengubah
kondisi dan tata letak kelas serta menerapkan sistem pembelajaran kelompok.
Tak lama kemudian, prestasi para mahasiswa kulit hitam meningkat pesat.
Guru menghadapi manusia, bukan seperti buruh pabrik dan
karyawan perusahaan yang berhadapan dengan benda mati. Guru memiliki tugas
perencanaan, pembelajaran, dan penilaian (evaluasi). Perencanaan dilakukan
sebelum mengajar di kelas dan penilaian setelah mengajar di kelas selesai.
Inilah yang diinginkan Kurikulum 2013. Sekarang revolusi (metode)
pembelajaran ada di tangan para guru di seantero Indonesia. Apakah mereka
akan melakukan revolusi? Kita tunggu gebrakannya untuk menciptakan generasi
emas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar