Kesejahteraan
Petani 2014
Kadir ; Bekerja di Badan Pusat Statistik
|
KORAN
TEMPO, 05 Januari 2015
Pada 2 Januari 2015, Badan Pusat Statistik (BPS)
melaporkan bahwa nilai tukar petani (NTP) nasional-indikator yang digunakan
untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani dan nelayan-pada Desember 2014
hanya sebesar 101,32. Padahal target NTP yang dipatok pemerintah selama ini
minimal sebesar 110. Itu artinya, tingkat kesejahteraan petani dan nelayan
negeri ini masih jauh dari harapan.
NTP yang dirilis BPS tersebut juga memberi konfirmasi
bahwa tingkat kesejahteraan petani dan nelayan negeri ini cenderung stagnan
sepanjang 2014. Soalnya, NTP Desember 2014 lebih rendah daripada NTP Januari
2014 yang sebesar 101,95. Jadi, tidak membikin heran bila kemiskinan tetap
berpusat di pedesaan, dan sebagian besar petani serta nelayan negeri ini
masih terkungkung dalam kondisi hidup serba kekurangan alias miskin.
Gambaran yang lebih membuat miris tersaji pada subsektor
tanaman pangan (padi dan palawija). Betapa tidak, nilai tukar petani tanaman
pangan pada Desember 2014 hanya sebesar 100,07, atau sedikit mengalami
peningkatan dibanding NTP pada Januari 2014 yang sebesar 99,88. NTP sebesar
100 menunjukkan rata-rata pendapatan petani tanaman pangan berbeda tipis
dengan pengeluarannya. Pendek kata, mayoritas petani tanaman pangan masih
sulit merengkuh kesejahteraan karena pendapatan yang pas-pasan.
Ditengarai, rendahnya tingkat kesejahteraan petani tanaman
pangan disebabkan nihilnya tingkat profitabilitas kegiatan usaha tani tanaman
pangan. Hal itu tecermin dari hasil Survei Usaha Tanaman Padi dan Palawija
2014 (SPD/SPW-2014) yang dirilis BPS pada akhir Desember tahun lalu. BPS
mencatat, rata-rata keuntungan yang diperoleh petani dari mengusahakan satu
hektare padi sawah dan jagung masing-masing hanya sebesar Rp 4,5 juta dan Rp
2,9 juta per musim tanam. Sedangkan dari mengusahakan satu hektare tanaman
kedelai, petani justru merugi.
Celakanya, sebagian besar petani tanaman pangan mengelola
lahan pertanian kurang dari satu hektare. Hasil Sensus Pertanian 2013
memperlihatkan, jumlah petani yang mengelola lahan pertanian di bawah 0,5
hektare (gurem) mencapai 14,25 juta rumah tangga, atau mencakup 55,33 persen
dari total jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan. Rata-rata penguasaan
lahan sawah bahkan hanya 0,2 hektare per rumah tangga. Akibatnya, efisiensi
usaha tani relatif rendah dan skala usaha tani yang menguntungkan sulit
digapai.
Hasil SPD/SPW-2014 memberi konfirmasi bahwa pemerintah
harus mendorong peningkatan profitabilitas usaha tanaman pangan. Hal itu,
antara lain, dapat dilakukan dengan memberikan insentif usaha tani berupa
subsidi output dan/atau subsidi input. Kebijakan tersebut perlu dilakukan.
Sebab, upaya meningkatkan efisiensi dan skala usaha tani melalui penambahan
luas lahan garapan sangat sulit dilakukan, karena terhambat terbatasnya akses
penguasaan lahan.
Upaya meningkatkan profitabilitas usaha tanaman pangan
merupakan aspek yang sangat penting dan sudah semestinya menjadi fokus
perhatian pemerintah. Pasalnya, hal itu menyangkut kesejahteraan lebih dari
15 juta rumah tangga petani. Tak bisa dimungkiri, mereka adalah penentu
keberhasilan dalam mewujudkan target ambisius swasembada beras (padi),
jagung, dan kedelai yang telah dicanangkan pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar