Mencanangkan
2015 sebagai Tahun Kebangkitan Literasi
Sofie Dewayani ; Ketua Yayasan Litara; Pegiat gerakan Ayo Membaca,
Indonesia!
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Januari 2015
TAHUN 2014 ditutup dengan
gonjang-ganjing seputar pengalihan Kurikulum 2013 ke KTSP. Emosi reaktif
guru, kerisauan orangtua, dan kebingungan pemerintah lokal menunjukkan bahwa
kurikulum masih menjadi jantung pendidikan nasional kita. Kurikulum berfungsi
laiknya buku manual untuk mengoperasikan mesin-mesin yang mencetak
produk-produk dengan spesifi kasi yang seragam. Sekolah merupakan sebuah
industri raksasa yang beroperasi secara mekanistis. Produk mekanisasi itu
bernama siswa.
Tahun 2015 seharusnya menjadi
titik balik untuk memanusiakan guru. Guru bukanlah robot pengoperasi mesin
yang potensi kreatifnya bisa dikebiri buku manual bernama kurikulum. Guru
membutuhkan kurikulum yang memandu, bukan mendikte. Kurikulum seharusnya
memberikan ruang yang leluasa bagi guru untuk mengambil keputusan, untuk
memilih dan memilah materi yang sesuai dengan potensi dan kebutuhan siswa.
Pemerintah perlu menjadikan 2015
sebagai momen untuk memberdayakan guru melalui destandardisasi kurikulum,
program-program pendampingan, membantu guru untuk mengakses bahan ajar di
luar buku teks, dan mendorong tumbuhnya materi dan bahan ajar (resource) yang variatif untuk
mendorong kreativitas guru. Di 2015, guru perlu menjadi komunitas literat
yang kritis dan berdaya. Pemberdayaan tersebut memerlukan dukungan sistem,
yang tidak hanya terdiri atas pemerintah, tetapi juga semua elemen pegiat
literasi dan perbukuan.
Terdapat alasan lain mengapa 2015
layak dicanangkan sebagai Tahun Kebangkitan Literasi. Dunia perbukuan
Indonesia menjadi sorotan di panggung dunia dalam perannya sebagai guest of honour dalam ajang Frankfurt Book Fair Oktober 2015.
Pemerintah tengah menyiapkan bukubuku terbaik dan representatif untuk
mencitrakan Indonesia di mata dunia. Ironisnya, di ranah buku anak, buku-buku
yang merangkum Indonesia dalam cerita yang berkualitas dan elemen visual yang
baik tak banyak jumlahnya.
Rendahnya kualitas dan keragaman
buku anak menunjukkan bahwa dunia perbukuan belum dapat berperan maksimal
sebagai bahan ajar pendidikan, apalagi meningkatkan minat baca. Mengadopsi
istilah yang dipopulerkan Anies Baswedan, gejala itu menandakan gawat darurat
literasi anak di Indonesia. Literasi dapat dikatakan sekarat kalau tak
berbenah dan meningkatkan kualitas diri. Ia gagal apabila tidak memiliki visi
edukasi; menyadarkan anak akan misinya menjadi manusia sejati.
Salah satu contoh kesenjangan reading for learning dan reading for pleasure dapat ditengarai
dalam literasi awal. Di Indonesia, anak belajar membaca dengan mengeja suku
kata tanpa makna. Ba–ba–ba. Bi-bu–bo. Kefasihan membaca ditentukan seberapa
cepat anak mengeja tanpa cela. Ketertarikan anak terhadap teks dan isi cerita
(yang kemudian dapat berkembang menjadi rasa ingin tahu dan kegemaran
membaca) belum menjadi benchmark
atau kriteria kesuksesan literasi. Kurikulum mensyaratkan membaca dengan
intonasi yang baik (reading with fluency)
dan kemampuan anak untuk menceritakan isi teks kembali (yang berkaitan dengan
reading comprehension) sebagai
tonggak pencapaian literasi. Setelah itu, anak digegas untuk meraih capaian
berikutnya.
Tak ada waktu untuk memilih bacaan yang mereka suka dan
menganalisisnya. Sekolah dan kurikulum yang kaku telah gagal mengembangkan
minat baca anak sejak belia.
Ketika anak beranjak dewasa,
buku-buku yang menarik minat mereka tak banyak tersedia. Buku harus bersaing
dengan ragam aplikasi dan fitur teknologi. Di sekolah, buku-buku pelajaran
melulu didominasi teks yang berceramah tanpa jeda, tanpa bersusah-payah
menarik minat pembacanya. Ironisnya, di banyak sekolah, buku-buku fiksi yang
anak sukai masih disikapi dengan apriori. Apabila terbawa ke sekolah, buku-buku
novel dan komik itu akan tersita dalam razia.
Selama bangsa ini menganggap
standardisasi sebagai satusatunya cara untuk memajukan pendidikan, segala
daya dan upaya akan dicurahkan untuk menciptakan banyak standar. Kurikulum
yang rigid, standar evaluasi, dan
buku teks pelajaran dengan instruksi detail yang seragam sesungguhnya
bertentangan dengan semangat literasi. Tidak seharusnya guru diatur teks
bernama kurikulum. Literasi seharusnya memampukan anak dan guru untuk
memiliki agensi dan otoritas terhadap teks. Misalnya, guru dapat memilih teks
yang sesuai dengan target capaian dan relevan dengan latar belakang anak
didiknya.
Perlunya
pemihakan
Menciptakan lingkungan literat
yang beragam dan mem perkaya me rupakan sebuah SENO hal yang niscaya. Dalam
pendidikan literasi yang memberdayakan, keterkaitan perlu terjalin antara
kegiatan membaca dan menulis.Hal itu dilandasi dua premis. Pertama, dalam
kegiatan menulis, anak perlu dibebaskan untuk memilih dan menulis topik yang
disukainya.
Kedua, kegiatan menulis anak perlu
diletakkan dalam konteks kegiatan membaca. Anak seharusnya diminta merespons
teks bacaan, dan apabila perlu, mendekonstruksinya. Sayangnya, keterkaitan
tersebut tidak tercipta dalam pendidikan literasi saat ini. Kegiatan menulis
di sekolah sering berfungsi untuk mengetes pemahaman anak terhadap teks. Di
jenjang literasi awal, pendidikan literasi bahkan tereduksi menjadi kegiatan
membaca. Menulis masih dianggap sebagai aktivitas ‘sakral’ untuk
meminimalisasi kesalahan eja dan mengekspresikan ide dengan struktur yang
sempurna, yang tentu terlalu rumit untuk pembaca pemula.
Ketersediaan beragam teks di luar
buku pelajaran tidak hanya membantu siswa menjadi literat secara kritis dan
kreatif, tetapi juga mendorong mereka untuk menemukan gairah (passion) terhadap literasi. Satu upaya
awal untuk menciptakan itu ialah pemerintah perlu berperan lebih besar dalam
memperkaya resource pendidikan ini.
Dalam kondisi gawat darurat literasi, pemerintah seharusnya tidak menyerahkan
produksi buku anak sepenuhnya kepada kendali pasar.
Pemerintah perlu mengupayakan
keragaman dengan mendorong tumbuhnya buku-buku anak yang mengangkat tema-tema
multikulturalisme, sains, sosial kemanusiaan, dengan standar penjenjangan
yang kompatibel dengan pendidikan literasi (tingkat awal hingga tingkat
lanjut), sains, dan matematika di sekolah. Upaya itu tentu tidak semata-mata
menghalalkan proyek-proyek pengadaan buku ala inpres di masa Orde Baru yang
saat itu menghasilkan buku-buku tanpa supervisi konten sehingga tidak
berkualitas, rawan korupsi, dan tidak terdistribusi dengan baik. besar dalam
memperkaya resource pendidikan ini.
Dalam kondisi gawat darurat literasi, pemerintah seharusnya tidak menyerahkan
produksi buku anak sepenuhnya kepada kendali pasar.
Pemerintah perlu mengupayakan
keragaman dengan mendorong tumbuhnya buku-buku anak yang mengangkat tema-tema
multikulturalisme, sains, sosial kemanusiaan, dengan standar penjenjangan
yang kompatibel dengan pendidikan literasi (tingkat awal hingga tingkat
lanjut), sains, dan matematika di sekolah. Upaya itu tentu tidak semata-mata
menghalalkan proyek-proyek pengadaan buku ala inpres di masa Orde Baru yang
saat itu menghasilkan buku-buku tanpa supervisi konten sehingga tidak
berkualitas, rawan korupsi, dan tidak terdistribusi dengan baik.
Beberapa
Langkah Strategis
Kebangkitan literasi dapat terjadi
melalui peningkatan kualitas buku, penguatan peran fasilitator, dalam hal ini
orangtua, guru, dan komunitas, dan pemaknaan baru terhadap kegiatan membaca
dan menulis. Membangun komunitas yang gemar membaca dan menciptakan individu
yang literat dapat dilakukan dengan mengurangi kesenjangan antara reading for learning dan reading for pleasure. Beberapa
langkah strategis untuk memperkaya sumber daya literasi dan mereformasi
pendidikan literasi di antaranya:
1. Membentuk lembaga independen
beranggotakan pustakawan, pendidik, akademisi, pakar, dan sastrawan, untuk
menetapkan rujukan literer sastra anak melalui pemberian anugerah sastra anak
dan sosialisasi daftar buku rekomendasi. Amerika Serikat telah melakukan hal
itu melalui American Library
Association (ALA) dengan penghargaan Newberry dan Caldecott yang
bergengsi. Demikian pula National Book
Development Council of Singapore (NBDCS) di Singapura, sebuah lembaga
yang aktif mengadakan festival literasi dan penganugerahan sastra anak setiap
tahun.
2. Memberikan subsidi untuk
mendukung produksi buku-buku anak yang berkualitas tinggi, yang selama ini
tidak diproduksi penerbit komersial karena dianggap kurang laku (low-sell). Di Amerika Serikat,
buku-buku anak pemenang penghargaan yang kurang diminati pasar tetap
diproduksi karena diapresiasi komunitas akademik dan digunakan di sekolah.
Buku-buku itu didistribusikan ke perpustakaan-perpustakaan sekolah atau
ditawarkan kepada sekolah dengan harga murah, dilengkapi dengan panduan untuk
mengintegrasikannya dengan pelajaran bahasa, sains, dan matematika.
3. Mendukung adaptasi buku dengan
teknologi untuk meningkatkan aksesibilitasnya ke penjuru negeri. Selain itu,
rekonstruksi konten buku dalam format multimedia dan fitur yang interaktif
juga bertujuan merespons kebutuhan dan minat anak di era digital ini.
4. Mendukung dan mendampingi
guru-guru dalam memilih dan mendayagunakan bahan ajar di luar buku teks
pelajaran dan menerapkannya di dalam kelas dengan metode yang kreatif dan
inovatif.
Pelatihan-pelatihan untuk guru
yang hanya bertujuan mencekoki guru dengan aspek teknis implementasi
kurikulum sesungguhnya merupakan degradasi profesi keguruan. Kita membutuhkan
lebih banyak kisah kesuksesan tentang pengalaman dan kepakaran guru di dalam
ruang kelas; tentang bagaimana mereka mendayagunakan bahan ajar dan
menghadapi kebutuhan siswa yang beragam. Kita membutuhkan lebih banyak
subjektivitas guru dan mendukung mereka untuk menemukan gairah (passion) dalam mengajar.
Sekolah tentu bukan satu-satunya
lokus kebangkitan literasi. Gerakan literasi juga perlu terjadi dalam
keluarga dan komunitas. Di samping langkah strategis di atas, pemerintah
perlu mendukung inisiatif-inisiatif kampanye literasi di masyarakat melalui
rumah baca dan perpustakaan komunitas. Hanya melalui upaya sinergis dan
kolaboratif di antara elemen pendukung elemen literasi, kebangkitan literasi
dapat terwujud pada 2015. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar