Senin, 05 Januari 2015

Kisah Lama Palestina-Israel

Kisah Lama Palestina-Israel

Musthafa Abd Rahman  ;  Wartawan Kompas
KOMPAS,  04 Januari 2015

                                                                                                                       


Langkah Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, di hari pengujung 2014 mengantarkan hubungan Israel dan Palestina tiba-tiba kembali memanas. Abbas menandatangani nota permintaan bergabungnya Palestina dengan 22 organisasi internasional, khususnya Mahkamah Kriminal Internasional (ICC),
Palestina langsung menyiapkan dakwaan hukum ke ICC yang meminta segera dilakukan penyidikan atas kejahatan perang yang dilakukan Israel pada perang Jalur Gaza, Juli dan Agustus 2014. Israel pun balik mengancam akan melakukan balas dendam jika Palestina terus nekat menuju ICC.

Palestina akhirnya terpaksa menggunakan kartu ICC dalam melawan Israel, menyusul gagalnya resolusi Palestina diadopsi DK PBB pada Selasa (30/12). Resolusi Palestina itu menegaskan berakhirnya pendudukan Israel atas Palestina tahun 1967 dalam tiga tahun.

Ketegangan hubungan Israel-Palestina pada pengujung tahun 2014 dan awal 2015 itu semakin meneguhkan tentang rangkaian dinamika paling rumit, bahkan sering berdarah, terkait konflik Israel-Palestina sepanjang tahun 2014.

Dimulai dari perang Jalur Gaza yang berlangsung selama 50 hari pada Juli-Agustus, kemudian aksi ekstremis Yahudi mendobrak kompleks Masjid Al Aqsa pada Oktober-November lalu, hingga tewasnya Menteri Palestina Urusan Pemantauan Permukiman Yahudi Ziad Abu Ein di tangan tentara Israel pada 10 Desember 2014.

Pada 8 Juli 2014, Israel tiba-tiba menyerang secara brutal ke Jalur Gaza. Serangan Israel tersebut paling berdarah sejak berdirinya Hamas tahun 1988 hingga sekarang.

Israel berdalih, serangan masif ke Gaza sebagai balasan atas tewasnya tiga warga Yahudi di kota Hebron-Tepi Barat pada 12 Juni 2014 yang ditengarai dilakukan aktivis Hamas.

Kasus pembunuhan tiga warga Yahudi di Hebron itu terjadi hanya beberapa saat setelah gagalnya perundingan damai Israel-Palestina, serta tercapainya kesepakatan rekonsiliasi Hamas-Fatah, dan pembentukan pemerintah persatuan Palestina.

Hamas dan gerakan perlawanan Palestina kemudian terlibat perang panjang selama 50 hari melawan Israel. Selama perang itu, gerakan perlawanan Palestina berhasil menembakkan roket ke wilayah Israel. Roket Palestina bahkan untuk pertama kali mencapai bandara internasional David Ben Gurion di Tel Aviv.

Sebaliknya, Israel gagal menghentikan sepenuhnya serangan roket Palestina dari Jalur Gaza ke wilayah Israel. Tel Aviv mengakui pula mengalami kerugian cukup signifikan dengan tewasnya 64 tentaranya dan 600 orang lainnya luka-luka.

Israel mengalami kerugian pula dalam konteks hubungannya dengan masyarakat internasional, khususnya dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS). Bahkan, sejumlah negara Amerika Latin menarik dubesnya dari Tel Aviv sebagai protes terhadap serangan ke Gaza.

Israel dituduh pula melakukan kejahatan perang di Jalur Gaza. Hal itu yang mendorong Dewan HAM PBB membentuk komite penyidik internasional untuk melakukan penyidikan atas kejahatan perang yang dilakukan Israel di Jalur Gaza.

Tidak berselang lama dari berakhirnya perang Gaza pada Agustus lalu segera timbul ketegangan berdarah di Jerusalem timur dan Tepi Barat akibat ulah kaum ekstremis Yahudi dan sejumlah anggota Knesset mendobrak kompleks Masjid Al Aqsa sejak akhir September hingga akhir Oktober 2014.

Sejak menduduki Masjid Al Aqsa pada perang Arab-Israel tahun 1967, Israel berusaha mempertahankan status quo di Masjid Al Aqsa, yakni kaum Muslim tetap diizinkan shalat dan kaum Yahudi diperkenankan ziarah ke kompleks itu sebagai bagian dari program wisata asing.

Memaksakan kedaulatan

Namun, beberapa tahun terakhir ini, kaum ekstremis Yahudi mencoba melakukan perubahan atas status quo Masjid Al Aqsa dengan mengizinkan kaum Yahudi beribadah di kompleks masjid itu. Kaum ekstremis Yahudi juga meminta Knesset (parlemen Israel) mengeluarkan undang-undang yang membagi kompleks Masjid Al Aqsa antara Yahudi dan Muslim serta memaksakan kedaulatan Israel atas kompleks itu.

Puncak ketegangan Israel-Palestina itu terjadi ketika Israel untuk pertama kali pada 30 Oktober menutup kompleks Masjid Al Aqsa dengan dalih keamanan.

Abbas, serta publik Palestina dan dunia Arab, serta merta marah besar atas tindakan Israel menutup kompleks Masjid Al Aqsa tersebut.

Jordania sebagai pemelihara kompleks Masjid Al Aqsa langsung menarik dubesnya dari Tel Aviv, dan mengajukan somasi kepada DK PBB atas tindakan Israel menutup kompleks Masjid Al Aqsa, serta membatalkan acara peringatan 20 tahun kesepakatan damai Israel-Jordania yang ditandatangani pada 1994.

Reaksi keras Palestina dan dunia Arab itu memaksa Israel melunak dan segera membuka kembali kompleks Masjid Al Aqsa tersebut.

Meski isu kompleks Masjid Al Aqsa saat itu untuk sementara bisa ditenangkan, tiba-tiba hubungan Israel-Palestina berkobar lagi menyusul tewasnya Menteri Palestina Urusan Pemantauan Permukiman Yahudi Ziad Abu Ein (55) di tangan tentara pendudukan Israel di Desa Turmus Ayya dekat kota Ramallah-Tepi Barat, Rabu, 10 Desember lalu.

Tewasnya Abu Ein itu menjadi latar belakang Palestina mengajukan resolusi ke forum DK PBB yang menegaskan berakhirnya pendudukan Israel di tanah Palestina dalam kurun tiga tahun. Namun, resolusi itu gagal diadopsi DK PBB karena tidak mendapat dukungan minimal sembilan dari 15 anggota DK PBB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar