Borjuasi
Lokal
Ferdy Hasiman ; Peneliti di Indonesia Today, Jakarta
|
KOMPAS, 09 Januari 2015
SETELAH pemberlakuan otonomi daerah, pemerintah daerah
(gubernur, bupati/wali kota) diberi wewenang luas mengolah keuangan dan
sumber daya alam, seperti pertambangan dan sawit. Namun, kekuasaan yang
begitu besar membuat pemda rentan korupsi. Tulisan ini hanya mengulas korupsi
di sektor SDA.
Korupsi sumber daya alam (SDA) melibatkan penguasa lokal
dan pengusaha (korporasi) dengan berbagai modus, seperti menjual lisensi
tambang dan hutan. Banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal telah
melaporkan dugaan korupsi yang melibatkan pemda dan korporasi tambang. Selama
tahun 2013, ada 10 kasus korupsi pertambangan dilaporkan LSM ke Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa di antaranya dugaan korupsi pemberian
izin pasir besi di Pasaman Barat, Sumatera Barat; dugaan korupsi pemberian
konsensi kepada perusahaan pertambangan di Konowe Selatan; dan dugaan korupsi
pemberian konsensi kepada satu perusahaan di Banyuwangi, Jawa Timur. Namun,
sampai kini KPK belum melakukan investigasi atas laporan-laporan ini karena
bertumpuknya korupsi di pusat dan keterbatasan sumber daya manusia untuk
menjangkau daerah.
Kerja aparat penegak hukum daerah tak bisa diandalkan
untuk menjinakkan watak ganas korupsi. Kontrol media terhadap kekuasaan lokal
pun hampir minim. Ini menyebabkan kekuasaan lokal sesuka hati menggadaikan
kekuasaan untuk kepentingan privat. Korupsi di daerah kemudian kian sistemik.
Kekuasaan sebagai instrument
Menurut laporan Kejaksaan Agung, salah satu pemilik
rekening gendut hasil penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (2005-2012) adalah salah satu gubernur di Sulawesi, yang diduga
menerima dana suap senilai 4,5 juta dollar AS dari perusahaan tambang nikel
pada 2010 melalui polis asuransi PT AXA Mandiri. Ini baru satu contoh kasus yang menunjukkan
bahwa pemda adalah salah institusi birokrasi yang rentan korupsi. Mereka
(gubernur, bupati/wali kota) adalah borjuasi lokal yang kaya mendadak
(memiliki mobil dan rumah mewah), tak sepadan dengan pendapatan mereka
sebagai pejabat publik. Mereka bukan kaya karena faktor produksi (berkeringat
dan bekerja keras), melainkan karena menjual lisensi SDA, seperti tambang,
kepada pengusaha.
Mereka harus melakukan korupsi demi mengamankan hari
depan. Pada masa depan, pejabat publik tidak berkuasa lagi, sudah uzur, dan
karena itu tak produktif lagi. Prinsip mereka: mumpung masih berkuasa,
gunakan saja kekuasaan untuk menumpuk uang.
Borjuasi lokal menggunakan kekuasaan sebagai instrumen
untuk memperkaya diri. Aturan dan hukum dibuat hanya untuk kepentingan
pemodal. Kekuasaan yang dipilih melalui kompetisi bebas di alam demokrasi
justru digunakan untuk memperkaya diri dengan cara jadi fasilitator eksploitasi
SDA. Pemda hanya jadi kaki tangan pemodal. Kekuasaan kemudian bukan lagi
bersifat transformatif (memberdayakan rakyat), tetapi bersifat eksploitatif
dan menindas warga negara dengan berbagai kekuatan dan tekanan politik.
Perilaku elite lokal seperti ini, menurut Daron Acemoglu
dan James A Robinson (2012), menciptakan institusi ekstraktif. Institusi
ekstraktif cenderung memonopoli kekuasaan, menumpulkan harapan penegakan
hukum, dan membonsai daulat rakyat, hanya untuk mengumpulkan harta. Mereka
abai membangun infrastruktur publik, fasilitas pendidikan, dan fasilitas
kesehatan. Institusi ekstraktif cenderung menindas rakyatnya. Elite-elitenya
hidup dalam kemewahan dan korupsi.
Angkatlah contoh kasus negara miskin di Afrika, Kongo.
Setelah merdeka tahun 1960-an, ekonomi Kongo merosot tajam karena
pemerintahan Joseph Mbotu membiarkan rakyat melarat. Mbotu hidup bergelimang
harta, sementara rakyat menderita. Ia membangun istana di Gbadolif, tanah
kelahirannya, dilengkapi bandara dan pesawat jet supersonik Concorade yang
disewa dari Air France untuk bepergian ke Eropa. Di Eropa, Mbotu memiliki
banyak tanah, seperti di Brussels, hasil dari memeras keringat rakyatnya
sendiri.
Jika kita menelusuri secara cermat semua aset dan kekayaan
pemda, saya kira hampir mirip dengan kekuasaan Mbotu di Kongo. Banyak pejabat
pemda yang punya rumah mewah di kota metropolis dan menumpuk rekening gendut
hasil penjualan konsensi SDA. Upaya melacak aset pejabat daerah butuh kerja
ekstra-keras dari aparat penegak hukum, seperti KPK, dan didukung penuh
pemerintah.
Ironis memang! Daerah kaya batubara, seperti Kalimantan
dan Sumatera, tetapi rakyatnya melarat dan tak mendapat listrik. Padahal,
jika bupati/gubernur memerintahkan setiap perusahaan batubara membangun
pembangkit tenaga listrik, batubara yang dikeluarkan tidak seberapa jika
dibandingkan dengan produksi batubara perusahaan yang hampir mencapai 40.000
ton per tahun. Akan tetapi, itu tidak terjadi karena bupati/gubernur hanya
menjadikan konsensi tambang mesin pengumpul harta.
Pembangunan daerah lalu menjadi medan pertarungan
elite-elite lokal, dan rakyat diletakkan sebagai pihak yang dikuasai. Relasi
semacam ini menempatkan negara sebagai perampas daulat rakyat. Cara pandang
mereka tentang pembangunan daerah serba sempit dan mengikuti jargon-jargon
pembangunan yang ditawarkan investor (korporasi). Bagi mereka, daerah akan
makmur dan sejahtera jika investasi berskala kolosal, seperti tambang
mengalir di daerah, meskipun menerobos hutan lindung dan permukiman warga.
Mereka hanya menganggap pembangunan daerah sebagai urusan teknis dan
mengabaikan aspek politik, ekonomi, dan budaya lokal.
Padahal, untuk itulah otonomi daerah digagas setelah
reformasi. Otonomi daerah digagas untuk mengatasi sentralisasi pembangunan
zaman Orde Baru; pusat mengatur urusan daerah. Pembangunan dengan menimbang
kondisi riil rakyat daerah penting untuk memberdayakan warga lokal. Rakyat
harus berpartisipasi dalam pembangunan agar tak terlempar dari arus sejarah.
Sementara pemerintah berperan membuka akses, infrastruktur publik, jaminan
pendidikan, agar rakyat mengenal pasar. Atas dasar itulah, revisi UU No
32/2004 menjadi UU No 23/2014 tentang Pemda perlu dicermati secara bijak agar
kekuasaan pusat tidak mendikte daerah.
Otonomi menuntut pemda berpikir kreatif-inovatif membangun
ekonomi daerah agar mengurangi kesenjangan. Persekongkolan modal dan kuasa di
tingkat lokal inilah yang menyebabkan banyak pemimpin tak kreatif merancang
kebijakan publik dan tak bisa berbuat banyak menata daerah.
Pembangunan yang mengandalkan investasi berskala besar
cenderung menciptakan orang-orang kaya dan berkuasa atau borjuis dalam bahasa
Karl Marx dan kelompok yang dimiskinkan (proletar). Kelompok marjinal tak
memiliki akses pada sumber daya dan alat-alat produksi. Mereka terpaksa
menjual tenaga kerja dan tanah hanya untuk bertahan hidup. Korporasi kemudian
jadi penguasa daerah, sementara masyarakat daerah yang empunya harta hanya
menjadi buruh kasar. Adapun elite-elite lokal yang menguasai sektor ekonomi
produktif lebih sebagai komprador dan kaki tangan korporasi (baca; Cypri Jehan Paju Dale, 2013).
Hasrat akumulasi menyebabkan korporasi melakukan korupsi
dengan berbagai modus: membayar pemda agar dapat konsensi, manipulasi kalori
mineral, serta manipulasi produksi dan penjualan agar mengurangi beban pajak
dan pembayaran royalti. Akibatnya, penerimaan negara menurun. Sejumlah LSM
anti korupsi menemukan potensi kerugian negara akibat korupsi di sektor SDA
di enam provinsi (Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Utara, Jawa Timur) senilai Rp 201,82 triliun.
Pemerintahan kuat
Indonesia butuh pemerintahan kuat di daerah agar bisa
menjaga kedaulatan ekonomi dan melindungi rakyat dari eksploitasi. Maka,
reposisi peran pemda menjadi proyek penting. Pemerintahan kuat bukan
memerintah dengan tangan besi dan menghambakan dirinya pada imperialisme
ekonomi. Pemerintahan kuat adalah dia yang mampu menjaga kedaulatan ekonomi
daerah, melindungi warga negara, dan efektif mengelola keuangan daerah untuk
kepentingan rakyat.
Pemerintahan kuat mencerminkan konsep Trisakti Bung Karno:
kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan daya tahan kultural. Kedaulatan
politik terkait penguasaan dan manfaat atas SDA berhadapan dengan korporasi.
Kemandirian ekonomi terkait kedaulatan dan daya tahan energi untuk
kesejahteraan rakyat. Sementara dari aspek budaya, Indonesia harus beralih
dari budaya liberalisasi
yang cenderung tunduk pada aturan lembaga multilateral
menjadi bangsa yang berkepribadian untuk membela hak sendiri.
Akhirnya, presiden perlu mengevaluasi tambang daerah dan
konsisten memberantas korupsi SDA daerah. Presiden perlu meningkatkan
kapasitas SDM KPK, seperti meningkatkan jumlah penyidik, staf, dan anggaran
agar dapat menjangkau daerah. Ini penting untuk menyelamatkan tambang daerah
dari jarahan orang tamak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar