KUNCI
ZERO ACCIDENT
Manusia
Bersumber Daya Iptek dan Infrastruktur
Jusman Syafii Djamal ; Mantan Menteri Perhubungan
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Januari 2015
BISNIS maskapai
penerbangan ialah highly regulated,
padat teknologi, dan padat modal. Fondasinya ialah safety and security of transportation. Tanpa fondasi kukuh pada
upaya membangun sistem keselamatan dan keamanan penerbangan, bisnis itu akan
melahirkan duka nestapa tiada henti yang tidak kita inginkan. Sasaran kita sebagai bangsa
ialah menciptakan pertumbuhan volume bisnis transportasi udara untuk menjadi
jembatan udara bagi 17 ribu pulau di Indonesia.
Pertumbuhan volume bisnis angkutan
udara diprediksi akan meningkat dua kali lipat setiap lima tahun.Dalam rute
domestik 1999 tercatat ada 6,3 juta penumpang. Pada 2003 ada 19,2 juta
penumpang, 2009 ada 43,8 juta penumpang, dan 2014 ada 82 juta penumpang.
Diprediksi, pada 2015 akan menjadi 90,6 juta penumpang. Yang menarik
pertumbuhan penumpang itu paling tinggi terjadi pada maskapai penerbangan low cost carrier (LCC) atau budget
traveler. Pada 2000 tercatat pengguna jasa LCC itu ada 3 juta penumpang, 2005
meningkat menjadi 17,2 juta, 2010 naik menjadi 34,4 juta, dan 2014 menjadi
59,1 juta serta 2015 diprediksi menjadi 66,3 juta penumpang.
Peningkatan volume penumpang
pastilah akan diikuti peningkatan jumlah maskapai, frekuensi penerbangan
serta penambahan kapasitas tempat duduk melalui pengadaan pesawat terbang
baru. Diperlukan kualitas unggul dari regulator dan operator penerbangan
untuk melayani peningkatan volume penumpang yang terus meningkat sepanjang
waktu. Perlu langkah peningkatan kualitas manusia bersumber daya iptek dan
remunerasi yang jauh lebih baik agar tercipta profesionalisme.Serta kualitas
infrastruktur berupa modernisasi bandara, fasilitas perawatan pesawat
terbang, institusi pendidikan pilot, dan manusia bersumber daya iptek
dirgantara serta modernisasi infrastruktur navigasi udara kelas dunia.
Tanpa regulator yang tangguh dan
unggul, tentulah pembinaan dan pengawasan keselamatan operasional penerbangan
akan mengalami kendala. Titik lemah yang sering disampaikan pelbagai audit
ICAO (The International Civil Aviation
Organization) ialah kurangnya jumlah tenaga inspektur lapangan serta
kualitas profesionalisme yang harus terus-menerus di-upgrade untuk mendeteksi setiap benih kecelakaan yang mungkin
terjadi.
Kebutuhan
mendesak
Dalam hal ini, kecepatan regulator
untuk memenuhi fungsinya dengan baik dihadapkan pada kendala keterbatasan
manusia bersumber daya iptek. Di Indonesia ada Institut Teknologi Bandung
(ITB) yang memiliki Fakultas Teknologi Dirgantara dan pelbagai universitas
lainnya seperti Universitas Nurtanio di Bandung dan Universitas Suryadharma
di Halim Perdanakusuma, Jakarta. Selain itu, ada pelbagai sekolah penerbangan
seperti Sekolah Penerbangan Curug dan Sekbang TNI-AU.
Kemajuan teknologi dan kecanggihan
pesawat terbang telah membuat adanya kebutuhan mendesak untuk selalu
memperbarui setiap jenis rincian peraturan dan tata cara kerja organisasi
regulator.Kemajuan teknologi dirgantara menuntut peningkatan proses perbaikan
terus-menerus agar memenuhi standar keselamatan dan keamanan transportasi
internasional. Diperlukan suatu ekosistem dengan peluang tindak
nonprofesional (unprofessional conduct)
yang bertentangan dengan etika profesional, baik di kalangan regulator maupun
operator, menghi lang dari bumi Indonesia sebab keselamatan dan keamanan
penerbangan bukan komoditas yang diperdagangkan dalam trading places.
Sanksi
yang tegas bagi setiap penyimpangan dapat dirujuk melalui implementasi UU No
1/2009 tentang Penerbangan.
Bisnis maskapai penerbangan
berbeda dengan bisnis tukang cukur.Jika kita ingin mencukur rambut, biasanya
cukur dulu baru bayar. Sebaliknya di maskapai penerbangan, bayar dulu baru
pelayanan diberikan kemudian. Kadang kala pembayaran dilakukan enam bulan di
muka, pada saat nilai tukar rupiah di posisi 9.500 per dolar AS-nya.
Sementara itu, pelayanan dilakukan pada saat setiap US$1 berharga Rp12.500
sehingga ada perbedaan biaya 30%. Semua operasi pesawat terbang pada umumnya
dilaksanakan dengan nilai dolar AS, tidak rupiah. Dalam hal ini, bisa saja di
saat operasi angkut penumpang dilaksanakan, biaya lebih besar daripada
pendapatan alias rugi. Diperlukan keahlian pengelolaan finansial yang canggih
dan tepat sasaran untuk mencegah kebangkrutan.
Pada umumnya, untuk memastikan return on investment berbagai upaya
peningkatan pendapatan (revenue
generating activities) dan program penghematan internal (cost reduction) dilakukan tiap
maskapai penerbangan. Tanpa kultur keselamatan dan keamanan penerbangan dalam
perusahaan, akan terjadi kecenderungan yang mengkhawatirkan. Bagi yang tidak
memahami arti keselamatan penerbangan sebagai sesuatu yang bersifat mutlak
dan menjadi prioritas tertinggi, pengembalian modal dan keuntungan menjadi
prioritas jauh
lebih utama.
Hal tersebut dapat menimbulkan
persaingan tidak sehat. Terjadi perang tarif di antara sesama perusahaan
penerbangan. Muncul harga tiket pesawat sangat murah, bahkan lebih murah
daripada angkutan laut dan darat. Harga tiket tidak lagi secara realistis
mencerminkan biaya operasional yang tiap saat meningkat. Tekanan kenaikan
harga bahan bakar minyak dan suku cadang pesawat serta biaya perawatan yang
juga dipengaruhi fluktuasi nilai tukar telah menyedot hampir 52% biaya
operasi.
Meskipun banyak tumbuh model
bisnis LCC, dalam praktik terdapat perbedaan di antara konsep LCC yang
diterapkan di Indonesia dengan yang digunakan maskapai penerbangan
internasional. Konsep bisnis tarif murah atau LCC diperkenalkan pertama kali
oleh Pacific South West Airlines di
Amerika Serikat yang melakukan penerbangan perdananya pada 6 Mei 1949.
Konsep LCC internasional umumnya
mempunyai karakteristik sebagai berikut. Struktur organisasi datar, tidak
berjenjang, dan karyawan bekerja equal partnership. Jumlah personel sedikit
dengan entrepreneurship tinggi,
armada pesawat baru dilaksanakan dengan cara sewa, tidak memiliki pesawat
terbang sehingga meringankan biaya investasi awal dan dapat fokus sebagai
operator semata, dan perawatan pesawat dilaksanakan pihak ketiga (outsource).
Bagaimana
di Indonesia?
Sebelum 2007, pengertian airline
tarif murah di Indonesia agak sedikit berbeda, di antaranya struktur
organisasinya ramping tetapi tetap berjenjang, manajemen terlalu dominan
mengatur/mengintervensi standar teknis keselamatan penerbangan, manajemen
perusahaan hanya sedikit yang mempunyai pengalaman di bidang ang kutan udara
dan belum ada sense of safety,
efisiensi sering kali dilakukan pada elemen safety seperti penundaan recurrent
training untuk para kru, penundaan waktu overhaul, perpanjangan umur komponen pesawat tanpa alasan teknis,
perpanjangan jam kerja personel, dan persyaratan kompetensi kru yang longgar.
Ada bahaya munculnya benih kecelakaan yang tertidur di dalam sistem LCC model
sebelum 2007.
Dalam lima tahun terakhir telah
muncul model LCC di Indonesia yang jauh lebih baik dan telah menggunakan
benchmarking dengan standardisasi LCC internasional seperti Ryan Air,
Soutwest Airline, dan Jet Blue. Kemajuan pelbagai model bisnis maskapai
penerbangan sering kali masih terbentur oleh birokrasi impor ekspor yang
tidak memungkinkan pengadaan suku cadang dengan cepat tanpa dikenai bea masuk
tinggi. Kebanyakan maskapai penerbangan LCC tidak mau lakukan investasi
infrastruktur perawatan pesawat dan suku cadang.
Bagi LCC, persediaan suku cadang
dalam jumlah besar dengan pendirian fasilitas perawatan pesawat tersendiri
akan menguras cadangan dana. Jalan terbaik yang ditempuh maskapai penerbangan
ialah outsourcing atau pemindahan mata rantai aktivitas perawatan pesawat ke
pihak ketiga. Indonesia memiliki dua perusahaan perawatan dan pemeliharaan
pesawat yang paling lengkap dan memenuhi persyaratan regulasi, di antaranya Garuda Maintenance Facility (GMF).
Terdapat kurang lebih 30 maintenance
shop yang berbentuk small medium
enterprise, dengan fasilitas dan sumber daya manusia terbatas.
Pada masa lalu sebelum 2007,
penggunaan bogus part atau suku
cadang yang tidak dilengkapi riwayat manufaktur dan sertifikat uji kelaikan,
atau suku cadang bekas yang direkondisi dan difungsikan kembali melalui proses
rekayasa dan perawatan ulang di dalam maintenance shop dengan teknik tertentu
untuk dapat lolos dari pemeriksaan regulator, kadang kala diterapkan.
Proses perawatan yang dilaksanakan
secara sepotong demi sepotong disesuaikan dengan jumlah dana tersedia. Kini
tujuh tahun berselang, atau 2014, praktik tidak profesional dalam bidang
perawatan pesawat terbang yang membahayakan keselamatan penerbangan tersebut
sudah sirna.
Kualitas
bandara
Pada masa lalu, kualitas
kebandarudaraan nasional juga berperan dalam proses
kemerosotan tingkat
keselamatan penerbangan. Ketidakmampuan manajemen dan organisasi bandara
untuk membangun sistem keamanan bandara menyebabkan barang berbahaya (dangerous goods) bisa lolos masuk
pesawat.
Kini muncul bandara baru yang
memiliki kualitas amat bagus dan memenuhi standar internasional sehingga
kemerosotan tingkat keselamatan dan keamanan penerbangan di bandara sudah
dapat dicegah ke titik terendah. Tidak ada catatan tentang kelalaian
manajemen bandara Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II dalam lima tahun
terakhir ini dalam hal keselamatan dan keamanan penerbangan.
Pada masa lalu, kondisi radar di
seluruh Indonesia memerlukan proses peremajaan dan pemutakhiran. Dalam
kegiatan operasi sehari-hari pengatur lalu lintas udara (ATC) menghadapi
potensi ancaman dan gangguan yang dapat muncul sewaktu waktu, seperti sarana
dan prasarana radar mati mendadak karena komputer pengolah informasi tidak
berfungsi seperti seharusnya. Kini setelah pengelolaan ATC di bawah kendali
tunggal atau single provider, investasi untuk meremajakan dan memodernisasi
alat peralatan utama pengatur lalu lintas telah terjadi.
Jatuhnya Air Asia QZ8501 di Selat
Karimata dalam cuaca buruk telah memunculkan wacana agar ATC di Indonesia
mencontoh ATC di Singapura dan ATC internasional lainnya, yakni di ruang
pengatur lalu lintas udara ditempatkan informasi tentang cuaca bersinergi
dengan BMKG.
Zero accident dalam transportasi udara hanya mungkin
terwujud dengan peningkatan kualitas dan kuantitas manusia bersumber daya
iptek dengan model remunerasi yang tepat dan benar, serta modernisasi alat
peralatan utama serta infrastruktur. Perangkat keras dan lunak ada dalam
pengelolaan keselamatan dan keamanan di bandara, juga navigasi lalu lintas
udara dan pesawat terbang dan perawatannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar