Senin, 05 Januari 2015

Kemarahan yang Membutakan

Kemarahan yang Membutakan

Sawitri Supardi Sadarjoen  ;  Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
KOMPAS,  04 Januari 2015

                                                                                                                       


Rasa marah yang menggebu adalah ungkapan dorongan agresi. Ungkapan ini sebenarnya dapat dijadikan tantangan bagi diri kita untuk lebih memahami siapa diri kita sebenarnya. Rasa marah menuntut kita secara berkelanjutan menyalahkan orang lain yang kita anggap sebagai penyebab masalah. Namun, rasa marah biasanya gagal membangkitkan kebahagiaan dalam diri kita. Kita merasa punya tugas untuk membuat orang lain berubah sesuai dengan kehendak kita, yaitu dalam sikap, cara berpikir, merasakan, dan berperilaku.

Kita juga tidak bisa membiarkan dan menerima dengan sikap pasif apa yang dilakukan orang yang kita cintai. Dalam kenyataannya sikap ”hidup dan membiarkan kehidupan berjalan begitu saja” bisa menjadi pertanda dari kondisi posisi kita sedang berada dalam proses ”penurunan harkat jati diri” kita.

Dengan kata lain, kita gagal memperjelas apa yang tidak kita inginkan dalam relasi yang terjalin dengan pasangan tercinta. Isu terpenting dalam hal ini adalah bagaimana cara kita untuk memperjelas posisi kita.

Rasa marah

Sebagai contoh kasus adalah Ani, yang saat ini sedang menjalani konseling psikologi. Ia benar-benar marah dengan sikap acuh tak acuh suami terhadap kesehatan dirinya.

Menurut Ani, suaminya mendapat perawatan medis yang kurang baik untuk penyakit yang cukup serius pada kakinya, dan Ani merasa bahwa tidak ada usaha suami untuk mencari dokter yang lebih baik.

Dengan disertai amarah, Ani yang kebetulan seorang dosen mengungkap dan menginterpretasikan perilaku dan perasaan suami dengan menyatakan, ”Kamu, menghancurkan dirimu sendiri seperti yang ayahmu lakukan. Kamu menghindar karena takut menerima kenyataan tentang penyakitmu, andai pergi ke dokter yang akan lebih cermat memeriksamu.”

Sebagai respons, si suami justru memperkeras sikapnya, tidak mau konsul ke dokter lain, dan tegas menolak berobat lanjut.

Dapat kita bayangkan bagaimana iklim relasi mereka. Ani keras bicara dan mendorong suami untuk berobat, suami lebih keras lagi bertahan untuk menolak anjuran Ani.

Akhirnya, Ani menyadari caranya mengingatkan suami tidak efektif sama sekali. Ani jadi yakin bahwa kesehatan suaminya sangat bergantung penuh pada suami sendiri, karena itu risiko sang suami sendirilah jika terjadi sesuatu yang lebih serius dengan penyakit kakinya. Dengan kata lain, itu adalah kerjaan suaminya dan bukan tanggung jawab Ani.

Namun, di sisi lain, Ani juga harus berpikir serius tentang kemarahannya kepada suami. Artinya, Ani bisa memanfaatkan perasaan marah tersebut untuk membuat dirinya lebih yakin akan posisinya dan ia yakin bahwa ia tidak bisa hidup dengan status yang tidak jelas bagi dirinya.

Ubah strategi

Untuk itu, Ani mulai melakukan perubahan penting dalam cara menjalin relasi dengan suaminya, Ani mengungkap bagaimana perasaannya sendiri dan mulai tidak mengkritik suami atau menginstruksikan sesuatu kepada suami.

Ayah Ani meninggal saat Ani berusia 12 tahun karena penyakit degeneratif yang dideritanya, dan menurut cerita ibunya, ayah Ani enggan berobat dan mencoba-coba obat herbal pilihan sendiri. Tanpa memperhatikan sikap suami yang cenderung menghancurkan dirinya sendiri atau mengelak melakukan upaya berobat dengan serius, Ani menyarankan suami untuk mencari pertolongan medis dengan alasan demi mempertimbangkan kekhawatiran Ani.

Ani kemudian menjelaskan bagaimana ketakutan dan kecemasannya terhadap penyakit yang diderita suaminya, yang membuat Ani tidak mampu lagi melakukan kegiatan kesehariannya sebagai dosen dengan penuh konsentrasi. Ia juga tidak bisa berlagak seolah tidak terjadi apa pun dalam dirinya.

Dalam hal ini Ani sama sekali tidak menyalahkan suami, tetapi ia berkata, bahwa ia tahu apa yang terbaik suami lakukan demi kesehatannya. Ani meminta suaminya untuk menghargai intensitas ketidaknyamanan oleh karena penyakit yang diderita suami. Ani sama sekali tidak menyalahkan sikap suami walaupun ia tahu betul apa yang harus dilakukan suaminya, melainkan hanya sekadar berbagi perasaan tentang penyakit suaminya saja.

Akhirnya, demi pertimbangan akan ketidaknyamanan perasaan istrinya, suami Ani menyetujui untuk berobat ke dokter lain. Jadi perubahan sikap suaminya bukan dipicu oleh keinginannya sendiri untuk berobat ke dokter lain, namun atas dasar pertimbangan perasaan negatif yang selama ini diderita Ani.

Dengan demikian, jika kita menggunakan kemarahan untuk menyusun suatu pernyataan tertentu, tidak seorang pun dapat berargumentasi dengan apa yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan.

Mungkin kita bisa tambahkan pernyataan kita dengan ungkapan sebagai berikut: ” Ya, memang bisa saja menurut Anda apa yang saya pikir dan rasakan tidak masuk akal dan terkesan irasional, namun itulah cara pandang saya tentang permasalahan tersebut.”

Tentu saja cara tersebut belum tentu akan serta-merta mengubah perilaku orang lain, tetapi kita bisa coba sebagai salah satu alternatif cara menyiasati kemarahan demi perubahan cara orang lain dalam bersikap terhadap kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar