Kisah
Lama Palestina-Israel
Musthafa Abd Rahman ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 04 Januari 2015
Langkah
Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, di hari pengujung 2014
mengantarkan hubungan Israel dan Palestina tiba-tiba kembali memanas. Abbas menandatangani
nota permintaan bergabungnya Palestina dengan 22 organisasi internasional,
khususnya Mahkamah Kriminal Internasional (ICC),
Palestina
langsung menyiapkan dakwaan hukum ke ICC yang meminta segera dilakukan
penyidikan atas kejahatan perang yang dilakukan Israel pada perang Jalur
Gaza, Juli dan Agustus 2014. Israel pun balik mengancam akan melakukan balas
dendam jika Palestina terus nekat menuju ICC.
Palestina
akhirnya terpaksa menggunakan kartu ICC dalam melawan Israel, menyusul
gagalnya resolusi Palestina diadopsi DK PBB pada Selasa (30/12). Resolusi
Palestina itu menegaskan berakhirnya pendudukan Israel atas Palestina tahun
1967 dalam tiga tahun.
Ketegangan
hubungan Israel-Palestina pada pengujung tahun 2014 dan awal 2015 itu semakin
meneguhkan tentang rangkaian dinamika paling rumit, bahkan sering berdarah,
terkait konflik Israel-Palestina sepanjang tahun 2014.
Dimulai dari
perang Jalur Gaza yang berlangsung selama 50 hari pada Juli-Agustus, kemudian
aksi ekstremis Yahudi mendobrak kompleks Masjid Al Aqsa pada Oktober-November
lalu, hingga tewasnya Menteri Palestina Urusan Pemantauan Permukiman Yahudi
Ziad Abu Ein di tangan tentara Israel pada 10 Desember 2014.
Pada 8 Juli
2014, Israel tiba-tiba menyerang secara brutal ke Jalur Gaza. Serangan Israel
tersebut paling berdarah sejak berdirinya Hamas tahun 1988 hingga sekarang.
Israel
berdalih, serangan masif ke Gaza sebagai balasan atas tewasnya tiga warga
Yahudi di kota Hebron-Tepi Barat pada 12 Juni 2014 yang ditengarai dilakukan
aktivis Hamas.
Kasus
pembunuhan tiga warga Yahudi di Hebron itu terjadi hanya beberapa saat
setelah gagalnya perundingan damai Israel-Palestina, serta tercapainya
kesepakatan rekonsiliasi Hamas-Fatah, dan pembentukan pemerintah persatuan
Palestina.
Hamas dan
gerakan perlawanan Palestina kemudian terlibat perang panjang selama 50 hari
melawan Israel. Selama perang itu, gerakan perlawanan Palestina berhasil
menembakkan roket ke wilayah Israel. Roket Palestina bahkan untuk pertama
kali mencapai bandara internasional David Ben Gurion di Tel Aviv.
Sebaliknya,
Israel gagal menghentikan sepenuhnya serangan roket Palestina dari Jalur Gaza
ke wilayah Israel. Tel Aviv mengakui pula mengalami kerugian cukup signifikan
dengan tewasnya 64 tentaranya dan 600 orang lainnya luka-luka.
Israel
mengalami kerugian pula dalam konteks hubungannya dengan masyarakat
internasional, khususnya dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS). Bahkan,
sejumlah negara Amerika Latin menarik dubesnya dari Tel Aviv sebagai protes
terhadap serangan ke Gaza.
Israel
dituduh pula melakukan kejahatan perang di Jalur Gaza. Hal itu yang mendorong
Dewan HAM PBB membentuk komite penyidik internasional untuk melakukan
penyidikan atas kejahatan perang yang dilakukan Israel di Jalur Gaza.
Tidak
berselang lama dari berakhirnya perang Gaza pada Agustus lalu segera timbul
ketegangan berdarah di Jerusalem timur dan Tepi Barat akibat ulah kaum
ekstremis Yahudi dan sejumlah anggota Knesset mendobrak kompleks Masjid Al
Aqsa sejak akhir September hingga akhir Oktober 2014.
Sejak
menduduki Masjid Al Aqsa pada perang Arab-Israel tahun 1967, Israel berusaha
mempertahankan status quo di Masjid Al Aqsa, yakni kaum Muslim tetap
diizinkan shalat dan kaum Yahudi diperkenankan ziarah ke kompleks itu sebagai
bagian dari program wisata asing.
Memaksakan kedaulatan
Namun,
beberapa tahun terakhir ini, kaum ekstremis Yahudi mencoba melakukan
perubahan atas status quo Masjid Al Aqsa dengan mengizinkan kaum Yahudi
beribadah di kompleks masjid itu. Kaum ekstremis Yahudi juga meminta Knesset
(parlemen Israel) mengeluarkan undang-undang yang membagi kompleks Masjid Al
Aqsa antara Yahudi dan Muslim serta memaksakan kedaulatan Israel atas
kompleks itu.
Puncak
ketegangan Israel-Palestina itu terjadi ketika Israel untuk pertama kali pada
30 Oktober menutup kompleks Masjid Al Aqsa dengan dalih keamanan.
Abbas, serta
publik Palestina dan dunia Arab, serta merta marah besar atas tindakan Israel
menutup kompleks Masjid Al Aqsa tersebut.
Jordania
sebagai pemelihara kompleks Masjid Al Aqsa langsung menarik dubesnya dari Tel
Aviv, dan mengajukan somasi kepada DK PBB atas tindakan Israel menutup
kompleks Masjid Al Aqsa, serta membatalkan acara peringatan 20 tahun
kesepakatan damai Israel-Jordania yang ditandatangani pada 1994.
Reaksi keras
Palestina dan dunia Arab itu memaksa Israel melunak dan segera membuka
kembali kompleks Masjid Al Aqsa tersebut.
Meski isu
kompleks Masjid Al Aqsa saat itu untuk sementara bisa ditenangkan, tiba-tiba
hubungan Israel-Palestina berkobar lagi menyusul tewasnya Menteri Palestina
Urusan Pemantauan Permukiman Yahudi Ziad Abu Ein (55) di tangan tentara
pendudukan Israel di Desa Turmus Ayya dekat kota Ramallah-Tepi Barat, Rabu,
10 Desember lalu.
Tewasnya Abu
Ein itu menjadi latar belakang Palestina mengajukan resolusi ke forum DK PBB
yang menegaskan berakhirnya pendudukan Israel di tanah Palestina dalam kurun
tiga tahun. Namun, resolusi itu gagal diadopsi DK PBB karena tidak mendapat
dukungan minimal sembilan dari 15 anggota DK PBB. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar