Jumat, 09 Januari 2015

Borjuasi Lokal

Borjuasi Lokal 

Ferdy Hasiman  ;   Peneliti di Indonesia Today, Jakarta
KOMPAS,  09 Januari 2015

                                                                                                                       


SETELAH pemberlakuan otonomi daerah, pemerintah daerah (gubernur, bupati/wali kota) diberi wewenang luas mengolah keuangan dan sumber daya alam, seperti pertambangan dan sawit. Namun, kekuasaan yang begitu besar membuat pemda rentan korupsi. Tulisan ini hanya mengulas korupsi di sektor SDA.

Korupsi sumber daya alam (SDA) melibatkan penguasa lokal dan pengusaha (korporasi) dengan berbagai modus, seperti menjual lisensi tambang dan hutan. Banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal telah melaporkan dugaan korupsi yang melibatkan pemda dan korporasi tambang. Selama tahun 2013, ada 10 kasus korupsi pertambangan dilaporkan LSM ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa di antaranya dugaan korupsi pemberian izin pasir besi di Pasaman Barat, Sumatera Barat; dugaan korupsi pemberian konsensi kepada perusahaan pertambangan di Konowe Selatan; dan dugaan korupsi pemberian konsensi kepada satu perusahaan di Banyuwangi, Jawa Timur. Namun, sampai kini KPK belum melakukan investigasi atas laporan-laporan ini karena bertumpuknya korupsi di pusat dan keterbatasan sumber daya manusia untuk menjangkau daerah.

Kerja aparat penegak hukum daerah tak bisa diandalkan untuk menjinakkan watak ganas korupsi. Kontrol media terhadap kekuasaan lokal pun hampir minim. Ini menyebabkan kekuasaan lokal sesuka hati menggadaikan kekuasaan untuk kepentingan privat. Korupsi di daerah kemudian kian sistemik.

Kekuasaan sebagai instrument

Menurut laporan Kejaksaan Agung, salah satu pemilik rekening gendut hasil penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (2005-2012) adalah salah satu gubernur di Sulawesi, yang diduga menerima dana suap senilai 4,5 juta dollar AS dari perusahaan tambang nikel pada 2010 melalui polis asuransi PT AXA Mandiri.  Ini baru satu contoh kasus yang menunjukkan bahwa pemda adalah salah institusi birokrasi yang rentan korupsi. Mereka (gubernur, bupati/wali kota) adalah borjuasi lokal yang kaya mendadak (memiliki mobil dan rumah mewah), tak sepadan dengan pendapatan mereka sebagai pejabat publik. Mereka bukan kaya karena faktor produksi (berkeringat dan bekerja keras), melainkan karena menjual lisensi SDA, seperti tambang, kepada pengusaha.

Mereka harus melakukan korupsi demi mengamankan hari depan. Pada masa depan, pejabat publik tidak berkuasa lagi, sudah uzur, dan karena itu tak produktif lagi. Prinsip mereka: mumpung masih berkuasa, gunakan saja kekuasaan untuk menumpuk uang.

Borjuasi lokal menggunakan kekuasaan sebagai instrumen untuk memperkaya diri. Aturan dan hukum dibuat hanya untuk kepentingan pemodal. Kekuasaan yang dipilih melalui kompetisi bebas di alam demokrasi justru digunakan untuk memperkaya diri dengan cara jadi fasilitator eksploitasi SDA. Pemda hanya jadi kaki tangan pemodal. Kekuasaan kemudian bukan lagi bersifat transformatif (memberdayakan rakyat), tetapi bersifat eksploitatif dan menindas warga negara dengan berbagai kekuatan dan tekanan politik.

Perilaku elite lokal seperti ini, menurut Daron Acemoglu dan James A Robinson (2012), menciptakan institusi ekstraktif. Institusi ekstraktif cenderung memonopoli kekuasaan, menumpulkan harapan penegakan hukum, dan membonsai daulat rakyat, hanya untuk mengumpulkan harta. Mereka abai membangun infrastruktur publik, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan. Institusi ekstraktif cenderung menindas rakyatnya. Elite-elitenya hidup dalam kemewahan dan korupsi.

Angkatlah contoh kasus negara miskin di Afrika, Kongo. Setelah merdeka tahun 1960-an, ekonomi Kongo merosot tajam karena pemerintahan Joseph Mbotu membiarkan rakyat melarat. Mbotu hidup bergelimang harta, sementara rakyat menderita. Ia membangun istana di Gbadolif, tanah kelahirannya, dilengkapi bandara dan pesawat jet supersonik Concorade yang disewa dari Air France untuk bepergian ke Eropa. Di Eropa, Mbotu memiliki banyak tanah, seperti di Brussels, hasil dari memeras keringat rakyatnya sendiri.

Jika kita menelusuri secara cermat semua aset dan kekayaan pemda, saya kira hampir mirip dengan kekuasaan Mbotu di Kongo. Banyak pejabat pemda yang punya rumah mewah di kota metropolis dan menumpuk rekening gendut hasil penjualan konsensi SDA. Upaya melacak aset pejabat daerah butuh kerja ekstra-keras dari aparat penegak hukum, seperti KPK, dan didukung penuh pemerintah.

Ironis memang! Daerah kaya batubara, seperti Kalimantan dan Sumatera, tetapi rakyatnya melarat dan tak mendapat listrik. Padahal, jika bupati/gubernur memerintahkan setiap perusahaan batubara membangun pembangkit tenaga listrik, batubara yang dikeluarkan tidak seberapa jika dibandingkan dengan produksi batubara perusahaan yang hampir mencapai 40.000 ton per tahun. Akan tetapi, itu tidak terjadi karena bupati/gubernur hanya menjadikan konsensi tambang mesin pengumpul harta.

Pembangunan daerah lalu menjadi medan pertarungan elite-elite lokal, dan rakyat diletakkan sebagai pihak yang dikuasai. Relasi semacam ini menempatkan negara sebagai perampas daulat rakyat. Cara pandang mereka tentang pembangunan daerah serba sempit dan mengikuti jargon-jargon pembangunan yang ditawarkan investor (korporasi). Bagi mereka, daerah akan makmur dan sejahtera jika investasi berskala kolosal, seperti tambang mengalir di daerah, meskipun menerobos hutan lindung dan permukiman warga. Mereka hanya menganggap pembangunan daerah sebagai urusan teknis dan mengabaikan aspek politik, ekonomi, dan budaya lokal.

Padahal, untuk itulah otonomi daerah digagas setelah reformasi. Otonomi daerah digagas untuk mengatasi sentralisasi pembangunan zaman Orde Baru; pusat mengatur urusan daerah. Pembangunan dengan menimbang kondisi riil rakyat daerah penting untuk memberdayakan warga lokal. Rakyat harus berpartisipasi dalam pembangunan agar tak terlempar dari arus sejarah. Sementara pemerintah berperan membuka akses, infrastruktur publik, jaminan pendidikan, agar rakyat mengenal pasar. Atas dasar itulah, revisi UU No 32/2004 menjadi UU No 23/2014 tentang Pemda perlu dicermati secara bijak agar kekuasaan pusat tidak mendikte daerah.

Otonomi menuntut pemda berpikir kreatif-inovatif membangun ekonomi daerah agar mengurangi kesenjangan. Persekongkolan modal dan kuasa di tingkat lokal inilah yang menyebabkan banyak pemimpin tak kreatif merancang kebijakan publik dan tak bisa berbuat banyak menata daerah.

Pembangunan yang mengandalkan investasi berskala besar cenderung menciptakan orang-orang kaya dan berkuasa atau borjuis dalam bahasa Karl Marx dan kelompok yang dimiskinkan (proletar). Kelompok marjinal tak memiliki akses pada sumber daya dan alat-alat produksi. Mereka terpaksa menjual tenaga kerja dan tanah hanya untuk bertahan hidup. Korporasi kemudian jadi penguasa daerah, sementara masyarakat daerah yang empunya harta hanya menjadi buruh kasar. Adapun elite-elite lokal yang menguasai sektor ekonomi produktif lebih sebagai komprador dan kaki tangan korporasi (baca; Cypri Jehan Paju Dale, 2013).

Hasrat akumulasi menyebabkan korporasi melakukan korupsi dengan berbagai modus: membayar pemda agar dapat konsensi, manipulasi kalori mineral, serta manipulasi produksi dan penjualan agar mengurangi beban pajak dan pembayaran royalti. Akibatnya, penerimaan negara menurun. Sejumlah LSM anti korupsi menemukan potensi kerugian negara akibat korupsi di sektor SDA di enam provinsi (Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Jawa Timur) senilai Rp 201,82 triliun.

Pemerintahan kuat

Indonesia butuh pemerintahan kuat di daerah agar bisa menjaga kedaulatan ekonomi dan melindungi rakyat dari eksploitasi. Maka, reposisi peran pemda menjadi proyek penting. Pemerintahan kuat bukan memerintah dengan tangan besi dan menghambakan dirinya pada imperialisme ekonomi. Pemerintahan kuat adalah dia yang mampu menjaga kedaulatan ekonomi daerah, melindungi warga negara, dan efektif mengelola keuangan daerah untuk kepentingan rakyat.

Pemerintahan kuat mencerminkan konsep Trisakti Bung Karno: kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan daya tahan kultural. Kedaulatan politik terkait penguasaan dan manfaat atas SDA berhadapan dengan korporasi. Kemandirian ekonomi terkait kedaulatan dan daya tahan energi untuk kesejahteraan rakyat. Sementara dari aspek budaya, Indonesia harus beralih dari budaya liberalisasi
yang cenderung tunduk pada aturan lembaga multilateral menjadi bangsa yang berkepribadian untuk membela hak sendiri.

Akhirnya, presiden perlu mengevaluasi tambang daerah dan konsisten memberantas korupsi SDA daerah. Presiden perlu meningkatkan kapasitas SDM KPK, seperti meningkatkan jumlah penyidik, staf, dan anggaran agar dapat menjangkau daerah. Ini penting untuk menyelamatkan tambang daerah dari jarahan orang tamak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar