Jumat, 09 Januari 2015

Menggugat Penghapusan Subsidi BBM

Menggugat Penghapusan Subsidi BBM 

Marwan Batubara  ;   Direktur Eksekutif IRESS
KORAN SINDO,  08 Januari 2015

                                                                                                                       


Pada 31 Desember 2014 Menteri ESDM Sudirman Said bersama Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, dan Menteri BUMN Rini Soemarno mengumumkan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis premium (RON 88) dari Rp8.500 menjadi Rp7.600 dan solar dari Rp7.500 menjadi Rp7.250.

Harga minyak tanah tetap Rp2.500 per liter. Harga baru BBM tersebut berlaku sejak 1 Januari 2015 pukul 00.00. Pemerintah menyatakan ada tiga jenis BBM yang diatur yaitu BBM tertentu bersubsidi, BBM khusus penugasan nonsubsidi, dan BBM umum nonsubsidi. Jenis BBM tertentu yang disubsidi solar dan minyak tanah. Solar akan memperoleh subsidi tetap sebesar Rp1.000 per liter.

Sedangkan jenis BBM khusus penugasan dan umum berupa premium yang tidak lagi disubsidi. BBM khusus penugasan berlaku untuk luar Jawa, Bali, dan Madura di mana pemerintah masih akan menanggung 2% biaya distribusi. Adapun BBM umum berlaku di Jawa, Madura, dan Bali, di mana harganya berubah sesuai harga keekonomian.

Kebijakan pemerintah mencabut subsidi BBM jenis premium patut dipertanyakan. Kebijakan diambil saat harga minyak dunia sedang turun sehingga perubahan harga dari BBM bersubsidi menjadi BBM nonsubsidi menjadi tidak terasa. Mayoritas masyarakat bahkan menyambut baik kebijakan tersebut karena harga BBM (“bersubsidi”) turun dari Rp8.500 menjadi Rp7.600 (“nonsubsidi”).

Padahal, kebijakan penurunan harga tersebut telah “disusupi” dengan “jebakan batman“ berupa penghapusan subsidi yang dampaknya sangat memberatkan masyarakat jika harga minyak kembali pada kisaran USD90-100 per barel. Pemerintah menyatakan harga eceran premium nonsubsidi Rp7.600 diperoleh berdasarkan nilai tukar rupiah Rp12.380 per USD dan harga rata-rata indeks pasar untuk minyak dunia sebesar USD60 per barel.

Harga nonsubsidi ini akan berubah dari patokan Rp7.600 bergantung pada perubahan harga minyak dunia dan kurs Rp (selama sebulan sebelumnya) serta kebijakan pemerintah pusat dan daerah atas pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB).

Berdasarkan kebijakan yang berlaku, harga eceran premium nonsubsidi didapat dari harga perolehan/penyediaan ditambah margin badan usaha, margin SPBU, PBBKB, dan PPN 10%. Sedangkan biaya penyediaan diperoleh dari bahan baku (harga produk BBM berdasarkan indeks pasar) ditambah biaya pengolahan, transportasi, penyimpanan, dan distribusi.

Dengan asumsi harga minyak mentah USD60 perbarel dan harga produk gasolin setelah pengilangan menjadi USD70-75 per barel serta kurs rupiah terhadap dolar adalah Rp12.380 per USD, harga (FOB) premium Rp5.840 per liter. Jika biaya transportasi, penyimpanan, dan distribusi diasumsikan sebesar netto 2%, margin badan usaha sebesar6-10%, dan margin SPBU sebesar Rp270 per liter, biaya penyediaan dan pendistribusian premium menjadi sekitar Rp6.600 per liter.

Dengan tambahan PBBKB 5% dan PPN 10%, harga premium yang ditetapkan pemerintah menjadi Rp7.600 perliter. Ternyata, karenabanyak komponen tambahan biaya, harga eceran BBM di Indonesia cukup tinggi, tidak sekadar memperhitungkan harga minyak dunia dan kurs yang berlaku.

Jika harga minyak mentah naik menjadi USD80-100 per barel, sesuai dasar perhitungan di atas, harga premium nonsubsidi akan naik berkisar Rp9.600 hingga Rp11.500. Karena subsidi BBM telah dicabut, dampak kenaikan harga tersebut akan sangat memberatkan rakyat, terutama kalangan masyarakat menengah ke bawah.

Seperti diketahui, selama ini pemerintah mengklaim hanya sekitar 28% subsidi BBM tepat sasaran, sedangkan 72% sisanya tidak tepat sasaran. Artinya, dengan penerapan harga keekonomian, sekitar 28% konsumen BBM premium golongan menengah ke bawah akan membayar harga BBM yang lebih besar dibandingsaat sebelumperubahan harga.

Dengan begitu, kehidupan ekonomi mereka justru menjadi lebih buruk dibanding sebelumnya. Karena itu, kebijakan pencabutan subsidi BBM premium harus ditolak! Kesulitan masyarakat akibat penghapusan subsidi dapat saja diringankan jika sebelumnya pemerintah telah menyiapkan berbagai program perlindungan sosial, infrastruktur konversi bahan bakar gas (BBG) ke bahan bakar minyak (BBM), menggiatkan energi alternatif, dan memperbaiki sarana transportasi massal.

Hanya setelah berbagai prasyarat terpenuhilah kebijakan pencabutan subsidi BBM mungkin dapat diterapkan. Pertama, pemerintah harus menerapkan pola subsidi langsung yang tepat sasaran dan andal. Kedua, berbagai sarana transportasi massal telah terbangun.

Ketiga, sebagian dana yang dihemat dari pengurangan subsidi BBM diprioritaskan membangun sarana konversi ke BBG dan meningkatkan produksi energi, termasuk energi baru dan terbarukan. Keempat, menghentikan penggunaan dana penghematan subsidi BBM untuk pencitraan politik misalnya penerbitan berbagai kartu sosial karena telah diterapkannya pola subsidi langsung.

Kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari. Begitu pula dengan harga minyak dunia yang dapat saja berada pada kisaran USD50 hingga USD60 per barel untuk waktu yang lama. Namun, harga yang rendah tersebut bisa pula kembali ke level USD80-100 per barel pada akhir tahun ini.

Kembali naiknya harga minyak dunia dapat disebabkan kepentingan Amerika Serikat (AS) melindungi investor shale gas yang sejak 2010 hingga akhir 2014 telah menerbitkan surat utang (bonds) dan pinjaman (loans) sekitar USD550 miliar. Seperti diketahui, titik break event investasi shale oil/gas berada pada kisaran USD60 hingga USD70 per barel.

Pada harga minyak yang telah lebih rendah dari USD60 per barel dalam sebulan terakhir, sejumlah investor shale sudah tidak sanggup membayar kewajiban bunga loans dan bonds-nya sehingga sebagian bonds tersebut berubah status menjadi junk bonds. Diperkirakan, tingkat gagal bayar (default) bonds energi tahun ini dapat mencapai 8%.

Dengan demikian, untuk melindungi investasi sektor energinya, kecil kemungkinan Pemerintah AS akan membiarkan terus rendahnya harga minyak. Dicatat bahwa penurunan harga minyak antara lain disebabkan oleh kepentingan AS merusak ekonomi Rusia dan kepentingan Arab Saudi menghambat berkembangnya dominasi Iran bersama Irak dan Suriah.

Arab Saudi, yang memproduksi minyak dengan titik break event USD25 hingga USD35 per barel, juga berkepentingan menahan laju perkembangan pasar shale gas AS yang semakin menggerogoti pasar minyak tradisionalnya. Namun, akibat pertarungan berbagai kepentingan tersebut, sejumlah negara penghasil minyak telah mengalami defisit anggaran yang besar seperti Aljazair, Nigeria, Oman, Rusia, dan Arab Saudi masing-masing USD31 miliar, USD16 miliar, USD6,4 miliar, USD45 miliar, dan USD39 miliar.

Iran termasuk anggota OPEC yang “menyembunyikan” defisit, padahal jumlahnya cukup besar. Dengan defisit demikian besar, bisa saja terjadi kompromi pembatasan produksi sehingga harga minyak kembali mendekati USD90 akhir tahun ini. Karena itu, untuk mengantisipasi dampak buruk kembali naiknya harga minyak dunia, pemerintah dituntut untuk tidak begitu saja mencabut subsidi BBM.

Mayoritas kehidupan masyarakat perlu dilindungi sampai pemerintah telah dapat menyiapkan sistem subsidi langsung yang tepercaya dan andal. Pemerintah pun dituntut untuk tetap memberi subsidi pada level yang wajar dan berkeadilan hingga penyediaan sarana transportasi publik dan pembangunan berbagai infrastruktur energi telah tersedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar