Demokratisasi
dan Korupsi Parpol
Adnan Topan Husodo ; Anggota Perkumpulan Indonesia Corruption Watch
|
KOMPAS, 09 Januari 2015
SALAH satu kemunduran besar partai politik di Indonesia
adalah mandeknya sirkulasi elite karena dominasi yang terlalu besar dari
”pemilik”-nya. Hal itu terwujud dalam sentralisme kekuasaan, di mana proses
pengambilan keputusan—termasuk dalam memutuskan pergantian jabatan tertinggi,
yakni ketua umum—tidak berlangsung demokratis. Kecenderungan ketua umum
petahana untuk bertahan, dengan ”menyingkirkan” lawan tanding melalui upaya
pemecatan pengurus partai yang dianggap sebagai batu sandungan, merupakan
dinamika internal yang dapat kita amati secara telanjang.
Hampir tidak ada tantangan berarti bagi ketua umum petahana
untuk menjabat kembali karena absennya mekanisme sirkulasi jabatan yang
transparan. Aklamasi ketua umum partai, sebagaimana yang disoroti Abdillah
Toha, salah satu pendiri Partai Amanat Nasional di harian Kompas beberapa
waktu lalu, mengindikasikan ada masalah besar dalam usaha membangun
demokratisasi internal, termasuk mendorong agenda anti korupsi oleh partai
politik. Pasalnya, aklamasi, meskipun sah dalam sistem pemilihan yang
terbuka, tampaknya memiliki latar belakang yang kelam dan kotor, di mana permainan
politik uang—baik untuk membungkam suara kritis maupun membeli dukungan dari
pengurus tingkat daerah—diduga kuat terjadi.
Meski demikian, tidak ada jaminan juga bahwa melalui
pertarungan dua atau tiga kandidat untuk menjadi ketua umum partai, hal itu
berarti demokrasi telah terbangun, mengingat dalam kasus terpilihnya Anas
Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat terendus kabar praktik politik
uang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berusaha menyelisik asal-usul
uang, termasuk apakah digunakan dalam kontestasi Anas sebagai Ketua Umum
Partai Demokrat, meskipun hasilnya belum terlihat.
Artinya, baik melalui aklamasi maupun kontestasi,
pemilihan ketua umum partai di Indonesia tidak dapat dianggap sebagai
keinginan mayoritas anggota partai politik, apalagi menangkap aspirasi
masyarakat luas.
Akuntabilitas vertikal
Buruknya mekanisme demokratisasi internal partai politik
dan indikasi adanya suap/politik uang dalam penentuan ketua umum partai
mencerminkan hilangnya dua mekanisme akuntabilitas institusi/orang yang
semestinya ada dalam konteks good
governance.
Pertama, akuntabilitas vertikal, di mana partai politik
semestinya berada dalam radar pengawasan publik secara luas, melalui berbagai
sarana kontrol, baik media massa maupun masyarakat sipil. Media massa yang
idealnya menjadi penyeimbang banyak yang terjebak pada konflik kepentingan
karena kuasa pemilik media yang sekaligus adalah ketua umum partai. Awak
media dipaksa tidak lagi bekerja secara kritis, tetapi menjadi corong partai
politik tertentu. Demikian pula masyarakat sipil, mengalami persoalan dalam
melakukan tekanan kepada partai politik karena tidak memiliki daya tawar
cukup kuat.
Meskipun suara kritis dari kalangan masyarakat sipil masih
tidak terlalu diperhitungkan oleh elite partai, ada kecenderungan positif di
mana sikap dan keputusan internal partai politik memiliki keterkaitan dengan
perolehan suara dalam pemilihan umum. Artinya, masyarakat pemilih kian
menjaga jarak dengan partai sehingga memiliki kemampuan untuk mengkritisi dan
memberikan hukuman kepada partai politik dalam pemilu.
Ikatan ideologis yang selama ini menjadi perekat antara
pendukung loyal dan elitenya kian pudar karena praktik manipulasi yang
berlangsung terus-menerus. Tak heran semakin banyak pemilih yang kehilangan
kepercayaan kepada partai dan menaruhkan harapan kepada individu-individu di
partai politik.
Secara terbatas, akuntabilitas vertikal juga tidak
terbangun dalam kaitannya dengan hubungan antara elite partai dan
pengurus/anggotanya. Suara anggota dan pengurus di tingkat wilayah atau
daerah lebih banyak menjadi stempel bagi rezim berkuasa karena mekanisme
demokrasi internal yang tidak terbangun dengan baik. Pengurus daerah
tampaknya lebih memilih mengambil sikap oportunis, mengikuti ke mana angin di
atasnya bergerak. Faktor utamanya adalah sumber keuangan partai yang hanya
berasal dari segelintir orang. Agaknya, pilihan untuk mendesentralisasi
partai politik perlu didiskusikan lebih dalam untuk menjawab tantangan ini.
Akuntabilitas horizontal
Kedua, akuntabilitas horizontal dari institusi/lembaga
negara yang ada kepada partai politik juga sangat terbatas.
Dalam sistem demokrasi liberal yang matang, lembaga
semacam Komisi Pemilihan Umum (KPU) oleh konstitusinya dipercayai melakukan
pengawasan secara penuh kepada partai politik, sekaligus memberikan sanksi
tegas jika ada pelanggaran. Pada kasus Indonesia, KPU lebih diorientasikan
sebatas penyelenggara, sementara pengawasan yang sangat terbatas ada pada
Bawaslu. Lemahnya KPU dan Bawaslu dalam mengawasi partai politik sebenarnya
bisa diimbangi dengan fungsi kontrol dari lembaga lain, seperti KPK,
kejaksaan, atau kepolisian, khususnya dalam konteks memberantas maraknya
indikasi politik uang di internal partai.
Akan tetapi, hambatan dalam melakukan penegakan hukum atas
praktik korupsi di internal partai politik adalah karena secara yuridis, KPK
sebagai contoh, bekerja dalam lingkup dan ketentuan perundang-undangan yang
terbatas. Korupsi internal partai politik di Indonesia belum atau tidak
dimasukkan sebagai bagian dari pidana korupsi sebagaimana Undang-Undang
Korupsi telah mengatur definisi, kriteria, dan ruang lingkupnya. Oleh karena
itu, ada kesan jika korupsi internal partai lebih langgeng dan aman dilakukan
karena berada dalam ruang yang kedap jangkauan hukum.
Andaipun KPK atau lembaga penegak hukum lainnya berwenang
menanganinya, paling tidak ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama,
syarat yang berkaitan dengan aturan legal-formal di mana unsur adanya pejabat
publik, pegawai negeri sipil, dalam suap yang terjadi atau jika diketahui
sumber dana untuk penyuapan berasal dari keuangan negara. Kedua, adanya
independensi politik aparat penegak hukum.
Untuk syarat yang pertama, tentu saja perlu ada reformasi
peraturan perundang-undangan dengan memasukkan kategori korupsi di tubuh
partai politik, tanpa syarat apa pun, sebagai bagian dari delik korupsi yang
bisa diproses oleh aparat penegak hukum. Di Hongkong sebagai contoh, suap di
internal partai politik dalam konteks apa pun, berikut dengan praktik politik
uang dalam pemilu, dapat ditangani oleh ICAC—lembaga superbodi seperti
KPK—tanpa keterlibatan Bawaslu ataupun KPU-nya.
Sementara untuk syarat yang kedua, independensi penegak
hukum bukan semata soal legal-formal. Akan tetapi, ia terbentuk dari proses panjang,
dipengaruhi oleh nilai-nilai dan kultur politik yang berlaku secara
kontekstual. Independensi juga dipengaruhi oleh sistem integritas yang
dimiliki lembaga penegak hukum beserta personelnya. Dalam soal yang kedua ini
pun kita masih perlu berbenah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar