Format
Baru Relasi Islam dan Pancasila
Mamun Murod Al-Barbasy ;
Direktur
Pusat Studi Islam dan Pancasila
(PSIP) FISIP UMJ
|
KORAN
SINDO, 02 Januari 2015
Tanggal
22-29 November 2014, Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ
melakukan survei nasional mengenai relasi Islam dan Pancasila. Survei
melibatkan 100 responden di tingkat provinsi, yang terdiri atas pengurus
Muhammadiyah 40%, NU 40%, FPI 1%, HTI 1%, MUI 17%, dan GPII 1%.
Untuk
memperkuat hasil survei, dilakukan juga wawancara mendalam (in depth interview) dengan melibatkan
10 tokoh nasional yang berasal dari NU, Muhammadiyah, Persis, DDII, HTI, FPI,
MUI, dan IJABI. Ditilik dari tingkat pendidikan responden, 50% lulusan S-1,
28% lulusan S-2, dan 22% lulusan S-3.
Survei
ini bertujuan untuk mengetahui opini elite Islam tentang relasi Islam dan
Pancasila; memetakan pandangan dan pemikiran elite Islam tentang Pancasila
dalam konteks beragama; memberikan sumbangsih pemikiran dalam konteks
penguatan pemahaman dan pengamalan Pancasila, serta mendorong partisipasi
aktif para tokoh Islam dalam penguatan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai
Pancasila. Survei juga bertujuan untuk mengonfirmasi kevalidan penelitian
yang hampir serupa, yang pernah dilakukan oleh lembaga lain.
Hasil
Survei
Hasil
survei ini cukup menggembirakan dalam konteks penguatan Pancasila sebagai
ideologi negara. Diketahui 100% menyatakan setuju Pancasila menjadi dasar
negara. Temuan ini menunjukkan perkembangan yang menarik. Di awal Reformasi
banyak muncul gerakan yang ingin menerapkan syariah Islam atau mengusulkan
kembali Piagam Jakarta, ternyata gerakantersebuttetapminoritas dan tak
memiliki basis massa yang kuat.
Kokohnya
Pancasila sebagai ideologi negara diperkuat dengan pandangan responden yang
menyatakan bahwa nilainilai Islam tidak bertentangan dengan Pancasila
sebanyak 95%. Hanya 5% yang menyebut Islam dan Pancasila saling bertentangan.
Temuan ini menguatkan fakta Pancasila yang memang digali dari nilai-nilai
sosial, budaya, dan agama masyarakat Indonesia.
Sebanyak
66% responden menyebut setuju Islam sebagai sumber nilai kehidupan berbangsa
dan bernegara, dan hanya 33% yang menolak, dan 1% tanpa komentar. Meski
dukungan terhadap Pancasila sangat tinggi, dalam survei ini didapati
ketakkonsistenan, 33% responden rindu hadirnya kembali Piagam Jakarta.
Sementara yang menolak 67%.
Pandangan
ini menunjukkan bahwa di kalangan responden masih menyimpan imajinasi masa
lalu tentang Piagam Jakarta, meski responden sadar bahwa keinginan tersebut
tidak mudah direalisasi. Sebagian besar elite Islam setuju bahwa ormas Islam
harus terlibat sosialisasi Pancasila, yaitu sebanyak 95%. Sementara yang
menolak 4%, dan abstain 1%. Responden juga 90% setuju jika Pancasila menjadi
bagian dari materi pengaderan ormas-ormas Islam. Hanya 10% yang tidak setuju.
Terkait
Islam sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, 68% responden
juga menyatakan setuju. Sementara 32% menolak. Sepintas sikap responden ini
ambigu. Satu sisi menghendaki Pancasila sebagai dasar negara, tetapi sisi
lain juga menghendaki peran besar Islam dalam kehidupan bernegara.
Sikap
responden ini sebaiknya dimaknai bahwa ada harapan besar agar Islam memiliki
peran normatif dan menjadi sumber nilai. Konteks demokrasi tentu wajar ketika
nilai-nilai mayoritas ingin mewarnai secara dominan pula dalam konteks
kehidupan bernegara. Meski sepakat Pancasila sebagai ideologi negara, mereka
tidak ingin Islam marjinal secarapolitik.
Mereka
ingin nilai-nilai Islam dominan dalam kehidupan bernegara. Keinginan tersebut
sangat mungkin diilhami oleh kenyataan bahwa Islam selama ini telah menjadi
sumber nilai di Indonesia, bahkan jauh sebelum merdeka. Tergambar dari
kerajaan-kerajaan Islam yang pernah hadir di Indonesia.
Terkait
apakah negara wajib menerapkan syariat Islam untuk semua Muslim, 51%
responden menyatakan setuju, sementara 47% tak setuju dan abstain 2%.
Pertanyaan ini diajukan terkait dengan maraknya ormas Islam baru di level
lokal yang menuntut penegakan syariah Islam. Perlunya negara menerapkan
syariat Islam diperkuat 50% responden yang menyatakan setuju penerapan
perda-perda syariah, yang tidak setuju 44%, dan abstain 6%.
Format Baru Relasi
Memperhatikan
hasil survei ini, bisa disimpulkan adanya optimisme besar terhadap Pancasila
sebagai dasar negara. Dalam konteks ormas Islam, bisa dikatakan bahwa posisi
Pancasila saat ini jauh lebih kuat dibandingkan dulu. Sangat mungkin jika
survei dilakukan pada paruh 1940-an sampai paruh 1980-an hasilnya akan
berbeda, karena saat itu polarisasi ideologinya begitu kuat.
Hal
ini terlihat saat sidangsidang pembahasan dasar negara, baik di BPUPKI, PPKI,
Panitia Sembilan, dan Konstituante maupun saat muncul kebijakan negara yang
berwajah ideologis, seperti soal RUU Perkawinan, Aliran Kepercayaan, dan asas
tunggal Pancasila, yang disikapi secara ekstrem oleh kekuatan Islam saat itu.
Dalam
Pancasila terdapat nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
permusyawaratan, dan keadilan. Jika diterminologikan, nilai-nilai itu menjadi
al-insanu, al-jamal-insanu, aljamatu, al-musyawarah, dan al-adl. Adapun
ketuhanan bisa dikaitkan dengan banyak nama seperti Ar-Rahman, Al-Malik, Al-
Quddus. Sementara terkait dengan Esa, dalam Islam dikenal terminologi
Al-Wahid atau Al-Ahad.
Semua
nilainilai itu sangat Islami. Dalam berbagai kesempatan, Soekarno menyampaikan
bahwa nilai-nilai agama harus dilibatkan sepenuhnya, tidak setengah ataupun
sebagian. Karena itu, agama menjadi pokok. Kehadirannya tak perlu
dipersoalkan lagi. Jika berbicara mengenai penguatan Pancasila, nilai-nilai
agama itu menjadi pokok satu kekuatan yang terlibat penuh.
Merujuk
pandangan Soekarno, jelas bahwa agama harus diberi ruang untuk berkontribusi
tanpa harus menjadi dasar negara. Nilai-nilainya harus dijadikan rujukan
kehidupan berbangsa. Hal terpenting adalah diterimanya pesan moral Islam,
yang mampu memberikan rambu-rambu tentang apa yang harus dilakukan dan tak
dilakukan oleh negara demi terwujudnya kebaikan masyarakat (maslahati al-ammah).
Islam
tak seharusnya dijadikan sebagai pesaing Pancasila. Umat Islam harus yakin
bahwa Pancasila merupakan penjabaran dari nilai-nilai Islam. Membenturkan
Pancasila dan Islam itu tindakan ekstrem dalam memahami Islam dan Pancasila.
Mempertentangkan Islam dengan Pancasila sama halnya merendahkan marwah Islam
karena menyejajarkan Islam dengan Pancasila.
Agama
merupakan “produk langit”, sementara Pancasila adalah “produk bumi”.
Kehadiran Islam tidak selayaknya dipertentangkan dengan Pancasila.
Sebaliknya, Islam harus dijadikan rujukan sumber-sumber nilai untuk mengatur
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Dalam konteks ini,
perlu ada tawaran format baru terkait relasi Islam dan Pancasila.
Format
ini harus mengusung semangat rekonsiliasi, dengan mendudukan perannya
masing-masing, tidak sebagaimana perdebatan yang terjadi menjelang
kemerdekaan dan saat sidang-sidang di Konstituante. Saat itu ada dua kubu
yang secara ekstrem terlibat perdebatan, yaitu kaum nasionalis sekuler yang
menginginkan Pancasila sebagai dasar negara dan kaum nasionalis Islam yang
menginginkan Islam sebagai dasar negara.
Perdebatan
ini lahir akibat tidak adanya kesadaran bahwa Pancasila dan Islam merupakan
dua entitas yang kehadirannya tak terelakkan, sehingga tak mungkin saling
menegasikan. Dari hasil survei ini, terlihat bahwa masyarakat tidak banyak
mendukung keberadaan negara Islam dan pendirian khilafah Islamiah di
Indonesia.
Hal
ini menunjukkan bahwa umat Islam sebenarnya lebih membutuhkan tawaran program
politik yang lebih jelas dan konkret serta terkait dengan kebutuhan
sehari-hari. Ide tentang negara Islam maupun khilafah merupakan hal yang
mewah dan menarik sebagai wacana, namun sering berujung pada kebuntuan ketika
menyasar hal-hal yang membutuhkan penyelesaian secara tepat.
Sementara
dalam kerangka menghindari polemik Islam dan Pancasila yang tak berkesudahan,
kiranya perlu memberikan kado “istimewa” kepada umat Islam. Perlakuan
istimewa ini bukan dengan cara memasukkan kembali rumusan Piagam Jakarta ke
dalam UUD 1945, tetapi lebih berupa sikap politik negara yang mengakomodasi
kepentingan sosial-keagamaan umat Islam yang merupakan bagian dari kearifan
lokal.
Namun apa yang disebut sebagai kearifan
lokal, tetap harus tampil dengan memperhatikan sila-sila Pancasila.
Seandainya kita menganggap kehadiran perda-perda syariah, misalnya, sebagai
ekspresi kearifan lokal, maka perda-perda syariah tersebut harus disusun
bukan hanya dengan pertimbangan menjalankan sila pertama, tetapi juga
sila-sila lainnya.
Perda-Perda
syariah tidak boleh bernuansa egois partikularis yang hanya mementingkan satu
kelompok, melainkan harus berwawasan Nusantara dan berke-bhineka-tunggal-ika-an.
Melalui format baru relasi Islam dan Pancasila ini, pertentangan Islam dan
Pancasila diharapkan bisa diakhiri.
Baik
Islam dan Pancasila bisa dijadikan sebagai inspirasi dan sumber nilai. Sudah
saatnya energi bangsa ini tidak boleh lagi dicurahkan untuk hal-hal yang
mubazir . Apalagi, hingga saat ini bangsa Indonesia masih dihadapkan pada
persoalan-persoalan yang jauh lebih kompleks dari sekadar persoalan
ideologis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar