Menggugat
Penghapusan Subsidi BBM
Marwan Batubara ; Direktur Eksekutif IRESS
|
KORAN
SINDO, 08 Januari 2015
Pada 31 Desember 2014 Menteri ESDM Sudirman Said bersama
Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro,
dan Menteri BUMN Rini Soemarno mengumumkan penurunan harga bahan bakar minyak
(BBM) bersubsidi jenis premium (RON 88) dari Rp8.500 menjadi Rp7.600 dan
solar dari Rp7.500 menjadi Rp7.250.
Harga minyak tanah tetap Rp2.500 per liter. Harga baru BBM
tersebut berlaku sejak 1 Januari 2015 pukul 00.00. Pemerintah menyatakan ada
tiga jenis BBM yang diatur yaitu BBM tertentu bersubsidi, BBM khusus
penugasan nonsubsidi, dan BBM umum nonsubsidi. Jenis BBM tertentu yang
disubsidi solar dan minyak tanah. Solar akan memperoleh subsidi tetap sebesar
Rp1.000 per liter.
Sedangkan jenis BBM khusus penugasan dan umum berupa
premium yang tidak lagi disubsidi. BBM khusus penugasan berlaku untuk luar
Jawa, Bali, dan Madura di mana pemerintah masih akan menanggung 2% biaya
distribusi. Adapun BBM umum berlaku di Jawa, Madura, dan Bali, di mana
harganya berubah sesuai harga keekonomian.
Kebijakan pemerintah mencabut subsidi BBM jenis premium
patut dipertanyakan. Kebijakan diambil saat harga minyak dunia sedang turun
sehingga perubahan harga dari BBM bersubsidi menjadi BBM nonsubsidi menjadi
tidak terasa. Mayoritas masyarakat bahkan menyambut baik kebijakan tersebut
karena harga BBM (“bersubsidi”) turun dari Rp8.500 menjadi Rp7.600
(“nonsubsidi”).
Padahal, kebijakan penurunan harga tersebut telah
“disusupi” dengan “jebakan batman“ berupa penghapusan subsidi yang dampaknya
sangat memberatkan masyarakat jika harga minyak kembali pada kisaran
USD90-100 per barel. Pemerintah menyatakan harga eceran premium nonsubsidi
Rp7.600 diperoleh berdasarkan nilai tukar rupiah Rp12.380 per USD dan harga
rata-rata indeks pasar untuk minyak dunia sebesar USD60 per barel.
Harga nonsubsidi ini akan berubah dari patokan Rp7.600
bergantung pada perubahan harga minyak dunia dan kurs Rp (selama sebulan
sebelumnya) serta kebijakan pemerintah pusat dan daerah atas pajak
pertambahan nilai (PPN) dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB).
Berdasarkan kebijakan yang berlaku, harga eceran premium
nonsubsidi didapat dari harga perolehan/penyediaan ditambah margin badan
usaha, margin SPBU, PBBKB, dan PPN 10%. Sedangkan biaya penyediaan diperoleh
dari bahan baku (harga produk BBM berdasarkan indeks pasar) ditambah biaya
pengolahan, transportasi, penyimpanan, dan distribusi.
Dengan asumsi harga minyak mentah USD60 perbarel dan harga
produk gasolin setelah pengilangan menjadi USD70-75 per barel serta kurs
rupiah terhadap dolar adalah Rp12.380 per USD, harga (FOB) premium Rp5.840
per liter. Jika biaya transportasi, penyimpanan, dan distribusi diasumsikan
sebesar netto 2%, margin badan usaha sebesar6-10%, dan margin SPBU sebesar
Rp270 per liter, biaya penyediaan dan pendistribusian premium menjadi sekitar
Rp6.600 per liter.
Dengan tambahan PBBKB 5% dan PPN 10%, harga premium yang
ditetapkan pemerintah menjadi Rp7.600 perliter. Ternyata, karenabanyak
komponen tambahan biaya, harga eceran BBM di Indonesia cukup tinggi, tidak
sekadar memperhitungkan harga minyak dunia dan kurs yang berlaku.
Jika harga minyak mentah naik menjadi USD80-100 per barel,
sesuai dasar perhitungan di atas, harga premium nonsubsidi akan naik berkisar
Rp9.600 hingga Rp11.500. Karena subsidi BBM telah dicabut, dampak kenaikan
harga tersebut akan sangat memberatkan rakyat, terutama kalangan masyarakat
menengah ke bawah.
Seperti diketahui, selama ini pemerintah mengklaim hanya
sekitar 28% subsidi BBM tepat sasaran, sedangkan 72% sisanya tidak tepat
sasaran. Artinya, dengan penerapan harga keekonomian, sekitar 28% konsumen
BBM premium golongan menengah ke bawah akan membayar harga BBM yang lebih
besar dibandingsaat sebelumperubahan harga.
Dengan begitu, kehidupan ekonomi mereka justru menjadi
lebih buruk dibanding sebelumnya. Karena itu, kebijakan pencabutan subsidi
BBM premium harus ditolak! Kesulitan masyarakat akibat penghapusan subsidi
dapat saja diringankan jika sebelumnya pemerintah telah menyiapkan berbagai
program perlindungan sosial, infrastruktur konversi bahan bakar gas (BBG) ke
bahan bakar minyak (BBM), menggiatkan energi alternatif, dan memperbaiki
sarana transportasi massal.
Hanya setelah berbagai prasyarat terpenuhilah kebijakan
pencabutan subsidi BBM mungkin dapat diterapkan. Pertama, pemerintah harus
menerapkan pola subsidi langsung yang tepat sasaran dan andal. Kedua,
berbagai sarana transportasi massal telah terbangun.
Ketiga, sebagian dana yang dihemat dari pengurangan
subsidi BBM diprioritaskan membangun sarana konversi ke BBG dan meningkatkan
produksi energi, termasuk energi baru dan terbarukan. Keempat, menghentikan
penggunaan dana penghematan subsidi BBM untuk pencitraan politik misalnya
penerbitan berbagai kartu sosial karena telah diterapkannya pola subsidi
langsung.
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari. Begitu
pula dengan harga minyak dunia yang dapat saja berada pada kisaran USD50
hingga USD60 per barel untuk waktu yang lama. Namun, harga yang rendah
tersebut bisa pula kembali ke level USD80-100 per barel pada akhir tahun ini.
Kembali naiknya harga minyak dunia dapat disebabkan
kepentingan Amerika Serikat (AS) melindungi investor shale gas yang sejak
2010 hingga akhir 2014 telah menerbitkan surat utang (bonds) dan pinjaman (loans)
sekitar USD550 miliar. Seperti diketahui, titik break event investasi shale
oil/gas berada pada kisaran USD60 hingga USD70 per barel.
Pada harga minyak yang telah lebih rendah dari USD60 per
barel dalam sebulan terakhir, sejumlah investor shale sudah tidak sanggup
membayar kewajiban bunga loans dan bonds-nya sehingga sebagian bonds tersebut
berubah status menjadi junk bonds. Diperkirakan, tingkat gagal bayar (default) bonds energi tahun ini dapat
mencapai 8%.
Dengan demikian, untuk melindungi investasi sektor
energinya, kecil kemungkinan Pemerintah AS akan membiarkan terus rendahnya
harga minyak. Dicatat bahwa penurunan harga minyak antara lain disebabkan
oleh kepentingan AS merusak ekonomi Rusia dan kepentingan Arab Saudi
menghambat berkembangnya dominasi Iran bersama Irak dan Suriah.
Arab Saudi, yang memproduksi minyak dengan titik break event USD25 hingga USD35 per
barel, juga berkepentingan menahan laju perkembangan pasar shale gas AS yang
semakin menggerogoti pasar minyak tradisionalnya. Namun, akibat pertarungan
berbagai kepentingan tersebut, sejumlah negara penghasil minyak telah
mengalami defisit anggaran yang besar seperti Aljazair, Nigeria, Oman, Rusia,
dan Arab Saudi masing-masing USD31 miliar, USD16 miliar, USD6,4 miliar, USD45
miliar, dan USD39 miliar.
Iran termasuk anggota OPEC yang “menyembunyikan” defisit,
padahal jumlahnya cukup besar. Dengan defisit demikian besar, bisa saja
terjadi kompromi pembatasan produksi sehingga harga minyak kembali mendekati
USD90 akhir tahun ini. Karena itu, untuk mengantisipasi dampak buruk kembali
naiknya harga minyak dunia, pemerintah dituntut untuk tidak begitu saja
mencabut subsidi BBM.
Mayoritas kehidupan masyarakat perlu dilindungi sampai
pemerintah telah dapat menyiapkan sistem subsidi langsung yang tepercaya dan
andal. Pemerintah pun dituntut untuk tetap memberi subsidi pada level yang
wajar dan berkeadilan hingga penyediaan sarana transportasi publik dan
pembangunan berbagai infrastruktur energi telah tersedia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar